Saatnya Perempuan Pekerja Migran Dapatkan Perlindungan Di Masa Pandemi

Sebelum pandemi, perempuan pekerja migran berisiko mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Situasi darurat, seperti pandemi COVID-19, telah meningkatkan risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan pekerja migran yang bisa dilakukan oleh majikan, mitra, aparat penegak hukum, ataupun penyedia layanan garis depan

Di situasi ini, perempuan pekerja migran menjadi rentan terhadap kekerasan di tempat kerja, menghadapi kekerasan dan pelecehan dalam perjalanan kembali ke negara asal atau di fasilitas karantina COVID-19, maupun kekerasan oleh pasangan saat kembali akibat adanya tekanan ekonomi dan tambahan lainnya karena kehilangan mata pencaharian.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari UN Women meluncurkan Panduan Pelindungan Bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia Dalam Situasi Pandemi COVID-19 dan Protokol Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender & Perdagangan Orang Bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia

Dalam diskusi publik dan peluncuran “Panduan Pelindungan Pekerja Migran dan Protokol Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Perdagangan Orang Selama COVID-19” yang diselenggarakan bersama Aliansi Jurnalis Independen/ AJI pada Selasa (8/12/2020) Kementerian PPPA dan UN Women bertujuan memberikan panduan menangani dan memastikan ketersediaan layanan yang komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan pekerja migran agar bebas dari kekerasan dan perdagangan orang.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga September 2020, terdapat 24,912 perempuan pekerja migran atau 71% dari total jumlah pekerja migran yang kembali dari negara-negara terdampak COVID-19. Sebelum pandemi, perempuan pekerja migran sudah berisiko mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Situasi darurat, seperti pandemi COVID-19, telah meningkatkan risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan pekerja migran yang bisa dilakukan oleh majikan, mitra, aparat penegak hukum, ataupun penyedia layanan garis depan. Di situasi ini, perempuan pekerja migran menjadi rentan terhadap kekerasan di tempat kerja, menghadapi kekerasan dan pelecehan dalam perjalanan kembali ke negara asal atau di fasilitas karantina COVID-19, maupun kekerasan oleh pasangan saat kembali akibat adanya tekanan ekonomi dan tambahan lainnya karena kehilangan mata pencaharian.

“Melindungi hak pekerja migran, terutama perempuan pekerja migran adalah tugas kita bersama. Sebagian besar perempuan pekerja migran bekerja di luar negeri karena mereka adalah pemberi nafkah utama dalam keluarga. Dengan begitu perlindungan bagi pekerja migran tidak dapat dipandang sederhana karena juga melindungi keberlangsungan hidup keluarga, termasuk anak-anak mereka. Hal tersebut mendasari penyusunan panduan pelindungan bagi perempuan pekerja migran Indonesia dan pencegahan perdagangan orang di masa pandemi COVID-19,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam diskusi tersebut

Panduan dan protokol ini menekankan pentingnya pendekatan yang berpihak kepada korban dan menempatkan mereka sebagai subjek utama layanan.

Modul ini sendiri juga bertujuan untuk menjadi referensi bagai pemerintah, pemberi layanan, organisasi berbasis komunitas, atau layanan consular untuk memastikan tersedianya layanan terkoordinasi berkualitas dan untuk mendukung perempuan pekerja migran dengan lebih efektif dalam setiap tahapan migrasi, khususnya selama pandemi.

“Selama COVID-19, stres, terganggunya jaringan pendampingan sosial, serta akses terhadap layanan dapat meningkatkan risiko kekerasan bagi perempuan, termasuk perempuan pekerja migran. Perempuan pekerja migran seringkali sulit untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami karena ketakutan akan dipenjarakan atau dideportasi. Apabila kebutuhan khusus perempuan pekerja migran tidak masuk dalam respons terhadap COVID-19, maka mereka bisa menjadi lebih rentan terhadap kekerasan dan pelecehan lebih dari sebelumnya. Kami percaya pedoman dan protokol ini akan relevan dan bermanfaat bagi pemberi layanan dan pemangku kepentingan utama untuk secara efektif membantu mereka yang terdampak kekerasan dan untuk berkontribusi pada ketersediaan ruang aman bagi perempuan pekerja migran,” ucap Jamshed Kazi, UN Women Representative and Liaison to ASEAN.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!