Pilkada 2020: Negara Memanfaatkan Perempuan Untuk Kepentingan Politiknya

Pilkada yang dipaksakan pelaksanaannya pada Hari ini, 9 Desember 2020 sama sekali tidak relevan dengan kebutuhan perempuan di masa COVID-19. Lembaga Solidaritas Perempuan melihat bahwa perempuan yang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah lebih dari 50 persen turut dimobilisasi tanpa sedikitpun disentuh kepentingannya.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah tetap dipaksakan pelaksanaannya pada 9 Desember 2020. Solidaritas Perempuan melihat bahwa dalam Pilkada ini, negara justru sibuk memanfaatkan perempuan untuk kepentingan politiknya.

Lembaga Solidaritas Perempuan juga melihat bahwa di tengah pandemi COVID-19 yang gagal dientaskan pemerintah dalam waktu cepat sehingga penyebarannya sulit dikendalikan ini, telah menimbulkan krisis multidimensi yang menyengsarakan perempuan. Pertanyaannya, apakah Pilkada akan menyelesaikan persoalan ini?

Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menyatakan bahwa Pilkada yang seharusnya menjadi ruang kedaulatan rakyat di mana rakyat adalah penentu arah politik daerah, justru dimanipulasi untuk kepentingan yang jauh dari urusan rakyat. Alih-alih menjalankan tanggung jawab melindungi rakyat, negara justru sibuk mengatur agenda yang memanfaatkan kesengsaraan rakyat untuk memapankan kepentingan politiknya

“Padahal kelindan permasalahan perempuan semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Perempuan terus dimiskinkan karena wilayah kelolanya digempur proyek-proyek investasi skala besar, baik oleh korporasi swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk di dalamnya proyek strategis nasional, juga proyek yang pendanaannya didukung oleh lembaga keuangan internasional.”

Solidaritas Perempuan melihat bahwa kondisi ini akan menurunkan kualitas hidup perempuan menjadi semakin rendah dengan tanggungan beban yang lebih berat akibat peran-peran gender yang dilekatkan. Sementara, pilihan perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya menjadi semakin terbatas.

“Dalam ketidakberdayaannya, perempuan kerap terjebak dalam tindak pidana perdagangan orang, diperkosa, dilecehkan, dieksploitasi, dan tidak dipenuhi hak-haknya saat menjadi buruh, baik di dalam maupun di luar negeri, di saat perempuan memilih untuk mempertahankan kedaulatannya, baik atas diri, komunitas, maupun wilayah kelolanya, intimidasi dan kekerasan tidak luput mengintai perempuan. Negara bahkan menggunakan otoritas yang dekat dengan perempuan untuk melakukan pembungkaman dan pelemahan terhadap perjuangan perempuan.”

Krisis akibat pandemi COVID-19 semakin memperparah situasi tersebut. Tindakan pemerintah untuk mengurangi dampak krisis dengan menyediakan program bantuan bagi rakyat adalah tindakan yang tidak cukup. Rakyat, terutama perempuan, membutuhkan rasa aman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di tengah pandemi.

Padahal negara harus memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk menggerakan komunitasnya dan menggunakan cara hidup guyub dengan kekayaan pengetahuan lokalnya untuk bangkit dari krisis. Untuk mengondisikan situasi tersebut, Solidaritas Perempuan bahwa negara harus melakukan langkah-langkah extraordinary,termasuk menghentikan ketergantungan pada pihak swasta dalam membangun ekonomi negara dan menyerahkan kembali pengelolaan sumber daya alam kepada rakyat, terutama perempuan yang telah lama menjalin relasi mutual dengan alam.

“Pilkada yang juga menjadi ruang konsolidasi oligarki untuk agenda penguasaan sumber daya alam di daerah perlu ditertibkan. Perempuan sebagai entitas penting warga negara harus menjadi bagian dari pertimbangan penentuan arah politik negara, khususnya di daerah. Hal ini yang kemudian membuat Pilkada pada masa pandemi bukan menjadi agenda relevan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat saat ini. Bahkan, justru mengurangi partisipasi substantif rakyat dan meningkatkan potensi kecurangan pasangan calon karena sulitnya melakukan pengawasan. Ditambah lagi, penularan pandemi yang mengancam rakyat, terutama perempuan, baik perempuan pemilih maupun perempuan yang menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Terbukti, puluhan ribu anggota KPPS positif tertular COVID-19 sebagaimana dilansir dalam berbagai media,” kata Dinda Nuur Annisaa Yura

Atas dasar fakta tersebut, Solidaritas Perempuan mengajak dan mendorong perempuan untuk bersikap kritis dan menolak penguasaan oligarki di daerah yang dilanggengkan melalui sistem dan praktek politik yang patriarkis. Lalu mengonsolidasikan diri dengan kekuatan gerakan politik rakyat lain di daerah dalam upaya menghalau tindakan negara yang telah mengabaikan kepentingan rakyat, terutama perempuan.

“Hal lainnya mengorganisir diri dan menjaga basis kekuatan perempuan rakyat untuk melawan segala tindakan sewenang-wenang negara yang terus merampas kedaulatan perempuan dan menyebarluaskan tekanan politik kepada negara untuk memfokuskan penanganan COVID-19, serta penegakan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.”

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!