Pemerintah Bubarkan Komnas Lansia, Nasib Perempuan Lansia Semakin Buruk

Pembubaran Komnas Lansia mengundang reaksi dari Koalisi untuk Masyarakat Peduli Usia Lanjut (KuMPUL). LBH APIK yang merupakan salah satu anggota KuMPUL memaparkan sulitnya menyelesaikan persoalan Lansia dengan tidak adanya Komnas Lansia, lebih-lebih Lansia di Indonesia ini umumnya adalah perempuan

Presiden Jokowi akhirnya memasukkan Komnas Lanjut Usia/ Lansia sebagai salah satu lembaga yang dibubarkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.12 tahun 2020 dan telah ditandatangani oleh pada Kamis, 26 November 2020, padahal sebelumnya Komnas Lansia sempat dikabarkan tidak masuk dalam daftar untuk dibubarkan.  

Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Donny Gahral seperti dikutip VOA mengatakan, ada beberapa alasan utama mengapa Presiden membubarkan lembaga-lembaga tersebut. Pertama, katanya karena birokrasi pemerintahan yang dipandang terlalu gemuk, kedua fungsi daripada lembaga-lembaga ini bisa ditangani oleh kementerian teknis yang ada saat ini.

“Dan yang ketiga memang sekarang mengingat situasi pandemi, pemerintah perlu efisiensi terutama anggaran, dimana anggaran itu diperuntukkan untuk badan-badan itu bisa kemudian disalurkan untuk program pemulihan ekonomi nasional,” ujar Donny.

Pembubaran Komnas Lansia ini mengejutkan dan mengundang keprihatinan dari para pegiat isu Lansia. Aktivis KuMPUL, Adhi Santika menyuarakan agar Komnas Lansia direvitalisasi menjadi lebih kuat dan independen, bukannya dibubarkan.

Dalam konferensi pers pada 1 Desember 2020 secara daring, beberapa anggota KuMPUL menyatakan bahwa mereka sebelumnya telah mengirimkan surat kepada pemerintah diantaranya Yayasan Emong Lansia (YEL) serta Ragam Institute agar Komnas Lansia tidak dibubarkan. KuMPUL sangat menyayangkan Pemerintah kemudian malah membubarkan Komnas Lansia tanpa meminta pendapat publik.

“Kami sudah berkirim surat ke Kantor Staf Presiden ingin mengajak dialog, karena selama ini tidak ada koordinasi, tapi surat kami tidak pernah direspon.”

Bagaimana Nasib Lansia Perempuan?

Padahal Lansia, terutama perempuan Lansia di Indonesia di tahun 2019-2020 menurut catatan LBH APIK mengalami banyak persoalan. Seperti sebanyak 9,38% Lansia selama ini hidup sendiri, mayoritas perempuan Lansia tidak punya asuransi dan 5,75% mengalami kerentanan ekonomi. LBH APIK juga mendata para Lansia mendapatkan kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan kekerasan seksual

Khotimun Sutanti, Koordinator Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama KuMPUL memaparkan hal ini, menurut baseline survey di 3 Provinsi yaitu Bali, Sumatera Utara (Deli Serdang), dan Yogyakarta yang dilakukan LBH APIK didapatkan data persoalan yang menimpa para perempuan Lansia.

Posisi sosial Lansia ternyata berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat menempatkan Lansia. Misalnya Lansia sebagai pemimpin Upakara (Pedanda, Jero Mangku), pegawai negeri, kasta yang tinggi, memiliki anak yang dihormati oleh komunitas, atau memiliki harta akan lebih dihormati daripada yang tidak.

“Perempuan yang tidak memiliki anak cenderung lebih rentan ditelantarkan, misalnya di Bali dan Deli Serdang, bila tidak memiliki anak laki-laki cenderung lebih rentan terlantar.  Anak laki-laki disana sebagai penerus dlm adat, jadi lebih dihormati,” kata Khotimun

Ketidakadilan gender juga mempengaruhi situasi Lansia, terutama Lansia perempuan yang  dikonstruksi  oleh percampuran antara adat, tradisi dan tafsir agama secara turun-temurun. Lansia juga dianggap sebagai kelompok “tidak berdaya” dan bukan “subjek” dalam pembangunan tidak memiliki perwakilan/ tidak diperhitungkan dalam Musrenbangdes dll, dan sulit mengakses informasi dan pekerjaan.

Ketidakadilan gender dan eksklusi sosial yang dihadapi Lansia kemudian berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap Lansia. Data tentang Lansia hingga saat ini juga masih belum memadai seperti data terpilah Lansia laki-laki dan perempuan yang sering sulit didapatkan di tingkat desa, data kekerasan terhadap Lansia masih minim dan belum memuat terpilah secara lebih komprehenship, serta tidak ada update tahunan.

“Kekerasan terhadap Lansia sering tersembunyi dan disembunyikan karena dianggap memalukan, tabu, dianggap tidak penting lagi, tidak dipercaya sebagai korban, tidak tahu kemana meminta bantuan. Hambatan budaya sekaligus linear dengan  akses terhadap hak dasar juga berpengaruh pada Lansia seperti tidak memiliki identitas hukum seperti akta perkawinan, KTP, KK sendiri dan juga hambatan akses pendidikan.”

“Kartu Keluarga Lansia menyatu dengan kartu keluarga anak-anaknya,  sehingga Lansia kadang tidak terdata sebagai kelompok yang berhak atas bantuan sosial. Jaminan sosial Lansia juga tidak merata, dan banyak tidak diketahui di tingkat akar rumput terutama desa-desa. Masyarakat banyak yang belum memahami hak-hak Lansia.”

Selama ini menurut hasil survey LBH APIK, Lansia juga sulit menjual hasil bumi, misalnya dibeli murah oleh tengkulak sehingga penghasilan sangat minim,tidak dapat berjualan ke pasar dll. Mereka juga banyak yang tak terdata sebagai kelompok miskin sehingga tidak mendapat bantuan sosial, sedangkan terdampak sangat signifikan karena pandemi dan akses kesehatan yang lebih sulit dan lebih rentan di masa pandemi

Eka Afrina, peneliti dari Prakarsa mengatakan bahwa survey yang dilakukan Prakarsa mendapatkan data bahwa sekitar 80% Lansia kehilangan hak dasar dan sekitar 15% Lansia tidak bisa mengakses air bersih seperti menggunakan air hujan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari

Dari data ini Khotimun menyatakan bahwa pemerintah semestinya menyadari bahwa mandegnya kinerja Komnas Lansia adalah karena persoalan tidak adanya legitimasi dari Pemerintah, yaitu berupa perpanjangan ataupun penggantian keanggotaan Komnas Lansia, sehingga sejak tahun 2015 Komnas Lansia seperti tidak bisa berfungsi.

“Dalam arti yang lain bahwa, kemandegan Komnas Lansia karena diterlantarkan oleh Pemerintah sendiri sehingga tidak bisa berfungsi. Untuk penetapan masa jabatan, anggota Komnas Lansia dibentuk berdasarkan Keppres No. 22/M tahun 2012 diktum kedua menyatakan bahwa keanggotaan Komnas Lansia untuk masa jabatan tahun 2012–2014 adalah sampai dengan bulan Desember 2014, dan sejak saat itu tidak ada lagi peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang keanggotaan Komnas Lansia. Dengan demikian sejak 1 Januari 2015 sampai sekarang sudah tidak ada lagi keanggotaan Komnas Lansia sehingga anggota Komnas Lansia yang sudah ada tidak dapat bekerja kembali maupun tidak digantikan yang baru,” kata Adhi Santika

Eva Sabdono dari KuMPUL menyatakan, padahal Komnas Lansia sangat diperlukan melihat situasi pemenuhan hak dasar Lansia saat ini yang masih jauh dari harapan. Lansia yang seharusnya diletakkan sebagai subyek dalam pembangunan masih sering ditempatkan sebagai obyek dengan kegiatan-kegiatan yang minim pemberdayaan, namun lebih kepada charity.

Sedangkan Vita Dewi menyatakan, sangat tidak mungkin mengharapkan pemerintah untuk mengurus Lansia secara baik karena selama ini pemerintah buruk dalam melakukan koordinasi, seperti tidak terkoordinasikannya antara kementerian yang satu dengan kementerian yang lain.

Dengan adanya Perpres dibubarkannya Lansia, maka Lansia saat ini diurus oleh Kementerian Sosial.

Oleh karena itu, KuMPUL, jaringan dari 10 lembaga yaitu Alzheimer Indonesia, Yayasan Emong Lansia (YEL), Asosiasi LBH APIK Indonesia beserta LBH APIK Medan, LBH APIK Bali dan LBH APIK Yogyakarta, Center for Aging Studies (CAS) Universitas Indonesia, Komunitas Rahmat Pemulihan, beserta cabang di Jakarta dan Yogyakarta, The Prakarsa, Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), dan Women in Science Technology Innovation (WISTI), Ragam Institut, ALPHA-I (Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika -Indonesia), menyatakan bahwa pemerintah harus membatalkan pembubaran Komnas Lansia.

“yang dibutuhkan adalah pemerintah  merevitalisasi Komnas Lansia dengan memposisikan Komnas Lansia sebagai lembaga yang kuat dan independen dengan dukungan regulasi yang sesuai dan membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk merevitalisasi Komnas Lansia. Lalu merevisi UU No. 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia yang menguatkan posisi dan independensi Komnas Lansia serta penguatan pemenuhan akses hak dasar dan pemberdayaan Lansia sebagai subjek pembangunan.”

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!