Selamat Tinggal 2020, Tahun Kelam Bagi Jurnalis

Catatan Akhir Tahun Aliansi Jurnalis Independen/ AJI yang dilaunching 28 Desember 2020 secara online berjudul ‘Tahun Kelam’ bagi Jurnalis Indonesia menjadi informasi penting bahwa tahun ini memang tahun yang sangat kelam untuk jurnalis. Tahun 2020 akan dikenang sebagai tahun yang khusus dalam sejarah Indonesia, termasuk juga pers. Pandemi yang dimulai sejak Maret 2020 ini membawa dampak besar bagi pers dan jurnalis, yang ditandai dengan penutupan media, dilakukannya upaya efisiensi yang berbuntut pada lahirnya pemutusan hubungan kerja, penundaan dan pemotongan gaji

AJI Indonesia mencatat ada 4 catatan kelam yang menimpa jurnalis dan pers Indonesia:

1.Meningkatnya Kasus Kekerasan

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya ada 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis dari 1 Januari – 25 Desember 2020. Jumlah ini merupakan yang terbanyak sejak AJI melakukan pendataan kekerasan terhadap jurnalis pada 2006. AJI menduga kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih lebih banyak yang belum tercatat karena keterbatasan sumber daya manusia untuk memverifikasi kasus. Ini seperti yang terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat.

Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI Indonesia, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta (17 kasus), disusul Malang (15 kasus), Surabaya (7 kasus), Samarinda (5 kasus), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus. Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror 8 kasus.

Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul tidak dikenal 9 kasus, dan warga 7 kasus. Ironisnya, pelaku dari banyak sekali peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi, institusi yang seharusnya menegakkan hukum.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya ada 56 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak Undang-undang Cipta Kerja di berbagai kota.

Saat terjadi demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK, RUU KUHP pada akhir September 2019 lalu, setidaknya ada 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ada empat kasus dilaporkan ke Polda Metro Jaya dan 3 kasus di Polda Sulawesi Barat. Sampai sekarang kasusnya belum ada kemajuan.

AJI juga mencatat sejumlah kekerasan terhadap jurnalis dan perusahaan media dilakukan di ranah digital. Kasus terbaru adalah jurnalis Tempo yang mengalami percobaan peretasan pada 24 Desember 2020, usai menulis laporan pembagian bantuan sosial/ bansos. Adapun akun yang akan diretas yaitu email, akun media sosial, dan aplikasi pengirim pesan instan di ponselnya.

Pada 21 Agustus lalu, Tempo.co dan Tirto.id juga mengalami peretasan. Menurut Pemred Tirto.id Sapto Anggoro pelaku meretas akun email editor Tirto.id, lalu masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus 7 artikel Tirto.id, termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat corona. Pelaku peretasan terhadap Tempo.co berusaha mematikan server meski tidak berhasil. Namun peretas bisa mengubah tampilan Website Tempo.co.

Situs Magdelene.co dan Konde.co, dua media yang rutin menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, juga mendapat serangan digital. Situs Magdalene down dan tak bisa diakses. Konde.co, sejak tanggal 15 Mei 2020, juga tak bisa lagi mengakses akun Twitter-nya. Konde mendapat informasi adanya pembukaan akun twitternya secara paksa oleh seseorang di Surabaya, Yogyakarta, dan Belanda.

Selain peretasan, AJI juga menyoroti kasus doxing yang terjadi sepanjang 2020. Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. Ini seperti yang dialami jurnalis cek fakta Liputan6.com. Serangan doxing dilancarkan terkait karya jurnalistik korban yang dipublikasikan pada 10 September 2020. Sehari kemudian pelaku melancarkan serangan, dengan mempubikasikan data-data pribadinya di sejumlah akun media sosial, termasuk Instagram dan Telegram.

Foto pribadi Jurnalis Liputan6.com juga diambil tanpa izin, diubah menjadi animasi, untuk mendeskriditkan korban. Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, dua jurnalis dan pemeriksa fakta Tempo.co juga mengalami doxing saat menjalankan pekerjaannya. Kasus doxing ini bermula ketika CekFakta Tempo menerbitkan 4 artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan M. Indro Cahyono terkait Covid-19 sejak April-Juli 2020.

Kasus serangan siber juga dialami jurnalis Detik.com. Pemicunya adalah berita soal rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka pusat perbelanjaan, 26 Mei 2020. Rencana Jokowi itu menjadi sorotan luas publik. Rencana Presiden membuka mall di tengah pandemi yang masih menggila, menuai kritik tajam. Jurnalis Detik.com yang menulis berita itu juga menjadi sasaran kemarahan pendukung presiden. Serangan secara digital dilakukan dengan mengekspos identitasnya. Ia juga mendapatkan ancaman pembunuhan dan diteror dengan order makanan fiktif.

2.Regulasi Baru

Salah satu regulasi yang menjadi sorotan AJI Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020. Undang-undang sapujagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus.

Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media yang hendak diubah adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang Undang Ketenagakerjaan. Undang Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan setelah mendapat protes dari komunitas pers.

AJI Indonesia juga menyoroti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020. Salah satu yang diatur dalam aturan tersebut yaitu pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan.”

Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan. Substansi aturan ini sama dengan aturan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri di Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu.

Surat Edaran Mahkamah Agung/ MA tersebut mencantumkan ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut Mahkamah Agung setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.

AJI menilai peraturan MA ini akan membatasi hak jurnalis dalam mencari informasi, yang itu diatur dan dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentan Pers

3.Pemidanaan

Salah satu bentuk kasus kekerasan terhadap jurnalis yang layak mendapat sorotan adalah soal pemidanan terhadap jurnalis Banjarhits.com, Diananta Putra Sumedi.

Kasus Diananta bermula dari berita yang ditayangkan Banjarhits.id/ Kumparan.com berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” pada 8 November 2019 pukul 19.00 WITA. Berita ini ditulis oleh Diananta dan merupakan hasil wawancara dengan narasumber dari masyarakat adat suku dayak yaitu Bujino, Riwinto, dan Sukirman. Sukirman dan PT Jhonlin Agro Raya mengadukan Diananta ke Dewan Pers di Jakarta.

Dewan Pers menangani pengaduan itu dan mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor: 4/PPR-DP/11/2020 yang isinya menyatakan Kumparan dan Diananta bersalah melanggar Kode Etik dan direkomendasikan meminta maaf. Kumparan dan Diananta mematuhi anjuran Dewan Pers tersebut.

Selain dilaporkan ke Dewan Pers, Diananta juga dilaporkan ke polisi. Meski diproses di Dewan Pers, namun polisi tetap memproses kasus itu hingga kasusnya masuk ke pengadilan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru yang dipimpin Meir Elisabeth menjatuhkan vonis penjara 3 bulan 15 hari kepada jurnalis Diananta Putra Sumedi, 10 Agustus 2020.

Majelis hakim menilai Diananta terbukti bersalah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sesuai pasal 28 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. AJI berpandangan hakim dalam mengadili kasus ini mengabaikan adanya Undang Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialist dibandingkan dengan Undang Undang ITE, yang di dalamnya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan. Vonis ini menjadi preseden buruk bagi pers karena bisa dipakai oleh siapa saja untuk mempidanakan, dan mengintimidasi, jika terusik oleh pemberitaan media.

Tentu saja ini akan berdampak pada tumpulnya fungsi kontrol sosial oleh pers. Polisi juga semestinya tidak memproses Diananta dengan pasal pidana Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sesuai MoU, sengketa pemberitaan ditangani oleh mekanisme di Dewan Pers.

Dalam kasus ini, Dewan Pers sendiri sudah menanganinya dan mengeluarkan pernyataan penilaian, pendapat dan rekomendasi. Kumparan dan Diananta sudah memenuhi anjuran Dewan Pers tersebut sebagai bagian dari penyelesaian sengketa pemberitaan. Dengan perkembangan tersebut sudah sepatutnya kasus pidana Diananta itu tidak diproses lebih lanjut oleh polisi.

4.Pandemi dan Dampaknya bagi Jurnalis

Situasi sulit akibat pandemi juga melahirkan sejumlah kebijakan media yang tak menguntungkan para pekerjanya. Dengan alasan bertahan dari krisis, sejumlah perusahaan media antara lain melakukan pemutusan hubungan kerja, menunda dan memotong gaji. Langkah-langkah drastis perusahaan media ini menjadi tekanan berat bagi pekerja media.

Bulan Juni 2020 lalu, media siber Kumparan melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan dengan proses sosialisasi yang sangat singkat, yaitu sepekan sejak pengumuman PHK disampaikan. Ironisnya, karyawan yang di-PHK hanya mendapatkan pemberitahuan melalui surat elektronik (email).

Data lain menunjukkan, menurut pantauan AJI Surabaya, awal Agustus 2020 lalu, sejumlah jurnalis dan pekerja media Jawa Pos juga “dipaksa” mengambil opsi pensiun dini. Jika menolak, maka mereka akan di-PHK.

Manajemen berdalih melakukan program resizing tersebut sebagai langkah efisiensi karena dampak pandemi terhadap bisnis perusahaan. Ironisnya, para jurnalis dan pekerja media yang diberhentikan ternyata kemudian dipekerjakan kembali oleh PT. Jawa Pos Koran sebagai karyawan berstatus kontrak dengan durasi kerja beragam atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Beberapa pengurus Serikat Pekerja Jawa Pos yang menolak pensiun dini akhirnya di-PHK pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Pada bulan yang sama, di Jakarta, para jurnalis dan pekerja media Jakarta Post juga gundah setelah manajemen perusahaan mengumumkan akan ada PHK besar-besaran karena perusahaan kesulitan pembiayaan. Rencana tersebut sempat ditunda karena perusahaan berkomitmen mencari investor baru. Namun demikian, hingga Oktober 2020, situasi tersebut masih menggantung tidak jelas, karyawan masih bertanya-tanya tentang nasib mereka ke depan. Tanggal 12 Oktober 2020, dalam sebuah pertemuan besar dengan karyawan, manajemen mengumumkan belum ada investor baru yang masuk. Pada kesempatan itu, manajemen kemudian menawarkan paket pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi 1 PMTK, sebuah tawaran yang jauh dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu 2 PMTK.

Tawaran PHK juga disampaikan Tempo kepada karyawannya. Berbeda dengan Jakarta Post yang membuka komunikasi kepada seluruh karyawan, manajemen Tempo menyampaikan surat pemberitahuan PHK kepada 19 karyawan dengan dipanggil satu per satu. Menurut pengakuan beberapa karyawan, kriteria pemanggilan tersebut tidak jelas. Dalam pertemuan dengan karyawan yang akan di-PHK, manajemen Tempo menawarkan uang PHK sebesar 1,5 PMTK. Nilai ini masih di bawah ketentuan normatif UU Ketenagakerjaan sebesar 2 PMTK.

Seperti di Jawa Pos, beberapa karyawan yang di-PHK ditawari untuk bekerja kembali di Tempo sebagai kontributor dengan status karyawan PKWT. Akan tetapi, setelah muncul protes dari internal dan desakan dari eksternal, khususnya AJI Indonesia, akhirnya Tempo memberikan uang PHK sebesar 2 PMTK kepada para karyawan yang di-PHK. Patokan normatif 2 PMTK masih dijalankan karena Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Tempo yang sedang berjalan masih memakai ketentuan perundang-undangan lama, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut laporan yang masuk ke AJI, sejumlah perusahaan media juga menunda pembayaran gaji serta tunjangan hari raya (THR) karyawan serta memotong gaji karyawan karena krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19. Penundaan dan pemotongan gaji serta THR masih terus berlangsung seiring belum tuntasnya penanganan pandemi Covid-19. Dahsyatnya pukulan pandemi tentu dirasakan semua pihak, namun demikian krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya.

AJI mendesak perusahaan media menghentikan kebijakan penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak. Kalau pun ada upaya drastis yang akan dilakukan, harus dilakukan sesuai undang-undang.

Berdasarkan hasil survei AJI Indonesia bersama International Federation Journalists (IFJ) pada 27 Oktober-13 November 2020, diketahui bahwa pandemi berdampak serius bagi media. Dari 792 pekerja media yang menjadi responden survey, inilah yang dialami: pengurangan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), PHK (5,9 persen), perumahan karyawan (4,1 persen), dan lainnya.

Selain problem ketenagakerjaan, AJI menerima informasi masih ada sejumlah perusahaan media yang abai melindungi pekerja dari penyebaran Virus Korona, mulai dari pemenuhan Alat Pelindung Diri (APD), fasilitas testing (PCR atau antigen) deteksi Virus Korona setelah penugasan di kerumunan hingga, penyiapan SOP (Standar Operasional Prosedur) pencegahan ketika pekerja terpapar Covid-19. Dari total 792 pekerja media yang menjadi responden, sebanyak 63,2 persen di antaranya mengaku tidak dibekali alat pelindung diri (APD) dari perusahaan. Hanya 36,8 persen responden yang menyatakan dibekali APD oleh perusahaan saat bekerja di tengah pandemi Covid-19. Selain APD, pemberian layanan tes Covid-19 baik rapid test maupun swab test (PCR) juga minim.

Sebanyak 63,8 persen responden mengaku perusahaannya tidak menyediakan layanan tes Covid-19 dan hanya 23,9 persen yang mengatakan ada layanan tes Covid-19, kemudian 12,4 persen sisanya mengaku tidak tahu menahu.

Pernyataan pers ini dilaunching oleh Abdul Manan, Ketua Umum AJI, Revolusi Riza, Sekjen AJI, Sasmito Madrin, Ketua Bidang Advokasi. Lalu Wawan Abk, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Endah Lismartini, Ketua Bidang Gender, Anak dan kelompok Marjinal AJI Indonesia

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!