Transchool Diary: Dokumenter Sekolah Bagi Transgender Muda

Apakah Transchool Diary? Transchool Diary adalah sebuah film dokumenter yang berisi kegiatan sekolah bagi para transgender muda. Di sekolah ini, para transgender muda tak hanya mendapat pengetahuan, namun juga sharing tentang apa saja yang mereka alami. Ada testimoni, ada penerimaan pada para transgender muda disini

Di Transchool Diary, para transgender muda seperti punya ruang atau sekolah baru dimana mereka bisa menceritakan kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami selama ini 

Tak hanya persekusi dari masyarakat, tapi juga kekerasan dari negara, seperti sulit mengurus identitas Kartu Tanpa Penduduk/ KTP. Tak jarang, kebencian dan kekerasan fisik kepada transgender itu muncul dari normalisasi candaan seksis.

Melalui dokumenter Transchool Diary, saya melihat ini seperti sekolah rintisan yang dibentuk oleh Sanggar Suara untuk para transgender. Sekolah ini dibentuk untuk meningkatkan kesadaran transgender akan maraknya diskriminasi terhadap mereka.

Seperti kita ketahui, masih banyak diskriminasi dan persekusi yang menyerang transgender di Indonesia. Masih ingat kasus Mira yang dibakar hidup-hidup di Cilincing, Jakarta Utara? Atau tentang perspektif media yang buruk dan diskriminasi aparat terhadap pemberitaan artis transgender yang ditangkap karena kasus narkotika?

Transchool merupakan sekolah alternatif bagi kelompok transgender karena diskriminasi pendidikan bagi mereka. Kelas yang mereka ikuti yakni kelas pengenalan dasar dan kelas reguler.

Salah satu peserta transchool memaparkan tentang diskriminasi yang terjadi pada dirinya, hingga akhirnya Ia pindah dari Batam ke Depok, dan harus berhenti sekolah di kelas 2 SMA. Diskriminasi tersebut memotivasinya untuk mengikuti transchool.

“Ingin menjadi pakar hukum setelah melihat diskriminasi terhadap transpuan. Apa yang harus kulakukan agar tidak terjadi diskriminasi lagi?,” ujar salah satu peserta sekolah.

Melalui transchool, transgender juga bisa memahami masalah-masalah yang menyertai mereka. Transchool menjadi support system bagi transgender sehingga mereka bisa memiliki kekuatan untuk berdaya.

“Suatu saat aku ingin punya usaha sendiri,” kata peserta lainnya.

“Ingin sukses jadi inspirator,” kata yang lain.

Transchool memberikan pemahaman bagi para peserta tentang feminisme, SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, Sex Characteristic), Hak Asasi Manusia (HAM), dan hukum. Sekolah ini mengajak transgender untuk membedah penyebab diskriminasi terhadap mereka, salah satunya karena masyarakat yang masih menggunakan pemahaman biner dan mengabaikan pendekatan gender. Masyarakat masih melihat bahwa transpuan adalah laki-laki.

Salah satu cara untuk berdaya yakni penerimaan diri. Ryan Korbarri, salah satu mentor di transchool memberikan motivasi kepada para peserta agar bisa menerima diri mereka sebagai seorang perempuan. Penerimaan di dalam diri sendiri menjadi kunci agar mereka bisa melawan diskriminasi.

“Memangnya perempuan yang sempurna yang seperti apa?”

Bunga, salah satu peserta mengatakan bahwa melalui transchool ini, Ia semakin mengerti tentang adanya identitas lain. Laki-laki dan perempuan bukan hanya perkara terlahir memiliki penis dan vagina. Kita berhak mengidentifikasi gender kita sendiri.

“Tidak tertarik terhadap perempuan, normal atau tidak normal. Ini bahasa biner. Padahal di luar laki-laki dan perempuan ada identitas lain,” kata Bunga.

Transchool memberikan kesadaran bagi para peserta tentang hak-hak mereka, termasuk hak dasar sebagai warga negara yang selama ini kerap diabaikan oleh pemerintah: persekusi dari masyarakat, diskriminasi dari aparat, kesulitan mendapat pendidikan dan pekerjaan, akses kesehatan, hingga Kartu Tanda Penduduk/ KTP.

“Awalnya aku pikir transchool ini enggak penting. Lalu setelah lihat profil transchool, tadinya males, tapi makin ke sini, aku semakin berani membela komunitas, aku belajar SOGIE dan HAM,” kata Icha, peserta transchool lainnya.

“Banyak perubahan setelah ikut transchool. Saya jadi banyak tahu hak yang harus dipenuhi pemerintah,” tutur salah satu peserta.

“Merasa banyak teman, banyak pengalaman yang belum saya tahu,” kata Lutfi, salah satu peserta transchool.

Transchool menjadi wadah bagi para peserta untuk berjejaring dan saling menguatkan satu sama lain untuk melawan ejekan dan diskriminasi yang kerap diterima oleh kawan-kawan transgender. Bukan itu saja, pelajaran-pelajaran yang diberikan dalam transchool ini menggerakan mereka untuk melawan diskriminasi terhadap komunitas transgender melalui pengembangan kapasitas.

Bahkan transchool juga menjadi tempat bagi peserta untuk membuktikan kemampuan mereka kepada keluarga bahwa sebagai transgender, mereka juga memiliki kapasitas dan mampu membawa perubahan.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!