Jangan Lupakan Kasus Angelo, Kekerasan Seksual Anak Di Lingkungan Gereja

Kelompok Perempuan Katolik Peduli HAM dan Kemanusiaan/ KPK-PHK memprotes keras pembebasan 'Bruder Angelo', petinggi gereja yang seharusnya memberikan rasa aman, namun justru melakukan kekerasan seksual pada anak-anak di lingkungan gereja

Selamat Natal, ucapan ini masih terdengar nyaring di telinga saya. Padahal saya mendengarnya dengan hati pedih.

Buat saya, Natal 2020 meninggalkan catatan hitam tentang kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak di lingkungan gereja.

Yang pertama yang dilakukan seorang pembina putra altar di Gereja Paroki Herkulanus, Depok, Jawa Barat. Sedangkan kasus kedua, pelakunya menyatakan dirinya sebagai biarawan Katolik berstatus bruder, Lukas Lucky Ngalngola atau ‘Bruder Angelo’. Ternyata, setelah ditahan di Polres Depok pada September 2019, Angelo dibebaskan pada Desember 2019 dengan alasan tak ada korban yang berani bersaksi.

Protes keras dari Kelompok Perempuan Katolik Peduli HAM dan Kemanusiaan/ KPK-PHK terjadi ketika Angelo ternyata hanya ditahan selama 3 bulan di Polres Depok hingga Desember 2019. Ini merupakan catatan buruk kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak menjelang Natal 2020.

Kita tahu, sudah banyak anak-anak Indonesia mengalami kekerasan seksual dalam lembaga keagamaan atau lembaga atas nama agama seperti di pesantren, biara, sekolah, panti asuhan. Tidak setiap anak yang menjadi korban mampu untuk bersaksi

Persoalan mengapa korban anak tak bersedia menjadi saksi untuk menguak kasus yang menjerat Angelo dan kemudian Angelo dilepaskan begitu saja, merupakan persoalan serius bagi saya.

Siapakah Angelo? Tirto.id pada (28/08/2020) menuliskan tentang siapa Angelo. Namanya: Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo, orang asli Tanimbar, berkarya untuk tarekat Blessed Sacrament Missionaries of Poor/ of Charity (BSMP/BSMC), kongregasi berbasis di Malolos, Filipina.

Dalam narasi yang diulas Hidup Katolik, Angelo diutus BSMC pada 2015 untuk membuka misi ke Indonesia. Lokasi kerjanya di Depok adalah wilayah Keuskupan Bogor. Uskup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM memberinya “uji coba karya pelayanan selama tiga bulan”, salah satunya mengajar kursus bahasa Inggris ke anak-anak sekolah dan pemulung.

Pada akhir 2015, Bruder Angelo mendirikan Yayasan Kencana Bejana Rohani buat membentuk panti asuhan dengan nama yang sama.

Dalam Tirto.id juga dituliskan bahwa Angelo kemudian ditangkap Polres Metro Depok pada 14 September 2019. Penangkapan itu atas pelaporan pelecehan seksual terhadap 3 anak di Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani yang dilakukan oleh Angelo.

Farid Arifandi, aktivis anak yang dilibatkan oleh Komnas Perlindungan Anak Indonesia/ KPAI- sebagai pelapor, mencabut laporan sebelum kasus tersebut sampai ke persidangan. Walaupun kasus kekerasan seksual bukan delik aduan, seharusnya pencabutan laporan tersebut tidak berpengaruh pada keberlanjutan penanganan kasus. Desember 2019, setelah Angelo selama 3 bulan ditahan, Polres Metro Depok melepaskan Angelo.

Dalam  Talk Show Apa Kabar Kasus Angelo” pada kanal youtube Femina Humana yang diadakan Kelompok Perempuan Katolik Peduli HAM dan Kemanusiaan/ KPK-PHK (20/12/2020), Iptu Tulus dari Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Metro Depok memberikan penjelasan perihal bebasnya Angelo.

Angelo disebutkan dikeluarkan bukan  karena kadaluarsa masa penahanan,  tetapi  karena korban tidak bersedia bersaksi. Setelah Angelo dibebaskan, terbetik kabar ia kembali membuka panti asuhan. 

Mengetahui situasi tersebut, KPAI melakukan koordinasi dengan Polres Metro Depok. Didapatkan informasi dari penyidik, mereka kesulitan melanjutkan kasus ini karena tidak mengetahui keberadaan anak-anak panti.

KPAI membantu untuk memastikan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual mau bersaksi agar Polres Metro Depok dapat melanjutkan penanganan kasus. 

Pada saat itu, anak-anak korban, yang sebelumnya oleh Keuskupan Bogor dititipkan di beberapa tempat, kemudian dikontrakkan tempat tinggal di rumah warga, Darius. Darius juga menyatakan memdapatkan mandat tertulis dari Angelo di penjara untuk mengelola anak-anak (Tirto.id, 28/08/2020).  

KPAI melakukan upaya pemindahan anak-anak korban dan yang diduga berpotensi sebagai korban dari tempat Darius ke Shelter Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) BRSAMPK Handayani.

Tetapi kemudian, Darius bolak-balik meminta kepada KPAI untuk mengembalikan anak ke panti asuhannya, karena anak-anak tidak merasa nyaman tinggal di RSPA BRSAMPK Handayani. Meskipun Handayani memberikan layanan pemeriksaan medis dan psikologis, juga kegiatan belajar.

KPAI kemudian mengembalikan anak kepada Darius dengan catatan jangan sampai anak tidak mau bersaksi. Maksudnya, agar Darius berkomitmen sebagai pengasuh anak-anak untuk mendukung kelanjutan proses hukum.

KPAI kemudian juga mengirimkan surat kepada  Polres Metro Depok dan Polda Jawa Barat untuk keberlanjutan penanganan kasus sebagaimana dijelaskan Putu Elvina dari KPAI sebagaimana dijelaskan oleh Putu Elvina dari KPAI pada Talk Show Apa Kabar Kasus Angelo” pada kanal you tube Femina Humana tersebut.

Pada kanal Youtube yang sama, Iptu Tulus dari Unit PPA Polres Depok menjelaskan kendala yang dihadapi kepolisian terkait korban, karena korban tidak bersedia memberikan keterangan pada kasus pertama  dengan pelapor, Farid dan menimbang kemungkinan melanjutkan kasus kedua yang dilaporkan dengan pertimbangan pembuktian akan lebih mudah.

Iptu Tulus meminta dukungan semua pihak agar para korban dapat bersaksi. Sedangkan terkait keberadaan Angelo, menurutnya  butuh kehati-hatian, karena Angelo  sudah pernah jadi tersangka.

Pada diskusi tersebut, Holy Apriliani, Manager Kasus Lembaga Perlindungan Dan Saksi Korban/ LPSK telah tiga kali  berupaya menjumpai Darius dan anak-anak.

Pada awalnya  tidak mudah bagi LPSK untuk menemui baik Darius sebagai pengasuh, maupun anak korban. Padahal LPSK diminta permohonan perlindungan yang diajukan anak korban dan anak saksi dari tim pembela hukum Anak Indonesia dan DL (Darius) sebagai wali/orang tua.

Holly Apriliani baru dapat bertatap muka dengan salah satu anak korban  pada pertemuan ke-3. Pada pertemuan itu, korban belum bersedia menjawab pertanyaan terkait kasus kekerasan. Korban menyatakan tidak mau terlibat dan ingin fokus pada sekolah. Akhirnya yang didapatkan tim LPSK  dari mereka saat itu, surat permohonan untuk tidak jadi meminta permohonan perlindungan korban dari LPSK

Berdasarkan proses tersebut, Brigjen Purnawirawan DR. Beny Yosua Mamoto, Ketua Pelaksana Harian Kompolnas, pada talk show tersebut, menyampaikan, antara lain  perlunya pendekatan khusus dalam mendapatkan kesaksian dari anak. Juga mengantisipasi intervensi dari pelaku menggunakan orang lain terkait proses kesaksian anak.

Ia juga mengingatkan komitmen Darius sebagai pelapor agar dapat melakukan pendekatan yang meyakinkan anak, sehingga anak mau bersaksi.

Penyebab Anak Tak Bersedia Bersaksi

Persoalan yang perlu diselidiki lebih jauh, mengapa anak tidak bersedia bersaksi? Sejauh mana KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), penasihat hukum, pelapor, kepolisian dapat mengungkap selubung ketidakbersediaan anak untuk bersaksi. Apa implikasinya terhadap anak yang sudah menjadi korban dan anak-anak lain yang berpotensi menjadi korban, bila penegakan hak korban dan pencegahan terulangnya kejahatan terhenti,  karena  korban tak bersedia bersaksi?

Lalu bagaimana lembaga agama mengambil peran? Tidak sebatas mengklarifikasi siapa pelaku, apakah kejahatannnya terkait langsung atau tidak dengan lembaga agama, tapi juga mencegah pelaku melakukan kejahatan berulang.

KPAI sebelumnya telah berkirim surat kepada Kementrian Sosial RI dan Dinas Sosial Kota Depok untuk memantau kebenaran berita Angelo yang kembali mengasuh anak-anak di panti yang baru.  Kita masih menunggu sikap lembaga agama terkait  hal itu.

Peran lain yang diharapkan dari lembaga agama adalah memberikan perlindungan, rasa aman, bahwa anak dapat bersaksi tanpa ketakutan berbasis relasi kuasa yang tidak imbang.

Apakah ketakutan akibat relasi kuasa yang tidak imbang sebagai anak dengan orang dewasa sebagai umat dengan orang yang mengaku bruder dan lembaga agama, sebagai yang diasuh dengan pengasuh, sebagai anak dari keluarga yang dimiskinkan dengan lembaga agama atau lembaga yang menggunakan simbol agama yang menolongnya. Mungkinkan lembaga agama mengambil peran itu? Mungkinkah Natal tahun 2020  ini  memberi terang pada pemenuhan hak korban?

Upaya Pemulihan, Perlindungan Hukum dan Restitusi Korban Anak

Mengamati proses penanganan  kasus ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian publik.   

Pertama, tanggungjawab negara dan lembaga agama  terhadap penghukuman pelaku dan pencegahan berulangnya kejahatan.

Kedua, tanggung jawab  negara  dan  lembaga agama terkait penegakan hak-hak korban.

Ketiga, dukungan bagi gerakan masyarakat sipil yang saat ini  sedang mendorong negara dan lembaga agama untuk perlindungan korban  dan anak-anak panti pada umumnya.  

Terkait pelaku, dalam jangka waktu satu tahun lebih sejak peristiwa kekerasaan ini dilaporkan ke Polres Metro Depok  (September 2019), kejahatan yang dilakukan Angelo belum diproses di pengadilan. Juga belum ada pemantauan atau peran lain dari lembaga negara  yang bertanggungjawab atas perijinan, pengawasan, pedirian  panti terhadap Angelo. Ruang kosong penegakan hukum dan pengawasan panti  telah memberi jalan kepada Angelo untuk mengulangi kejahatan serupa.  

Apalagi jika kita menyimak peran lembaga agama pada situasi itu, baru klarifikasi  status pelaku yang bukan bruder, meragukan tarekat yang menaungi Angelo,  melarang Angelo mengenakan pakaian religius dan karya apa pun atas nama gereja. Sehingga segala perbuatan Angelo menjadi tanggungjawab pribadi, baik secara hukum negara maupun gereja. 

Sebagaimana isi surat keterangan dari Keuskupan Bogor, yang ditandatangani oleh Uskup Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM pada 19 September 2019 sebagaimana tertulis di Tirto.id, dalam kejahatan yang menggunakan simbol agama, diperlukan intervensi yang lebih holistik dari lembaga agama.  Bukan hanya klarifikasi status kebruderan Angelo dan pembatasan karya paska kasus ini diketahui. Tapi lebih dalam lagi,  kepedulian lembaga agama pada bagaimana relasi kuasa yang tidak imbang antara simbol agama dan umat, pengasuh dan yang diasuh, yang menjadi jantung persoalan pada kesulitan anak memberikan kesaksian.

Terkait korban, kesulitan mendapat kesaksian dari korban yang mengakibatkan tidak saja Angelo melenggang pergi begitu saja, tapi  perlindungan korban terhambat.

Korban telah terhambat untuk mengakses restitusi dan perlindungan lainnya  dari LPSK, pemulihan yang memadai dan akses keadilan melalui mekanisme hukum.

Kekhawatiran Brigen Purnawiraman DR Beny Yosua Mamoto, Ketua Pelaksana Harian Kompolnas,  akan adanya intervensi dari pelaku –menggunakan orang lain—terkait proses kesaksian anak, perlu menjadi perhatian negara dan gereja. Juga usulannya  agar pihak terkait mengembangkan pendekatan dalam menangani anak korban dapat menjadi langkah selanjutnya.

Selain itu, lembaga agama perlu mengambil peran strategis pada bagian ini. Perlu dikembangkan kreativitas dan komitmen lembaga agama yang dapat membantu ruang aman bagi anak untuk bersaksi. Karena kesaksian ini selain hak anak yang perlu didengar dan dihormati adalah pintu masuk bagi banyak upaya untuk pemenuhan hak  korban atas pemulihan, perlindungan hukum, restitusi dan keberlanjutan hubungan baik anak dan lembaga agama dan tumbuh kembang keberagamaan anak. Lembaga agama butuh lebih sigap melindungi anak-anak tidak saja dari kelaparan, peperangan, penelantaran, tapi juga kekerasan yang melibatan simbol lembaga agama itu sendiri.

Kebersamaan  warga negara untuk mendorong peran negara dan lembaga agama juga kekuatan yang perlu kita dukung. Seperti Aliansi Keadilan dan Pemulihan untuk Anak Panti yang mengajak publik untuk terlibat aktif mendukung anak yang sudah menjadi korban kekerasan dan anak-anak panti dan yang dilakukan KPK-PHK

Selamat Natal dan tahun baru, berharap Natal dan tahun yang baru akan memberikan harapan pada penegakan hak korban.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!