Yuk, Memahami LGBT Tanpa Menghakimi

Ajaran seksualitas banyak mengalami sesat pikir, apalagi yang terkait dengan pilihan seksual seseorang, seolah semua orang layak untuk memberikan stigma dan menghakimi

Pertama kali saya mendengar tema seksualitas secara serius saat mengambil Mata Kuliah Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, dan beberapa mata kuliah lainnya. 

Tema seksualitas memang kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia.  Seksualitas juga lekat dengan tubuh kita, pengalaman kita dari kecil hingga kini. Namun lucunya, setiap kali berbicara soal seksualitas, mengapa tiba-tiba banyak yang merasakan malu atau merasa cemas?

Menurut saya, ini disebabkan karena di masyarakat kita, seksualitas masih menjadi barang yang tabu untuk dibicarakan, selalu disembunyikan.  Selain itu, hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi bicara soal seksualitas. Hukumannya pun kejam, menurut sejarahnya, pernah ada hukuman api neraka bagi siapapun yang melanggarnya. 

Mutu pendidikan yang rendah, makin membuat kerumitan persoalan ini. Sehingga pikiran kritis dan rasional terkait seksualitas dianggap berbahaya. Lebih-lebih jika kita membicarakan pilihan seksualitas yang bukan heteroseksual, namun homoseksual, ini seperti dianggap berseberangan, tak lazim.

Disadari atau tidak, berargumentasi seringkali menyisipkan banyak kekeliruan, dan itu berbahaya. Dalam setiap argumen, orang sering mengajukan alasan (premis) bagi kesimpulan yang dianggap paling benar. Tapi seringkali, premis yang diajukan keliru dan tidak berhubungan secara logis dengan kesimpulan yang dimaksud. Dengan demikian, argumentasinya sesungguhnya bisa sangat keliru dan gugur dalam sebuah perdebatan.

Beberapa argumentasi ini sering saya dengar dalam diskusi dan perdebatan-perdebatan, yaitu argumentasi soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), dan kekeliruan ini sudah sangat lama dan sepertinya banyak orang kemudian meyakininya. Argumentasi tak berdasar ini antaralain:

LGBT Dianggap Pelaku Kekerasan Seksual

Argumen ini adalah Hasty Generalization Fallacy yang biasanya muncul ketika ada kasus pemerkosaan terjadi. Fallacy atau sesat pikir tersebut artinya membuat kesimpulan berdasarkan jumlah sampel yang kecil daripada melihat angka statistik yang lebih relevan dengan situasi sekarang. Faktanya, berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019, kekerasan di ranah privat terhadap perempuan dan anak perempuan, baik dalam ranah rumah tangga maupun di luar rumah tangga pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, yaitu suami, kakak, paman, dll

LGBT adalah Penyakit Jiwa dan Menular

Di dunia kedokteran, pakar neurologi Ryu Hasan sudah menyampaikan kepada media berulang kali bahwa orientasi seksual bukan termasuk penyakit.

LGBT Rentan Mengalami Gangguan Mental

Hal ini adalah argumentasi yang sangat bias. Dalam banyak jurnal, kita dapat melihat bahwa disparitas kesehatan mental didorong oleh kondisi sosial yang menentukan. Kasus gangguan mental bisa terjadi dimana saja, di rumah, di tempat kerja, dan bisa terjadi pada siapa saja dan berbagai macam penyebabnya. Argumentasi ini juga merupakan sesat pikir dan tak berdasar

LGBT Tak Mungkin Bahagia dan Sukses

Sejatinya pilihan orientasi seksual tidak berhubungan dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Pada kenyataannya, diskriminasi yang dialami LGBT karena masyarakat yang tidak mau menerima mereka apa adanya tanpa dasar yang jelas.

Oleh karena itu tak pantas menghakimi dan menganggap kita adalah kebenaran itu sendiri. Ingat, jika kita menghakimi, mendiskriminasi, menstigma dan melakukan kekerasan, disitulah sebenarnya ujung persoalan dunia ini

(Ilustrasi: Pixabay)

Honing Alvianto Bana

Lahir di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Suka Bertani dan beternak. Tulisannya ditulis di berbagai media. Bisa disapa lewat akun facebook: Honing Alvianto Bana
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!