Menikah Online, Siasat Di Tengah Pandemi

Menikah online? kenapa tidak?. Menikah secara virtual kini menjadi solusi bagi pasangan yang tinggal berjauhan dan terpisahkan oleh pembatasan yang berlaku di berbagai negara, terkait pandemi COVID-19.

Inilah yang dilakukan pasangan asal Afrika, Fifi dan Emmanuel yang belum lama ini menikah secara online.

Masa pembatasan sosial yang diberlakukan di berbagai negara akibat pandemi COVID-19, kerap menjadi penghalang dalam menyatukan pasangan yang akan menikah, termasuk keluarga mereka.

Di Afrika, para pasangan yang melek digital, menemukan solusinya secara virtual, khususnya untuk melakukan pernikahan, di mana masing-masing calon pengantin terpisah jarak ribuan kilometer.

Salah satunya, pasangan Fifi dan Emmanuel Egbebu baru saja menikah pada bulan Agustus lalu. Di tengah era yang penuh dengan ketidakpastian dan pembatasan untuk melakukan perjalanan akibat virus corona, keduanya memutuskan untuk menggunakan solusi modern, yaitu menikah secara virtual.

Di hari pernikahannya, Fifi yang berada di negara bagian Enugu, di Nigeria, tampil anggun dengan gaun pengantin tradisional, sambil menari gembira menuju altar.

Sedangkan Emmanuel, menonton acaranya secara daring lewat layar, di Johannesburg, Afrika selatan, dimana ia bekerja sebagai musisi.

Walau tanpa kehadiran pengantin pria secara langsung, hari pernikahan Fifi tetap istimewa dan tidak kalah spesial. Secara daring, Fifi dan Emmanuel tetap bisa berkomunikasi “setiap detik.”

“Jadi, saya enggak merasa dia enggak ada. Bahkan, saya merasa dia bersama saya, hanya saja sosoknya enggak ada. Saya yakin orang akan bertanya-tanya, ‘mengapa gadis ini menari dan tertawa, dan bersenang-senang?’ Saya hanya merasa dia benar-benar ada di sana. Saya enggak merasakan perbedaannya dan saya merasa baik-baik saja,” kata Fifi Egbebu kepada VOA.

Baru-baru ini, sahabat Fifi juga melakukan hal yang sama. Pernikahan dilakukan dimana pengantin pria berada di Inggris dan pengantin wanita di Nigeria. Mereka adalah salah satu diantara banyak pasangan yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia, yang terpisahkan oleh pandemi.

Namun, jangan salah, mereka yang tak terpisah pun kini tidak bisa merayakan pesta pernikahan seperti dulu, mengingat adanya pembatasan jumlah orang yang diperbolehkan berkumpul, di tengah pandemi.

Hal ini berdampak kepada bisnis pernak-pernik pesta milik pemasok Molebogeng Gulwako di Johannesberg, yang anjlok. Bisnisnya menyediakan dekorasi berupa rak dinding untuk menaruh gelas-gelas berisi minuman sampanye, yang kerap disebut “Champagne walls.”

Molebogeng Gulwako sendiri adalah seorang pengantin baru. Menurutnya, akan memerlukan waktu yang lama untuk bisa menerima dan mengadaptasi perayaan virtual ke dalam kebudayaan di negaranya.

“Karena ingat, kami tumbuh dalam keluarga besar. Paling tidak selalu ada sekitar tujuh orang di sekitar kami, untuk merayakan acara ulang tahun ke tujuh, delapan, lima belas, dua puluh lima, dan seterusnya,” jelas Molebogeng Gulwako kepada VOA.

“Jadi akan sangat sulit untuk tidak peduli dan merayakannya sendiri. Saya tidak tahu budaya Barat, karena mungkin Anda bisa makan malam dengan satu orang lain saja, dan itu OK-OK saja. Tapi itu bukan kebiasaan kami,” tambahnya.

Sementara beberapa pasangan memilih untuk menunda pernikahan mereka hingga pemberlakuan pembatasan terkait COVID-19 dicabut, Fifi dan Emmanuel Egbebu tidak mau menunggu lagi untuk menyatakan cinta dan komitmen mereka.

“Saya merasa enggak enak, karena enggak bisa (menghadiri pernikahan saya) secara langsung. Pada saat yang sama, ketika saya melihat Fifi menari, saya pun tersenyum. Hal itu seperti memeri kepercayaan diri yang saya butuhkan, bahwa ia bahagia. Jadi setidaknya, itu menjadi pegangan saya,” kata Emmanuel.

Rencananya, Fifi dan Emmanuel akan bertemu kembali di Afrika Selatan, setelah penerbangan kembali diberlakukan. Namun untuk sekarang, keduanya dan juga pasangan lain yang tak terhitung jumlahnya, harus bersatu dulu secara virtual.[di]

(Foto: Pixabay dan VOA)

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!