Nur Aini dan Luviana- Konde.co
Video mirip artis perempuan, Gisella Anastasia menjadi perbincangan di media sosial sejak Jumat (6/11/2020). Sejumlah media menuliskan video ini menampilkan orang yang mirip dengan Gisella Anastasia sedang melakukan hubungan seksual.
Sebelumnya, Gisella juga pernah mengalami insiden serupa pada akhir 2019 lalu. Insiden yang bukan kali pertama menimpanya ini kemudian juga menjadi trending topik di Twitter.
Kali ini video yang berbeda tak hanya menjadi trending topik di Twitter, tetapi kemudian juga dengan cepat menyebar ke media sosial lain Instagram.
Di Twitter misalnya, ada yang menuliskan dengan tagar: #Skandal, #Gisella, #Videonya #videogisel, #videomesum, dan #VideoViral. Bahkan banyak yang menulis “Video asusila mirip Gisella.”
Hal ini menunjukkan bahwa walaupun hanya dengan wajah yang mirip, tetapi peristiwa ini dengan sendirinya sudah menyeret nama Gisella Anastasia ke dugaan perilaku asusila yang begitu saja disematkan padanya.
Dua hari kemudian atau tanggal 8 November 2020, tak hanya Gisella, menyusul video berikutnya yang menyeret artis perempuan Jessica Iskandar. Sejumlah media menuliskan tentang tak sedikit warganet yang menyoroti tanda-tanda yang menunjukkan bahwa orang dalam video berdurasi 30 detik itu adalah Jessica Iskandar.
Sehari sesudah Jessica Iskandar viral, tanggal 9 November 2020 juga ada foto-foto “seksi” artis perempuan, Anya Geraldine. Di Twitter, bahkan ada yang berkomentar seperti ini:
@Movietrend
Trending topic celebrity of Indonesia, be like marathon 7 NOV : gisel #giselviral 8 NOV : jedar #jedarviral 9 NOV : anya #anya
Dari 3 video dan foto 3 perempuan tersebut, kita bisa melihat bahwa ini bukan pertama kalinya media sosial dijadikan alat untuk penyebaran dan eksploitasi tubuh perempuan. Hal ini juga bukan untuk pertama kalinya tubuh perempuan menjadi bulan-bulanan di media sosial.
Pertanyaan pentingnya: jika ini memang merupakan video dan foto yang mirip, apakah si penyebar sudah terlebih dahulu melakukan klarifikasi sebelum menyebarkan?
Dalam proses komunikasi, klarifikasi atau bertanya soal kebenaran informasi adalah step awal atau sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan pertama kali sebelum menyebarkan atau menginformasikan sesuatu. Namun, ternyata proses tersebut selalu dilewatkan, netizen seperti berhak menghakimi orang lain tanpa proses klarifikasi.
Dalam beberapa kali diskusi yang diadakan tentang media sosial dan jurnalisme, inilah yang tampaknya membedakan antara media sosial dan jurnalisme. Media sosial banyak yang berangkat dari asumsi dalam kepala seseorang, dan tanpa berpikir panjang kemudian disebarkan begitu saja tanpa proses klarifikasi. Walaupun kadang produk jurnalistik juga melakukan hal serupa, namun di media sosial, kasus seperti ini sangat banyak terjadi
Pertanyaan keduanya adalah, mengapa selalu harus tubuh perempuan yang menjadi korban? ini seolah menegaskan kembali bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang layak disebarkan di mana-mana, dikomentari, dan dieksploitase. Tubuh perempuan seolah-olah layak untuk dibenci. Kebencian ini terlihat dalam komentar di media sosial, tagar yang dibuat untuk membenci tubuh dan menjadikan tubuh perempuan sebagai barang tak berharga
Konstruksi tubuh perempuan harus tunduk
Kasus video viral mirip Gisella dan artis perempuan lainnya yang kemudian direspons perisakan oleh warganet, menggambarkan apa yang disebut Feminis, Kate Millet bahwa seksual merupakan sesuatu yang politis, karena ada relasi kuasa untuk menundukkan tubuh perempuan. Seksualitas digunakan untuk menyerang perempuan untuk membuatnya tunduk dan inferior.
Citra perempuan dalam seksualitas dibentuk sebagai yang negatif, rendah, tidak layak, pendosa, dan penggoda.
Setiap video viral serupa muncul, sosok laki-laki selalu absen dari sasaran komentar negatif publik.
Di dalam masyarakat yang patriarki, laki-laki dipandang memiliki hak supremasi sejak lahir untuk mengekspresikan seksualitas yang dominan dan aktif. Sehingga, jika laki-laki muncul dalam video seksual, maka dianggap sebagai yang lumrah, hebat, dan mampu menaklukkan perempuan. Sementara, perempuan dianggap sebagai sensasi yang menjadi sasaran intimidasi dan komentar negatif publik.
Intimidasi bagi perempuan kini juga hadir lewat media sosial. Dalam Instagram @Waikiproduction disebutkan macam-macam jenis bullying di media sosial yang diterima perempuan antara lain:
1. Hinaan fisik
2. Merendahkan ras
3. Merendahkan hobi
4. Merendahkan orientasi seksual
5. Seksisme
Sikap tersebut membuat para perempuan menjadi stres, rendah diri dan tak percaya diri, bahkan banyak yang mengurung diri karena tidak tahan dengan komentar negatif dari warganet.
Bagi Millet, intimidasi berada di mana-mana dalam budaya masyarakat patriarki. Intimidasi itu memberi pesan bagi perempuan yang ingin selamat di dalam masyarakat patriarki, maka dia harus bertindak yang tunduk dan pasif sebagaimana pandangan masyarakat melihat perempuan dalam peran feminin.
Tidak ada ruang bagi perempuan untuk menunjukkan ekspreksi seksual, karena keseluruhan dirinya telah diatur dalam peran gender yang inferior dan tubuhnya dikuasai oleh pandangan laki-laki.
Selain itu, kasus video viral mirip Gisella menunjukkan bahwa perempuan direpresentasikan hanya dari tubuhnya dan dianggap tidak penting. Dari 3 foto dan video ini, tubuh perempuan tak hanya mengalami proses eksploitasi, tetapi tubuh digunakan orang lain tanpa permisi dan digunakan hal-hal yang tak fungsional dan melecehkan.
Tubuh perempuan yang sebenarnya menjadi milik perempuan, harus berakhir begitu saja karena tubuh kita telah dirampas oleh orang lain.
(Foto: Freepik.com)
Nur Aini, sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI)
Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas