Upah Buruh Di Tahun 2021 Tak Naik, Menaker Diprotes Para Buruh Perempuan

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengeluarkan surat edaran di akhir Oktober 2020 yang menyatakan tidak akan ada kenaikan upah di tahun 2021 dengan alasan pandemi dan banyak pengusaha yang merugi. Para buruh perempuan memprotes surat edaran ini karena surat edaran tidak berbasis kajian dan memiskinkan buruh perempuan

Sumiyati, pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/ KSPI terlihat berang karena buruh dalam tahun ini mengalami nasib beruntun yang sangat buruk.

Setelah banyak buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK karena pandemi, tidak digaji penuh, tidak diberikan Tunjangan Hari Raya/ THR dan harus menanggung derita dengan disahkannya Omnibus UU Cipta Kerja, kini ada kebijakan baru tentang Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yang semakin menyengsarakan buruh.

Sumiyati menyatakan, seharusnya Menaker mengeluarkan surat edaran ini berbasiskan kajian pada kondisi buruh, namun sepertinya surat edaran dikeluarkan hanya untuk mementingkan pengusaha.

“Seharusnya Menaker mendasarkan aturan ini melalui kajian, mendengarkan suara buruh, bukan hanya mendengarkan suara pengusaha.”

Sumiyati mengatakan hal ini dalam konferensi pers para buruh menolak surat edaran Menaker yang diselenggarakan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja pada 1 November 2020 melalui daring.

Dalam kajian Aliansi, situasi apapun, baik pada situasi krisis, bencana atau situasi paling buruk yang menimpa sebuah negara, buruh adalah kelompok pekerja yang selalu dirugikan. Mereka tak pernah diajak bicara dan tidak dianggap sebagai subyek penting padahal ini menyangkut hidup mereka

“Padahal dalam segala situasi ini, buruh adalah kelompok yang harus menanggung situasi buruk ini. Hal ini bisa kita lihat dalam kondisi hari ini dimana Pandemi Covid-19 berlangsung. Apakah pengusaha pernah secara terbuka mengajak bicara pada buruh tentang keuntungan perusahaan selama ini?,” kata Dian Septi dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) 

Dian Septi memaparkan, Ida Fauziyah selama ini selalu berdalih bahwa situasi perekonomian Indonesia pada masa pandemi Covid-19 dan perlunya pemulihan ekonomi nasional menjadi landasan supaya upah buruh 2020 tidak perlu naik.

Surat Edaran Menaker ini juga dengan sendirinya menyatakan bahwa pemerintah tak pernah mendorong keterbukaan kondisi perusahaan yang seharusnya diketahui oleh buruh. Hal ini juga menandakan bahwa pemerintah tak pernah dengan serius mendorong pengusaha untuk berkomunikasi dengan buruh. Keputusan sepihak dari Kemenaker dengan terbitnya surat edaran ini memperlihatkan situasi tersebut.

“Pertanyaannya adalah kapankah pemerintah akan mendorong pengusaha untuk melakukan keterbukaan sehingga dalam setiap keputusan tripartite, buruh adalah kelompok yang harus diajak berbicara, bukan yang selama ini selalu terjadi: pengusaha mengeluarkan putusan, lalu pemerintah mengamininya dan buruh yang menanggung akibatnya?,” tanya Dian Septi

Emma Liliefna dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia/ KSBSI mengatakan, padahal dari kajian KSBSI, tak semua sektor terkena dampak pandemi, seperti sektor perkebunan dan tambang, namun Menaker gegabah menyamakan semua kondisi. Ini memperlihatkan tidak adanya kajian yang dilakukan pemerintah

“Pernyataan bahwa pengusaha tak pernah untung apalagi di saat pandemi atau krisis harus dibuktikan kebenarannya karena selama ini buruh selama bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun, telah bekerja pada pengusaha dan tak pernah tahu kondisi perusahaan sebenarnya,” kata Emma Liliefna

Emma Liliefna menyebutkan, selama ini serikat-serikat pekerja sudah lama memperjuangkan keterbukaan secara tripartite ini, namun tidak pernah ada perubahan karena pada akhirnya pekerja selalu harus menerima akibatnya: tak pernah diajak berdialog dan tidak mengetahui kondisi perusahaan sebenarnya, hingga kebijakan atas nasib mereka tiba-tiba diterbitkan

Aliansi melihat bahwa logika Kementerian Ketenagakerjaan dengan tidak membuka dialog terhadap buruh yang tengah menghadapi sulitnya kehidupan dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari keluarganya berarti Kementrian Ketenagakerjaan justru tengah melakukan upaya semakin melanggengkan kemiskinan sistematis pada buruh dan anggota keluarga, termasuk anak buruh yang merupakan calon tenaga kerja di masa mendatang.

“Alhasil, keluarga buruh semakin sulit keluar dari jurang kemiskinan di masa depan. Buruh perempuan yang paling banyak terserap di lapangan kerja yang paling terkena dampak pandemi Covid 19, bisa dipastikan menjadi kelompok paling rentan. Dalam kaca mata Ida Fauziyah, buruh perempuan sepertinya tidak menjadi kelompok terdampak yang penting dipertimbangkan nasibnya,” kata Sumiyati

Situasi Buruh Perempuan

Jauh sebelum pandemi, kelompok buruh perempuan kerap kali telah tersingkir dan pada akhirnya harus masuk ke dalam lapangan pekerjaan yang dianggap tidak membutuhkan keahlian (unskilled) misalnya sektor garment dan sektor informal lain.

Lapangan pekerjaan ini seringkali menempatkan buruh dalam kondisi kerja yang buruk, upah yang boleh ditangguhkan (dengan syarat yang dipermudah), upah khusus yang boleh di bawah UMP, kerja yang tidak diakui sehingga berimbas pada upah yang diberikan. Padahal, di sektor garmen, buruh perempuan mayoritas adalah kepala keluarga dan penghasil nafkah utama bagi anggota keluarga lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020 mencatat, terdapat 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga. Sementara, berdasarkan catatan Lembaga PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), mayoritas perempuan kepala keluarga berasal dari masyarakat menengah ke bawah dengan pendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan dan umumnya bekerja di sektor pekerjaan yang diinformalkan seperti buruh tani, pedagang kecil dan Pekerja Rumah Tangga.

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika menyebutkan, dalam keluarga, perempuan jugalah yang mengelola keuangan kelurga, harus mampu membagi keuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam badai krisis seperti sekarang ini, mereka berjuang dan bertahan hidup seringkali seorang diri demi terpenuhinya kebutuhan anggota keluarga, agar bisa memperpanjang nafas.

Tidak naiknya upah 2021 juga akan memperburuk kesejahteraan  buruh perempuan di sektor lain seperti buruh perempuan di industri media, industri kreatif, manufaktur, perkebunan, pariwisata, terlebih bagi perempuan difabel yang masih sulit mengakses pekerjaan.

Lebih jauh lagi, kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan ini bertentangan dengan semangat 3 Konvensi ILO tentang Upah Minimum yang diterbitkan pada tahun 1928, 1951, dan 1970. Sejauh ini, bahkan satu saja dari tiga konvensi tersebut tidak ada yang diratifikasi oleh pemerintah.

Kebijakan tidak menaikkan upah minimum 2021 ini nampaknya sejalan dengan keinginan pemerintah yang selama ini memang cenderung melegalkan upah murah, selalu berupaya memberi ruang bagi pengusaha untuk tidak memenuhi UMP meski sudah diatur dalam Undang – Undang Ketenagakerjaan. Pemerintah juga seperti memperbolahkan dan  memudahkan penangguhan upah, pemberlakuan upah khusus padat karya hingga tidak diratifikasinya Konvensi ILO tentang UMP. Jadi, bolehlah dibilang, pemerintah saat ini merupakan bagian dari rejim upah murah.

Di sisi lain banyak kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan yang justru memberi kemudahan bagi perusahaan. Mulai dari dimudahkannya proses PHK sepihak, pemotongan upah buruh, tidak diberikannya THR, dan kemudahan lainnya dengan dalih serupa, yaitu pandemi Covid 19.

Vivi Widyawati menyatakan bahwa buruh, terutama buruh perempuan adalah yang paling terdampak, namun Kementerian Tenaga Kerja selalu berpihak pada pengusaha.

“Kebijakan ini sangat jauh dari tujuan terciptanya kehidupan yang layak untuk pekerja/buruh, sebagaimana tujuan  perlindungan  yang tertuang dalam HAM, Konstitusi RI dan SDGs, yang merupakan landasan untuk memperoleh Jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh untuk dapat menerima penghasilan yang layak bagi kemanusiaan sekaligus memberikan tanggungjawab kepada pengusaha agar tidak berlindung dibalik ketidakmampuan,” kata Vivi Widyawati

Berikut ini adalah dampak tidak dinaikkannya upah 2021 dan bentuk pemiskinan sistematis pada buruh perempuan di berbagai sektor:

Buruh Perempuan Sektor Padat Karya

Sektor industri padat karya adalah salah satu pilar ekonomi Indonesia karena memberikan akses kepada mayoritas masyarakat dengan pendidikan rendah untuk bisa terlibat pada sistem ekonomi industri. Mekanisme industri padat karya yang mengandalkan mobilisasi tenaga kerja murah dalam jumlah besar, menjadi strategi yang mumpuni untuk memenangkan pasar yang makin kompetitif. Strategi buruh murah pun menjadi andalan bagi negara yang belum memiliki daya dukung infrastruktur dan kebijakan komprehensif. Dengan kata lain, industri padat karya berorientasi pada harga murah dengan menekan biaya produksi demi bisa menawarkan harga kompetitif di pasar.

Strategi putting – out system atau domestic system yaitu mengeluarkan sebagian proses produksi ke industri rumahan yang jauh lebih murah karena dikerjakan di rumah, dimana pekerja rumahan bisa mempekerjakan pasangan atau anak tanpa diupah, dengan jam kerja panjang dan keamanan dan keselamatan kerja yang tak terpantau, serta beresiko bagi kesehatan dan keselamatan buruh. Kaum perempuan adalah sasaran empuk mobilisasi tenaga kerja murah ini.

Buruh Perempuan di Sektor Industri Media

PHK yang dilakukan pada jurnalis secara beruntun dan bermasalah, juga memperlihatkan kondisi bahwa jurnalis dan pekerja media adalah kelompok yang terus-menerus bekerja namun tidak diajak berbicara secara terbuka tentang kondisi perusahaan.

Data  AJI Jakarta dan LBH Pers hingga 28 Juli 2020 telah menerima 110 pengaduan persoalan ketenagakerjaan. Jenis persoalan ketenagakerjaan yang diadukan adalah penundaan upah, pemotongan upah, dirumahkan dengan pemotongan upah, PHK dengan pesangon, dan PHK tanpa pesangon. Persoalan ketenagakerjaan itu terjadi di perusahaan media di semua platform, yakni media cetak, daring, televisi, dan radio karena pandemi. Kebanyakan perusahaan media berdalih melakukan efisiensi untuk bisa bertahan di masa pandemi. Namun pada saat mendalami lebih lanjut pengaduan yang masuk, fakta yang ditemukan perusahaan media tidak menggunakan mekanisme Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan terkait pasal 164 serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011. Putusan MK itu menyatakan bahwa alasan efisiensi harus dibarengi dengan tutupnya perusahaan secara permanen.

Hingga Oktober 2020, PHK juga terus terjadi di sejumlah media. Jurnalis dan pekerja media yang masih bertahanpun akan mengalami hal serupa, diminta bertahan dengan kondisi buruk dan ketidakpastian kerja karena tidak adanya keterbukaan. Hal ini akan ditambah dengan adanya kebijakan surat edaran Menaker ini.

Buruh Perempuan di Sektor Pekerjaan yang Diinformalkan : Pekerja Rumah Tangga

Alih – alih mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga/ RUU PRT yang sudah mandeg selama 16 tahun sebagai bentuk pengakuan bagi PRT sebagai pekerja sehingga terlindungi hak – hak normatif nya, pemerintah justru terus memangkas kebijakan terkait upah. Kebijakan tidak menaikkan UMP 2021 turut memperburuk upah atau penghasilan pekerja informal seperti PRT karena kemudian bisa dibenarkan untuk mengupah PRT jauh lebih rendah dengan beban kerja yang semakin berat. Perbudakan modern pun diwajarkan.

Tuntutan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Dengan kondisi ini maka Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menolak pemiskinan buruh perempuan dalam segala bentuk oleh karena itu kami mendesak pemerintah, pengusaha dan DPR untuk mendesak pemerintah untuk menaikkan UMP  2021, pandemi bukan alasan bagi Kementerian Tenaga Kerja untuk tidak menaikkan upah sementara pengusaha banyak diberi kemudahan dengan alasan serupa.

“Lalu Aliansi juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization/ ILO tentang Upah Minimum Provinsi/ UMP dan stop kebijakan upah murah,” kata Dian Septi

Sumiyati mengatakan bahwa Aliansi juga mendesak pengusaha yang selalu  berdalih dan menutup keterbukaan dari buruh, juga mendesak untuk stop PHK sepihak, pemotongan upah, jam kerja panjang, upah lembur tidak dibayar, PHK tanpa pesangon sesuai dengan undang-undang Ketenagakerjaan, dan hentikan kemudahan bagi perusahaan untuk melanggar hak buruh, terutama buruh perempuan

“Dan mendesak pemerintah untuk mengakui pekerjaan yang diinformalkan dan mendesak DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga/ RUU PRT yang sudah ditunda selama 16 tahun,” kata Sumiyati.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!