Hutang, Cara Baru Menjerat Buruh Perempuan

Hutang adalah jeratan baru yang terjadi pada buruh perempuan. Mereka adalah buruh perempuan yang menjadi single parent, yang sedang hamil dan akan melahirkan, yang suaminya tak bekerja dan yang tiba-tiba di PHK. Upah yang tak cukup menjadikan mereka berhutang. Riset yang dilakukan Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan (Kobar) yang dipublikasikan 7 Desember 2020 menemukan fakta bahwa buruh ibu pencari nafkah utama ini dipaksa mengikatkan dirinya pada hutang.

Sudah lima bulan N (37 tahun), menunggak kontrakan. Total tunggakannya 5 juta rupiah. Ia adalah buruh garmen dengan status kontrak dan orang tua tunggal/ single parent.

Di masa awal pandemi, ia di PHK dan baru bekerja kembali sekitar 3  bulan belakangan. Berkali-kali, ia dan empat anak perempuannya diusir oleh pemilik kontrakan. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba meyakinkan pemilik kontrakan untuk memberi kelonggaran lebih. Dengan dibantu putri sulungnya, N berhasil mencari pinjaman 1,2 juta rupiah untuk menyicil tunggakan kontrakannya.

Di awal pandemi, ia sempat dirumahkan tanpa menerima upah. Ia harus menumpang wifi tetangganya tanpa izin agar sekolah online anaknya bisa tetap berjalan. Jika ketahuan, tetangga akan mendatangi rumah N sembari marah-marah. Namun, hal ini berulang-ulang dilakukan N. Alasannya sederhana: karena ia tidak sanggup membeli kuota internet untuk anaknya karena tingginya beban utang.

Adalah B (47 tahun), buruh ibu dengan satu anak. Ia bekerja selama 9 tahun sebagai staf administrasi di perusahaan ekspedisi. Selama bekerja, ia diupah di bawah Upah Minimum Kota/ UMK meskipun bekerja nyaris 10 jam setiap hari.

Di tengah pandemi, perusahaan berusaha membuatnya tidak betah bekerja dengan cara melakukan mutasi beberapa kali. Akhirnya, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK tanpa kompensasi sebagaimana mesnya. Kini, ia tak lagi memiliki penghasilan. Sepenuhnya, B bergantung kepada saudara dan temannya untuk kebutuhan sehari-hari. Di tengah kesulitan yang demikian, ia tak sekalipun pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

Lain hal dengan L (36 tahun) dengan tanggungan suaminya yang merupakan korban PHK serta dua orang anaknya. Di awal masa pandemi, ia dirumahkan tanpa menerima upah, meskipun telah bekerja selama enam tahun. Selama pandemi, ia tak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Sementara, bantuan subsidi upah (BSU) dari BPJS Ketenagakerjaan tak kunjung ia dapatkan meskipun teman-temannya di pabrik yang sama telah mendapatkannya.

Ada juga M (23 tahun) yang saat ini tengah hamil enam bulan. Ia tetap bekerja dengan upah di bawah tiga juta rupiah karena dikurangi hingga setengah dari yang biasa ia terima. Sepertiga dari penghasilannya, telah terserap untuk biaya hunian, listrik, dan air. Suaminya tak lagi bekerja karena di PHK.

Dengan berbagai siasat, ia tengah berjuang untuk memaskan agar bayi yang akan ia lahirkan berada dalam kondisi sehat. Situasi covid-19 yang belum terkendali, tidak lantas membuat pemerintah ataupun pengusaha berpikir untuk keselamatan buruh ibu yang berada dalam kondisi hamil atau tengah mermengasuh balita.

Sebanyak lima narasumber dalam penelian ini menyatakan bahwa saat ini tengah mengasuh bayi/ Balita dan satu narasumber tengah berada dalam kondisi hamil. Dari keseluruhan narasumber yang tengah mengasuh bayi/ Balita, satu narasumber mengalami PHK, dua narasumber mengalami pemotongan upah, dan satu narasumber baru saja melahirkan bayi dengan masa cu melahirkan yang hampir berakhir.

Sementara, satu narasumber yang berada dalam kondisi hamil mengalami pemotongan upah. Narasumber yang mengalami PHK, mendapatkan nasib buruk ini pada saat berada dalam kondisi hamil tua. Sehingga, ia melahirkan dalam kondisi tanpa penghasilan dan hanya mengandalkan tabungan. Sementara, narasumber yang baru saja melahirkan mengaku sangat cemas saat masa cu melahirkan berakhir, karena ia sangat berpotensi terinfeksi ataupun mejadi carrier bagi virus covid-19.

Selain itu, narasumber yang berada dalam kondisi hamil menyatakan tabungannya habis untuk memenuhi kebutuhan kehamilan serta menutupi kebutuhan sehari-hari lantaran adanya pemotongan upah.

Rata-rata, pendapatan para buruh ini perbulannya sekitar Rp. 3.000.000 atau sekitar 70% dari UMP DKI Jakarta. Namun demikian, jam kerja cenderung lebih panjang dari jam kerja buruh formal. Tidak berbeda dibanding buruh formal, narasumber yang bekerja pada usaha konveksi menyatakan pendapatannya berkurang selama pandemi. Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil membuat pengurangan upah ini semakin mungkin terjadi.

Pandemi memang telah menghancurkan perekonomian. Tapi, salah satu yang nasibnya paling hancur adalah buruh-buruh yang selama ini hasil kerjanya dihargai dengan sangat rendah. Karenanya, saat perusahaan diberikan keleluasaan oleh pemerintah untuk memperlakukan buruhnya secara sewenang-wenang di tengah pandemi ini, buruh-buruh dengan upah rendah hanya melihat satu solusi yaitu: hutang.

Bagi buruh, prioritas pemerintah terhadap kenyamanan pemodal dalam berusaha seakan menjadi tontonan utama selama pandemi. Berbagai dalih diumbar, asalkan pengusaha merasa nyaman. Tak peduli betapa kerasnya buruh berteriak.

Penelitian sederhana ini lalu mencoba untuk memberi gambaran bagaimana buruh perempuan terkorbankan di masa sulit ini. Padahal, jauh sebelum pandemi, feminisasi industri telah meletakkan beban berat bagi buruh perempuan, kerja produksi dan reproduksi yang ditanggungjawabi sekaligus.

Total narasumber dalam penelian ini sebanyak 20 orang yang bekerja pada tujuh perusahaan di sektor garmen, ekspedisi, dan kimia, serta ditambah dengan usaha konveksi. Adapun lokasi penelian dilakukan di wilayah Jakarta dan Bekasi. Wawancara terhadap narasumber dilakukan dari tanggal 1 sampai 24 Oktober 2020. Para buruh perempuan ini adalah mereka yang memiliki anak yang masih menjadi tanggungan, menjadi single parent/ orang tua tunggal, atau bersuamikan laki-laki yang tak punya penghasilan. Riset ini dipublikasikan pada 7 Desember 2020

Sebanyak 11 narasumber dalam penelian ini menyatakan bahwa hutang menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan akibat pandemi. Sementara, tiga narasumber lainnya menyatakan telah kehabisan tabungan sehingga potensi berhutang sangat tinggi.

Enam narasumber lainnya yang menyatakan tidak memiliki hutang dikarenakan perusahaan tempat mereka bekerja masih berproduksi dengan jam kerja yang hampir sama dibanding saat sebelum pandemi. Sementara, rata-rata jumlah tanggungan narasumber adalah dua sampai tiga orang anggota keluarga.

Adapun faktor pendorong pilihan berutang antara lain: ibu yang menjadi orang tua tunggal mengalami PHK atau pengurangan upah (8 orang); hilangnya sumber pendapatan pasangan karena PHK (3 orang); dan/ atau meningkatnya kebutuhan anggota keluarga yang harus ditanggung.

Namun, diantara penyebab ini, faktor pendahulu yang memperburuk kondisi adalah politik upah murah sehingga hampir tidak mungkin para buruh untuk menabung sebagai dana darurat. Yang kedua karena pemberlakuan kebijakan yang tidak berpihak pada buruh selama pandemic, juga buruknya kepastian kerja.

 “Gali lobang, tutup lobang” menjadi kenyataan yang begitu dekat dengan keseharian buruh. Alih-alih kendala manajemen finansial, upah murah merupakan penyebab yang dak memungkinkan upah yang diterima diatur secara ketat.

Sebagai misal: sewa hunian, listrik, dan air rata-rata telah menyerap 25-30% upah pokok. Struktur dan skala upah, yang semestinya memungkinkan buruh dengan masa kerja yang penjang mendapatkan upah lebih tinggi, begitu jarang diterapkan oleh perusahaan.

Padahal, di sisi lain, aturan hukum telah mengakui bahwa upah minimum hanya layak untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh lajang. Akibatnya, buruh yang telah bekerja selama belasan tahun sering kali menerima upah hanya setara upah minimum.

Kebijakan Pemerintah Berpihak Pada Pengusaha

Penyebab semua ini adalah karena ketimpangan upah yang selama ini diterima buruh perempuan dan laki-laki. Sebagaimana dilansir oleh ILO (2016), ketimpangan upah ini mencapai 25% pada sektor teksl dan 14% pada sektor garmen.

Dengan fakta buruknya pengupahan yang diterima oleh buruh perempuan, dalam hal ini buruh ibu pencari nafkah utama, adalah wajar jika hutang menjadi solusi cepat yang dapat diambil oleh buruh ibu pencari naah utama.

Selain itu, di masa pandemi Covid-19, Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Surat Edaran Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pekerja/ Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Surat Edaran ini seakan menjadi lampu hijau bagi pengusaha yang telah mendapatkan ragam keringanan dari pemerintah untuk berndak semakin semena-mena dalam memangkas upah buruh. Strategi licik ini bersembunyi dibalik alasan bahwa permintaan pasar menurun.

Padahal, menurunnya permintaan pasar selama pandemi dak serta merta membuat kas perusahaan kosong. Perusahaan yang telah beroperasi bertahun-tahun sudah barang tentu memiliki kas yang idealnya dimanfaatkan pada masa-masa seper saat ini.

Ke depan, mengingat pandemi entah kapan akan berakhir, Surat Edaran ini masih dapat digunakan oleh pengusaha untuk berlaku sewenang-wenang kepada buruh. Karena Surat Edaran ini, buruh ibu pencari nafkah utama beserta keluarga yang masih mereka tanggung menjadi semakin rentan di masa pandemi. Keberpihakan pemerintah kepada pengusaha juga ditunjukkan dengan mengandalkan alasan bahwa permintaan pasar sedang menurun akibat pandemi, dengan serampangan Menaker memberikan dukungannya secara terang-terangan kepada pengusaha.

Sementara, Pemerintah tidak pernah berani memerintahkan perusahaan untuk menerbitkan audit kondisi keuangan perusahaan secara transparan kepada buruh. Melalui dua Surat Edaran di atas, semestinya, telah cukup bukti bahwa Ida Fauziyah adalah Menteri Tenaga Kerja yang tidak kompeten sehingga patut dicopot dari kabinet.

Bantuan sosial yang kerap digembar-gemborkan oleh pemerintah bahkan dengan kualitas khusus dengan desain sedemikian rupa yang sempat mempengaruhi pendistribusian belum terdistribusi dengan baik kepada warga negara yang berada dalam situasi sangat mendesak ini.

Sembilan narasumber (delapan diantaranya merupakan buruh ibu yang menyatakan terpaksa berutang selama pandemi) menyatakan tidak pernah sama sekali mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Sementara enam narasumber lainnya menyatakan mendapatkan bansos sesekali namun jatahnya dikurangi karena mesti dibagi dengan warga lainnya.

Penyaluran bantuan, utamanya bagi kelompok yang sangat rentan dalam situasi ini, seperti buruh ibu pencari nafkah utama, tampak masih karut marut. Alasan-alasan yang kerap terdengar adalah buruknya data yang dimiliki pemerintah. Terlihat bahwa lampu hijau yang diberikan pemerintah kepada pengusaha berupa Surat Edaran yang telah dibahas sebelumnya, tidak diiringi dengan mekanisme jaminan sosial yang baik. Negara membiarkan buruh-buruh dan keluarganya terkunci di hunian sempitnya sembari menahan lapar atau tanpa nutrisi yang layak.

Hal ini diperburuk dengan pengabaian negara terhadap anak, bahkan balita, yang akan berdampak pada tumbuh kembang anak di masa yang rentan ini. Berkenaan dengan nutrisi anak, tentu semestinya ada tindakan nyata dari negara mengingat begitu peningnya asupan nutrisi di masa pertumbuhan.

Idealnya, jaminan peningkatan kesejahteraan buruh pada tahun depan melalui kenaikan upah yang lebih layak atau penyediaan bantuan sosial yang layak, dapat menjadi migasi untuk permasalahan ini.

Namun, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kenaikan upah yang begitu rendah ditambah dengan UU Cipta Kerja yang akan semakin memperburuk kesejahteraan buruh menjadi ancaman yang serius terhadap hal ini.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!