Label Buruk Yang Kami Terima Sebagai Perempuan Pembela HAM

Sebagai perempuan pembela HAM, kami sering mendapatkan label baru, seperti dianggap sebagai bukan perempuan baik-baik karena selalu pulang malam, dianggap tidak bisa mengurus keluarga dengan baik, menelantarkan anak, dianggap sebagai orang yang aneh karena tak juga menikah

Rasanya pengin pergi begitu saja dari situasi ini ketika kita sudah berusaha melakukan pembelaan pada para korban, namun pelabelan ini masih diberikan. Dan yang memberikan label ini justru orang-orang yang tak mengenal kerja-kerja kami selama ini.

Padahal setiap hari kami menyaksikan ada banyak sekali kasus-kasus di sekitar kami. Kami menyaksikan banyak kekerasan seksual, anak-anak yang kelaparan, ibu-ibu yang mencari bantuan tetapi dengan banyak syarat seperti harus memakai jilbab, haknya dipotong, dilecehkan pada saat antrian, remaja yang di lecehkan di tempat pengungsian, penyintas yang diusir dari hunian sementara, penyintas yang harus menggunakan air keruh untuk kebutuhan sehari –hari, penjarahan di semua titik-titik yang terdampak, praktek –praktek korupsi oleh pihak yang berkuasa.

Inilah keseharian yang tak pernah tertulis. Sebagai perempuan pembela HAM atau women human right defenders, keseharian kami, apa yang kami lakukan sehari-hari, jarang sekali orang yang tahu.

Minimnya jaminan perlindungan bagi pembela Hak Asasi Manusia/ HAM menjadikan perempuan pembela HAM kemudian mengalami tekanan dan resiko yang berlapis, sehingga membuat situasinya berada dalam tingkat kerentanan yang tinggi.

Saya ingat, ketika pertamakali memilih menjadi perempuan pembela HAM, ada banyak batasan yang harus kami lalui, pertama memastikan dan memberikan pemahaman pada keluarga atas keputusan yang kami pilih dan membuat mereka mengerti pilihan kami

Kedua, memastikan bisa melewati segala bentuk kontrol sosial seperti label baru sebagai perempuan tidak baik-baik karena selalu pulang malam, tidak mengurus keluarga dengan baik, menelantarkan anaknya, atau harus menjawab yang setiap saat ditanyakan: kapan menikah? Label ini membawa kerentanan baru bagi perempuan yang rentan diperlakukan tidak adil bahkan menerima pelecehan seksual.

Terutama bagi perempuan pembela HAM yang fokus terhadap advokasi –advokasi sumber daya alam, kerentanannya bertambah dengan ancaman dari perusahaan, militer ataupun dari kelompok –kelompok lainnya.

Kerentanan yang berlapis ini juga saya rasakan ketika berada di tengah perjuangan, kami mengalami langsung peristiwa bencana gempa bumi 7,4 SR 28 September 2018. Darah sebagai pembela HAM ini mendorong kami kemudian untuk menjadi survivor, menyelamatkan para korban sambil memastikan keluarga dalam kondisi aman di situasi krisis semacam ini.

Yang kemudian situasi ini terkadang mengajak kami kembali untuk mengingat keluarga.

“Bagaimana keluargaku, ayah, ibu, anak dan anggota keluarga? Siapa yang bisa memastikan keamanan dan perlindungannya di situasi yang jauh dari kondusif? sesak rasanya.”

Sitausi ini membuatku sering merasa sangat marah, kemarahan ini yang mendorongku untuk bersuara ke publik dan pemerintah, terkait upaya untuk memastikan jaminan dan perlindungan bagi para penyintas yang terdampak.

Namun upaya ini sering dijawab oleh pemerintah dengan malah menurunkan militer dalam merespon bencana. Pendekatan dengan militer ini padahal tidak akan membuat situasi semakin membaik, justru memperparah penanganan respon bencana yang abai terhadap perlindungan HAM.

Dalam situasi kondisi yang serba mendesak untuk direspon, waktu, tubuh, pikiran, energi, diperuntukkan untuk merespon sebanyak–banyaknya korban, seluas-luasnya jangkauan terdampak

Akan tetapi satu hal yang dilupakan banyak orang, yaitu kita sering tidak peduli dengan kesehatan mental kita, yang kadang mempengaruhi batas rasional yang mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan.

Beban kerja yang terakumulasi ini menjadikan perempuan pembela HAM semakin mengalami kerentanan, dan menjadi keras terhadap diri sendiri, karena seringkali abai terhadap kebutuhan dirinya. Padahal jika tidak segera dipulihkan, dampak dari akumulasi beban kerja dan beban pikiran ini bisa membuat banyak perempuan menarik diri dari lingkungan kerja, karena sudah tidak merasakan kenyamanan dan kehilangan rasa percaya diri karena seringkali menganggap dirinya tidak dapat menyelesaikan tugas dan fungsinya dengan baik.

Di dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan lingkungan yang bisa memberikan support pemulihan perlindungan diri / selfcare.

Untuk menyadarkan bahwa pentingnya kita semua untuk peduli terhadap kesehatan jiwa dan mental dan agar dapat mengenali kebutuhan diri untuk kesejahteraan diri. Sehingga bagi perempuan pembela HAM yang sudah dapat melakukan selfcare kuat, aman dan nyaman serta terus berada di garis perjuangan.

Berdasarkan pengalaman ketika organisasi ataupun lingkungan kita memfasilitasi perlindungan diri/selfcare, ini bisa menjadi media, alat yang efektif untuk mensejahterakan diri dari tekanan yang menjadikan rasa sakit menjadi terpulihkan jika selfcare ini dijadikan sebagai rutinitas dan kebutuhan pokok.

Ada banyak perempuan pembela HAM yang memilih untuk menarik diri. Penyebabnya karena tidak siap dengan kontrol negara, sosial dan keluarga, dikarenakan status sosialnya, ekonomi ataupun pilihan politiknya.

Self care menjadi salah satu cara untuk mengatasi ini

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Juli Savana

Sehari-hari aktif di WALHI Sulteng dan advokasi bencana Palu, Banyak menangani isu perempuan di WALHI Sulteng
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!