Perempuan Pembela HAM Kerap Menjadi Sasaran Kekerasan dan Intimidasi

Setiap tanggal 29 November kita memperingati Hari Perempuan Pembela HAM atau Women Human Right Defenders. Hingga saat ini keberadaan para perempuan pembela HAM belum diakui pemerintah. Situasi mereka juga sangat memprihatinkan. Para perempuan pembela HAM yang melakukan pembelaan pada perempuan korban kekerasan seksual mengalami sejumlah ancaman seperti diancam diperkosa, didatangi orang-orang tak dikenal, distigmakan sebagai perempuan perusak rumah tangga orang, dianggap sok tahu agama hingga mau dilempar dengan parang. Lalu ada juga yang dianggap perempuan murahan dan dianggap tak bisa mengurus anak karena sering keluar malam mendampingi para korban

Women Human Right Defenders/ WHRD atau Perempuan Pembela HAM/PPHAM di Indonesia adalah orang-orang yang dalam aktivitasnya bekerja untuk membela kasus-kasus HAM berbasis gender dan para perempuan yang bekerja di berbagai isu dan sektor untuk mempromosikan, mengadvokasi, mendidik tentang hak-hak asasi manusia.

Dalam bekerja, para perempuan pembela HAM mengalami ancaman, kekerasan, stigma dan diskriminasi dalam berbagai bentuk baik yang dilakukan oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah, aparat, kelompok patriarki berbasis agama, kelompok nasionalis militeristik serta korporasi kapitalis. Selain itu WHRD mengalami persoalan kesehatan dan kesejahteraan yang terabaikan hingga sakit dan meninggal.

Secara internasional, kesadaran tentang pentingnya pengakuan atas keberadaan perempuan pembela HAM mulai terjadi ketika ada peristiwa meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) tahun 1960 yang dilakukan kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo. Tragedi meninggalnya Mirabal bersaudara menjadi penanda pentingnya perjuangan hak-hak perempuan, terutama dengan diakuinya kekerasan berbasis gender. Para pembela HAM ini kemudian diakui keberadaan dan perjuangannya dan harus mendapatkan perlindungan dalam Deklarasi pembela hak asasi manusia sendiri pada tahun 1984 dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998 – 29 November yang dikenal sebagai Hari Pembela Hak-hak Asasi Manusia.

Di Indonesia, perjuangan para perempuan pembela HAM/ WHRD sudah dilakukan sejak masa Indonesia belum merdeka. Para pembela HAM ini kemudian berjuang dengan melakukan pembelaan berbasis gender yang bekerja untuk isu perempuan dan minoritas, pembelaan HAM secara umum seperti kasus lingkungan, masyarakat adat, minoritas gender, keberagaman, dll.

Kasus-kasus yang terdata di bawah ini berasal dari data dan advokasi sejumlah lembaga antara lain Yayasan Perlindungan Insani Indonesia/ YPII, Forum Pengada Layanan/ FPL, Kemitraan, Kontras, ELSAM, Imparsial, JALA PRT, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja serta data sebaran di media.

Data-data ini dikumpulkan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Pembela HAM antaralain Institute for Women’s Empowerment (IWE), Indonesia untuk Kemanusiaan/ IKA, Kapal Perempuan, Kemitraan/Partnership, www.Konde.co, Yayasan Ume Daya Nusantara, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia/ YPII dan dipaparkan oleh Damairia Pakpahan, Damaris, Ririn Sefsani, Ainul dan Luviana dalam konferensi pers bersama Komnas Perempuan pada 27 November 2020    

Secara umum berdasarkan hasil kajian dan dokumentasi didapatkan para perempuan pembela HAM mengalami mulai dari pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan karena identitas gender, hak politik, hak mereka berorganisasi, hak untuk bekerja, hak atas tanah, lingkungan (sumber daya alam) untuk hak perempuan pedesaan, perusakan benda, serangan digital, ancaman, stigma dan intimidasi sebagai perempuan. Di sini jelas bahwa tidak hanya orang, tetapi juga kelompok organisasi yang termasuk sebagai WHRD yang mengalami kekerasan, dll.

Kasus-Kasus yang Menimpa Para Perempuan Pembela HAM di Indonesia

Di isu Perempuan Pembela HAM/ WHRD: Gender Based Violence.

Para WHRD yang banyak melakukan pendampingan pada perempuan korban kekerasan seksual menurut pemetaan Forum Pengada Layanan/ FPL mengalami sejumlah ancaman, kekerasan, diskriminasi dan stigmatisasi. Ketika melakukan pendampingan pada para korban kekerasan seksual, mereka didatangi orang-orang tak dikenal, distigmakan sebagai perempuan perusak rumah tangga orang, dianggap sok tahu agama hingga mau dilempar dengan parang, dianggap perempuan murahan dan dianggap tak bisa mengurus anak karena sering keluar malam mendampingi korban. Para pendamping korban ini juga dianggap sebagai komunitas yang tidak diakui di desa dan kelurahan, dipersulit ketika mengurus administrasi, dianggap pembawa aliran sesat, dianggap menolak ketentuan adat, diancam oleh suami korban dan teman-temannya, termasuk ancaman rumahnya akan dibakar, diancam akan dibunuh, diancam akan diperkosa dan diancam mau dimasukkan penjara. Yang lain, diinterogasi polisi hingga dipegang payudara saat demonstrasi. Para perempuan pembela HAM yang berbasis relawan ini juga tidak punya jaminan perlindungan, kesehatan dan kesejahteraan. Lembaga perempuan juga mengalami intimidasi, salah satunya intimidasi pada staff LBH APIK Jakarta oleh massa pada 3 Februari 2020 dan ancaman keamanan para staf LBH APIK.

Di isu Perempuan Aktivis HAM

Ada dua WHRD yang meninggal karena sakit dan kelelahan, yaitu pengacara HAM Olga Hamadi (2016) dari Papua Barat dan perempuan petani Patmi (2017) dari Kendeng, Jawa Tengah. Bahkan WHRD yang mewakili lembaga negara juga mengalami kekerasan verbal seperti yang dialami oleh Ketua Komnas HAM yang juga Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, yang diteriaki dengan hinaan saat keluar dari Ruang Sidang Terhadap 12 Anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Pengadilan Militer Yogyakarta Kamis, 20 Juni 2013 karena kasus Cebongan. Pembela HAM di Surabaya, Jawa Timur, Anindya Shabrina, diancam kriminalisasi setelah pengaduan kasus pelecehan seksual oleh aparat kepolisian yang dialaminya saat pembubaran paksa diskusi mahasiswa Papua di Surabaya pada hari Jumat, 6 Juli 2018. Anindya juga diseret dan dilecehkan secara seksual. Payudara Anindya diremas, dan ketika Anindya berteriak memprotes, para pejabat malah tertawa. Beberapa hari kemudian Anindya menulis sederet pernyataan di media sosialnya. Ia dan LBH juga melaporkan hal tersebut ke Propam pada 9 Juli 2018. Kasus WHRD berbasis komunitas yang menentang pelecehan seksual oleh atasannya dan dikriminalisasi oleh UU ITE adalah Baiq Nuril Maknun adalah seorang guru perempuan non-tenure di SMA Negeri 7 Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pelecehnya adalah kepala sekolah menengah. Lalu ada juga kriminalisasi aktivis Papua atas tudukan makar dan divonis pada 24 April 2020, salah satunya perempuan, Arina Elopere. Selain itu Komnas Perempuan juga mendata, terdapat puluhan perempuan pembela HAM hingga akhir hidupnya bekerja untuk para perempuan korban kekerasan, mereka antara lain Marsinah, Ruyati, Syarifah Sabaroedin (pencipta istilah pelecehan seksual), Ita Martadinata, Juju Zubaidah, dll.

Di isu Pembela HAM Pedesaan.

Eva Bande, aktivis perempuan agraria, dijatuhi hukuman 4 tahun penjara pada tahun 2013 karena memperjuangkan hak atas tanah masyarakat dari sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Eva lalu menerima grasi dari Presiden Jokowi mengabulkan grasi kepada Eva di Hari HAM 10 Desember 2014. Kemudian ada tuntutan perdata menjadi ancaman bagi perjuangan lingkungan dan keadilan atas sumber daya alam / agraria, seperti yang dialami oleh Ibu Hajjah Mimi, pemimpin Masyarakat Adat di Sulawesi Tenggara, juga dikenakan hukuman perdata sebesar Rp. 8 miliar.Pelecehan juga terjadi pada perempuan peserta aksi tolak tambang emas, Tulangpitu, Banyuwangi, Januari 2020.

Lalu pada tahun 2017, Jubaidah yang berjuang untuk mempertahankan lahan bersama dengan 6 kelompok tani lainnya yang menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit dan tambang batubara (Toba Sejahtera Group) di Kabupaten Muara Jawa, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur milik Luhut Binsar Panjaitan, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada periode pertama Presiden Jokowi. Masyarakat dikriminalisasi dengan pasal perampasan tanah di kawasan Hak Guna Usaha dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP. Pelaku kriminalisasi adalah Polsek Kutai dan perusahaannya.

Elsam dalam laporannya, “Di Bawah Bayangan Negara dan Kekerasan Korporasi: Laporan Situasi Pembela Hak Asasi Manusia untuk Lingkungan Periode November 2017-Juli 2018” mencatat ada 10 persen (17 perempuan) mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan. Namun ada 44 persen (78 orang) yang tidak diketahui identitas gendernya. Jumlah 78 orang bisa jadi ada juga perempuan yang membela lingkungan dan tanah dan jumlah ini mengindikasikan pengabaian dan pelanggaran berat hak atas perempuan yang seringkali tidak terlihat dan tidak terhitung yang mencerminkan perlunya data terpilah gender.

Di isu Buruh dan Pekerja Rumah Tangga

PRT adalah beberapa WHRD yang juga merupakan pekerja rumah tangga sering terancam kehilangan pekerjaan karena aktivisme mereka. Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapu Lidi, misalnya, menggambarkan bagaimana anggotanya diancam dengan pemecatan ketika mereka berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi. Misalnya, pada tahun 2016, seorang ekspatriat mengumpulkan ‘daftar hitam’ PRT yang aktif dalam pekerjaan organisasi dan membagikannya di antara majikan lain. Para buruh perempuan juga mengalami pelecehan seksual berdasarkan data Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja bahwa ratusan buruh telah mengalami PHK dan beberapa mengalami pelecehan seksual dan melakukan perlawanan.  Selain itu, ada intimidasi pada para aktivis Buruh KASBI pada 17 Februari 2020 terkait penolakan pada Omnibus Law dan juga kriminalisasi aktivis buruh, beberapa diantaranya 4 perempuan yang menolak PP Pengupahan di tahun 2016. Intimidasi dan stigma juga dilakukan pada perawat akibat Covid-19 yang terjadi di Solo, Gorontalo, dan Malang.

 Di isu Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT)

Pembela HAM Transgender dan Perempuan di Yogyakarta menghadapi kekerasan dan teror oleh kelompok Islam garis keras. Kasus ini ditutup-tutupi oleh polisi dan para penyerang dibebaskan dari hukuman meski gerakan sosial di Yogyakarta telah mendorong polisi untuk menangkap para pelaku penyerangan. Kasus lainnya pada tanggal 21 November 2014, pada Hari Peringatan Transgender Internasional, sekelompok sekitar 10 kelompok Islam garis keras menyerbu, memukul dengan tongkat dan menendang kepada para peserta aksi yang menggelar demonstrasi damai di Yogyakarta. Kekerasan psikis berupa intimidasi terjadi pada Februari 2016 di Pondok Pesantren Al-Fatah Bantul yang ditempati sejumlah waria.

Di isu Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi

KontraS mencatat ada 157 peristiwa serangan terhadap kebebasan sipil selama setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dari Oktober 2019 hingga September 2020. Pola serangan ini berupa peretasan, intimidasi, doxing dan penyiksaan di ruang siber terhadap individu atau kelompok yang mengkritik pemerintah. KontraS mencatat setidaknya ada 15 kasus pembungkaman siber, enam di antaranya disertai ancaman dan penangkapan terhadap korban. Kemudian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada 3 anggota perempuan Pers mahasiswa dan 1 jurnalis perempuan pada saat meliput aksi Omnibus Law mendapatkan pelecehan dari polisi ketika aksi Omnibus Law pada Oktober 2020. Terakhir, 2 (dua) website perempuan, Konde.co dan Magdalene.co diretas dan diganggu sistem website nya ketika memberitakan tentang artikel dan diskusi tentang perempuan dan kekerasan seksual. Kemudian ada 2 (dua) lembaga pers mahasiswa, Balairung UGM dan Pers mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan advokasi atas gangguan yang mereka alami setelah menuliskan kasus kekerasan seksual dan LGBT. Jadi serangan ini menimpa WHRD, lembaga dan juga media.

Bagaimana Negara Melakukan Perlindungan?

1.Terkait hukum positif belum ada pengakuan eksplisit terhadap pembela HAM sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi Pembela HAM 1998. Yang ada tersirat seperti dalam UU HAM No. 39/1999, UU terkait profesi jurnalis dalam UU Pers, Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri dan Pasal 66 UU Lingkungan Hidup tapi ini belum efektif di lapangan

2.Pemahaman umum tentang pembela hak asasi manusia, terutama WHRD dan deklarasinya, belum dipahami oleh pejabat negara dan pemerintah serta di dalam Kementerian seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Luar Negeri

3.Komnas HAM memiliki mandat yang terbatas meskipun berusaha melindungi para pembela HAM. Komnas Perempuan juga memiliki mandat yang terbatas namun secara kreatif berupaya menjangkau dan melindungi WHRD dengan berbagai cara, seperti memperingati Hari Pembela HAM Perempuan Internasional dan membuat manual perlindungan terhadap WHRD

4.Pelaku kekerasan terhadap WHRD mendapatkan impunitas yang kuat;

5.Polisi tidak melindungi WHRD dan melindungi otoritas atau mereka yang berkuasa; dan

6.Mekanisme proteksi belum terlaksana secara optimal, terkesan lambat dan ketiadaan sumber daya untuk melaksanakan mekanisme proteksi dan tidak adanya tindak lanjut proteksi.

Pencapaian Pemerintah, Lembaga Negara dan CSO

1.Adanya Koordinasi yang terjalin antara masyarakat sipil dan NHRI baik dengan Komnas Perempuan maupun Komnas HAM untuk mengkampanyekan perempuan pembela HAM. Hal ini terjadi pada 29 November 2020 untuk hari Perempuan Pembela HAM Internasional;

2.Isu WHRD sudah ada di Komnas Perempuan dengan adanya Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan dan juga untuk kampanye WHRD. Meski masih lemah, namun sudah ada upaya dan praktik untuk melindungi para pembela HAM;

3.Di Komnas HAM terdapat Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM, adanya Nota Kesepahaman antara Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM dan HAM Berat; Nota Kesepahaman antara Masyarakat Sipil dan Komnas HAM; Mekanisme Pelapor Khusus Komnas HAM;

4.Kolaborasi antara Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (BalitbangHAM) Kementerian Hukum dan The Asia Foundation untuk Meningkatkan Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia;

5.Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan POLRI tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Jurnalis Profesional;

6.Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Gugatan Anti Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat (Anti-SLAPP);

7.Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Alat Dokumentasi Kasus Perempuan Pembela HAM bersama Komnas Perempuan dan Masyarakat Sipil; dan

8.Presiden Jokowi memberikan grasi kepada Eva Bande, WHRD yang memperjuangkan hak atas tanah pada tahun 2014

Tuntutan Koalisi Perempuan Pembela HAM

1.Pemerintah harus mengadopsi Rekomendasi Umum yang melindungi perempuan, terutama WHRD termasuk juga kelompok WHRD di pedesaan dengan membentuk badan sipil yang tidak memihak, independen, yang ditugaskan untuk menyelidiki pengaduan yang diajukan terhadap pejabat penegak hukum, dan memastikan para pelaku tindakan tersebut diadili

2.Menghimbau Lembaga Perlindungan dan Saksi (LPSK) untuk meninjau dan meningkatkan mekanisme perlindungan saksi bagi WHRD dan aksesibilitasnya, termasuk pembentukan peka gender bagi perempuan / trans dan rumah aman ramah keluarga

3.Mendesak pemerintah Indonesia untuk menetapkan kerangka kerja untuk memastikan bahwa pembangunan pedesaan dan kebijakan pertanahan bertanggung jawab atas gender

 4.Mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa dengar pendapat publik terkait dengan proyek pembangunan yang mempengaruhi masyarakat lokal memungkinkan partisipasi publik yang tepat termasuk partisipasi perempuan yang bermakna

5.Mengimbau pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua WHRD memiliki akses terhadap keadilan, melalui bantuan hukum, penyediaan pemulihan bagi korban, dan memastikan akuntabilitas sistem peradilan, sejalan dengan Rekomendasi Umum CEDAW No. 33, dan bahwa WHRD menerima kompensasi yang memadai dan bentuk reparasi lain untuk pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi sasaran mereka

6.Mengimbau pemerintah Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia dan Resolusi Majelis Umum PBB 68/181 tentang ‘Promosi Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok dan Organ Masyarakat untuk memberikan jaminan hukum dan pengakuan terhadap para pembela HAM dan hak asasi manusia serta perempuan pembela HAM dan hak perempuan bekerja secara setara

7.Mengimbau Pemerintah Indonesia untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan Anti Kekerasan

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!