Tolak RUU, Jangan Tolak Lamaranku: Tren Bahasa Populer Poster Aksi

Tolak RUU, Jangan Tolak Lamaranku, ini adalah salah satu bahasa populer yang digunakan dalam poster-poster aksi anak muda sekarang

Surahmat, Universitas Negeri Semarang

Indonesia Darurat Sampai K-Poper Ikut Demo”,

Daripada Sahkan UU Ciptaker Mending Sahkan Hubunganku dengan Dia

Ava Korea Juga Mahasiswa, Indonesia Nomor Satu Oppa Nomor Dua

Ungkapan-ungkapan di atas merupakan bahasa protes yang digunakan oleh mahasiswa dalam demonstrasi menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang terjadi di puluhan kota di Indonesia pada 20 Oktober 2020 lalu.

Selain menggunakan ungkapan langsung yang tegas untuk menyampaikan aspirasi, demonstran juga menggunakan bahasa protes yang cenderung santai bahkan jenaka tersebut.

Penggunaan bahasa protes yang riang dan jenaka bahkan cenderung menjadi tren.

Ungkapan protes yang jenaka ini mirip dengan demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019.

Jika dibandingkan dengan demonstrasi besar mahasiswa sebelumnya pada 1998, bahasa protes saat ini menunjukkan adanya pergeseran persepsi politik di kalangan anak muda.

Lebih dari 20 tahun yang lalu, politik dan demontrasi dipersepsi sebagai hal serius, keras, dan bahkan berbahaya. Namun anak-anak muda era sekarang tampaknya mempersepsi politik dan demontrasi juga bisa riang, seru, dan menyenangkan.

Bahasa protes yang berubah

Dari sudut pandang sosiolinguistik, penggunaan bahasa protes demikian menggambarkan hubungan bahasa dengan demografi penuturnya yaitu anak muda.

Adapun kemunculannya dapat diidentifikasi melalui dua faktor utama.

Pertama, perubahan etos milenial. Kedua, pengaruh media sosial.

Sosiolog Monash University di Australia Ariel Heryanto menunjukkan bagaimana anak muda saat ini suka sekali mengekspresikan diri mereka di ruang publik. Ariel melihat ini pada fenomena anak muda Muslim perkotaan Indonesia yang tidak hanya mengekspresikan kesalehan mereka dalam ruang sunyi dan sepi seperti para sufi, melainkan juga ditampilkan dalam pilihan busana, pilihan film, dan produk pop lainnya, termasuk menyuarakannya secara verbal dan visual di media sosial.

Sikap demikian sekaligus menggambarkan perubahan etos pada diri anak-anak muda masa sekarang.

Menurut penulis buku When Milenials Take Over Jimmy Notter dan Madie Grant, milenial saat ini memiliki empat etos khas yaitu digital, terbuka, fleksibel, dan cepat.

Dalam aksi demontrasi mahasiswa, empat etos itu tergambar dalam pola-pola gerakan, media kampanye yang dipilih, termasuk pilihan gaya bahasa.

Etos digital tergambarkan dalam pilihan media digital yang mereka gunakan untuk kampanye. Pamflet-pamflet politik tidak lagi berbentuk mural melainkan konten visual dan audiovisual di media sosial.

Etos terbuka tergambar dalam beragamnya isu yang mereka pilih. Meski ada isu-isu besar yang menjadi perhatian bersama, gerakan-gerakan sipil mahasiswa juga menyoroti aneka isu minoritas.

Etos fleksibel tergambar dalam kemampuan mereka menyatukan berbagai hal. Nilai-nilai yang tampaknya saling berseberangan bisa ditampilkan bersama.

Adapun etos cepat tergambar dalam kemampuan mereka merespons isu, berkoordinasi, dan melakukan aksi. Namun etos cepat ini juga tergambar dalam inkonsistensi mereka dalam mengawal isu karena cepat bosan.

Latar demografis dan psikologis di atas menjelaskan mengapa anak muda demonstran menggunakan ekspresi berbahasa yang nyeleneh dan cenderung jenaka. Pilihan bahasa mereka dipengaruhi oleh dua kekuatan. Kekuatan internal berupa etos dan nilai-nilai. Kekuatan eksternal berupa tuntutan lingkungan untuk didengar dan eksis.

Peran media sosial juga penting dalam mempengaruhi munculnya tren bahasa protes yang jenaka ini.

Media sosial telah terbukti dapat mengendalikan dan mempengaruhi perilaku penggunanya.

Media sosial memiliki kekuatan mendorong penggunanya untuk memilih tindakan yang sesuai dengan hukum-hukum di media sosial. Tindakan yang secara atraktif dan diterima di media sosial cenderung dipilih untuk dilakukan penggunanya.

Lahirnya bahasa protes yang jenaka dan nyeleneh itu menunjukkan usaha para demonstran untuk menyesuaikan diri dengan hukum-hukum media sosial tersebut. Agar pesan-pesan politiknya menarik dan menjadi perhatian masyarakat maka mereka mengemasnya dengan gaya yang berpotensi viral.

Mereka menyadari pesan-pesan politik yang normatif dan datar akan diabaikan oleh masyarakat dan subjek politik yang mereka protes. Sebaliknya, pesan-pesan politik yang unik akan tersebar dan berpeluang mendapat perhatian.

Kecenderungan menggunakan bahasa secara unik menggambarkan dua hal sekaligus. Di satu sisi itu merupakan strategi untuk mengamplifikasi pesan politik agar tujuan politik dapat tercapai. Namun di sisi lain, penggunaan bahasa demikian juga menunjukkan narsisme dan keinginan para demonstran menjadi pusat perhatian.

Memadukan tujuan politik dan keinginan eksis di media sosial adalah sifat anak muda yang lazim pascareformasi, bukan hanya dalam dunia politik. Di tangan anak-anak muda, bidang apa pun bisa dikemas dalam bentuk budaya populer.

Candaan sebagai cara berpolitik

Namun demikian, ada kemungkinan pilihan berbahasa mereka juga menggambarkan munculnya ideologi baru. Bahasa jenaka sengaja dipilih oleh anak muda untuk menggambarkan kejengahan mereka terhadap jalur protes dan advokasi yang ada.

Bahasa candaan yang berungkus humor memang memiliki kekuatan politis tertentu.

Profesor komunikasi Daleware University di Amerika Serikat Dannagal G. Young menunjukkan bahwa sejak era Yunani dan Romawi para politikus dan elite dibuat kagum sekaligus takut dengan kekuatan humor sebagai alat politik.

Secara mikro, humor memiliki kekuatan khusus karena mampu meresap dalam ingatan para pendengarnya. Kekuatan ini berkaitan erat dengan diterimanya humor di hampir semua kalangan.

Orang lebih terbuka terhadap humor daripada jenis ungkapan lain, sekalipun humor tersebut secara politis tidak sejalan dengan ideologinya. Humor dapat menyampaikan kondisi paradoks dan ganjil dalam masyarakat tanpa menampilkan paradoks dan keganjilan itu sendiri.

Adapun secara makro, kekuatan politik humor terletak pada kemampuannya menyebar dan menggerakkan orang lain. Humor bisa tampak sangat remeh ketika diperdengarkan namun bisa memiliki kekuatan persuasif besar ketika pesan di baliknya dipahami pendengar.

Karena itulah, patut dibaca bahwa ungkapan jenaka memang alat baru berpolitik bagi anak-anak muda. Pilihan terhadap ungkapan jenaka menggambarkan persepsi politik mereka.

Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri Semarang

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!