Yuk, Simak Kaleidoskop Konde.co: Situasi Kekerasan Perempuan dan Minoritas 2020

Jika ada yang tanya apa yang ingin segera saya lakukan saat ini, saya akan menjawab: saya pengin cepat pergi dari tahun 2020 yang gelap dan penuh kekerasan. Konde.co merangkum catatan kekerasan terhadap perempuan dan minoritas dalam kaleidoskop tahun 2020

Sudah jelas ini adalah tahun yang mengerikan bagi perempuan dan minoritas. Menghabiskan sepuluh bulan terkungkung karena pandemi Covid-19 dan tak tahu hingga kapan berakhir.

Bekerja di rumah dengan tetap mengerjakan setumpuk tugas, menjaga anak, dihantui ketakutan karena pandemi, dan menyaksikan banyak perempuan korban kekerasan yang tak bisa ditangani adalah situasi yang banyak dialami perempuan 10 bulan ini.

Inilah kaleidoskop yang dirangkum Konde.co atas kekerasan yang menimpa perempuan dan minoritas di Indonesia selama tahun 2020:

1.Kekerasan Perempuan dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Yang Tinggi

Kekerasan terhadap perempuan sejak awal pandemi menjadi sorotan publik. Bayangkan saja, jumlah perempuan yang mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) melonjak sangat tinggi. Ada perempuan yang disebarkan wajahnya dan tubuhnya di media sosial dan kemudian dibully tanpa klarifikasi. Kondisi ini juga dialami sejumlah perempuan artis di Indonesia di tahun 2020.

LBH APIK dan Komnas Perempuan melaporkan tentang tingginya angka kekerasan di masa pandemi dan KBGO yang jumlahnya di bawah angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dimana jumlah ini belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya

Bentuk KBGO yang diterima perempuan sangat beragam, mulai dari pelecehan seksual secara online, ancaman penyebaran konten intim dengan motif eksploitasi seksual hingga pemerasan. Tingginya angka ini menunjukkan bahwa perempuan kian rentan di dunia offline maupun daring.

Ada foto intim perempuan yang dishare, namun justru disalahkan, ada ancaman kriminalisasi di online, victim blaming, ada juga ancaman UU Pornografi dan UU ITE yang menimpa perempuan pada umumnya.

LBH APIK mencatat, kondisi ini dengan sendirinya memberikan gambaran tentang tidak adanya ruang aman di dunia maya dan masih gagapnya lingkungan di dunia digital.

Data yang dihimpun LBH APIK terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020 sampai November 2020, terdapat 710 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini cukup tinggi mengingat pada tahun 2019, pengaduan dalam satu tahun mencapai 794 sedangkan pada tahun 2020, hanya dalam waktu 9 bulan saja jumlah pengaduan sudah mencapai angka 700an.

Kondisi buruk lainnya adalah banyak korban yang tak bisa mengakses bantuan hukum karena keterbatasan korban, situasi Covid-19 dan bantuan pemerintah yang belum cukup memadai untuk korban.

Kondisi ironis juga ditunjukkan oknum pemerintah ketika ada seorang anak perempuan dididuga menjadi korban perkosaan Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, pada Juli 2020. Hasil investigasi yang dilakukan Lembaga Advokasi Perempuan, DAMAR Lampung menemukan bahwa P2TP2A Kabupaten Lampung Timur selama ini tidak memiliki standar operasional atau mekanisme penanganan korban. Bahkan pengurus dan pengelola P2TP2A ada yang berjenis kelamin laki-laki. DAMAR meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan evaluasi terhadap P2TP2A di seluruh Indonesia

2.Kekerasan Pada Minoritas Gender

Seorang transpuan bernama Mira dibakar tubuhnya di wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Ini salah satu kondisi kejam yang menimpa transpuan di tahun 2020. Para aktivis melihat bahwa pembakaran Mira dilakukan karena kebencian para pelaku terhadap keberadaan LGBTIQ di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 April 2020. Mira diketahui dibakar oleh lebih dari 6 orang yang tidak dikenal di hari itu. Sebelum Mira dibakar, Mira sempat diseret dari tempat tinggalnya ke pangkalan kontainer di wilayah Cilincing, Jakarta Utara untuk dipukuli hingga babak belur.

Setelah peristiwa itu, terjadi konten seksis yang disebarkan salah satu youtuber, Ferdian Paleka pada transpuan di Bandung pada 3 Mei 2020. Ferdian dengan berpura-pura memberikan bantuan padahal isinya batu-bata dan sampah. Ini membuat trauma para transpuan. Sebelum menyebarkan ini, Ferdian Paleka juga pernah membuat konten seksis dengan menghina pekerja seks. Kasus ini mengingatkan kita pada perlakuan penghinaan terhadap kemanusiaan 

Kasus penggerebekan komunitas “hotspace” oleh polisi di Kuningan, Jakarta pada 29 Agustus 2020 dilakukan oleh polisi. Peristiwa ini dikritik keras oleh para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Kelompok Rentan (LGBTIQ), Konsorsium Crisis Respon Mecanism/ CRM dan Organisasi Institute For Criminal Justice Reform (ICJR). Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi untuk melakukan perlindungan hak kelompok rentan (LGBTIQ) melihat bahwa kegiatan yang dilakukan di Kuningan, Jakarta tersebut sama sekali tidak dilatari dengan motif untuk kepentingan keuntungan ekonomi, sehingga kegiatan ini bukanlah merupakan pelanggaran hukum.

Masa pandemi Covid-19 juga mempersulit ruang gerak Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Tak sedikit dari mereka yang mengalami dampak psikologis saat pandemi. Banyak transpuan yang kehilangan pekerjaan karena pandemi, mereka juga kesulitan untuk mendapat tempat tinggal karena tak bisa membayar sewa kontrakan. Kondisi ini tentu meningkatkan kerentanan mereka terhadap Covid-19.

Kekerasan juga mengancam kelompok minoritas gender di tahun 2020. Bahkan berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Transgender Indonesia (JTID) tentang dampak Pandemi Covid-19 terhadap Komunitas Transgender di Indonesia, pelaku kekerasan tertinggi adalah aparat. Selain itu, mereka juga mendapat ancaman dari warga dan preman.

Oleh aparat, mereka terancam ditangkap ketika keluar rumah. Padahal mereka bekerja dan tak mendapat bantuan saat pandemi.

Pendapatan kelompok transgender pun menurun drastis. Sebelum pandemi, rata-rata pendapatan mereka per bulan sebesar Rp4.308.425,-, tapi saat pandemi, rata-rata pendapatan mereka menyusut hingga lebih dari 50 persen yakni sebesar Rp1.802.968,-.

3. Kekerasan dan Pengabaian Pada Disable

Hasil Kajian Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Forum Pengada Layanan (FPL) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) tentang kekerasan berbasis gender terhadap perempuan penyandang disabilitas di masa Covid-19 di tahun 2020 menemukan bahwa perempuan disable mengalami kekerasan seksual dua kali lebih banyak dari laki-laki disable, dan 10 kali lebih banyak kemungkinannya dibandingkan perempuan non disable.

Pelaku kekerasan menjadikan perempuan disabilitas sebagai target karena keterbatasan mobilitas fisik dan/atau keterbatasan mereka dalam berkomunikasi.

Kajian ini dipaparkan oleh HWDI bersama FPL dan KPI pada 20 Oktober 2020. Bentuk kekerasan yang dapat dialami perempuan disabilitas termasuk kurangnya rasa hormat terhadap pribadi yang bersangkutan, seperti menyita alat bantu (kursi roda, alat bantu dengar, atau tongkat putih) yang dapat membatasi mobilitas dan interaksinya dengan orang lain, serta meningkatkan rasa ketidakberdayaan dan ketergantungan.

Kondisi lain dicatat oleh Organisasi Perhimpunan Jiwa Sehat. Setidaknya terdapat 12 ribu penyandang disabilitas mental/ psikososial yang terpenjara di ratusan panti-panti sosial di seluruh Indonesia. Kondisi panti disabilitas mental di banyak tempat menyerupai penjara. Penghuni di tempatkan di bangsal atau sel-sel berteralis besi.

Di beberapa panti, penghuni harus menjalani aktivitas sehari-hari di sel-sel tersebut. Mereka tidak boleh meninggalkan bangsal selain untuk keperluan makan. Di dalam sel-sel tersebut juga masih banyak penghuni yang mengalami perantaian. Mereka harus buang air besar hingga tidur di tempat yang sama. Kondisi demikian telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.

Organisasi Perhimpunan Jiwa Sehat telah berkali-kali melaporkan kondisi tersebut kepada Kementerian Sosial. Namun sampai saat ini belum banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini. 

4. Diskriminasi Pada Lansia

Presiden Jokowi membubarkan Komnas Lanjut Usia/ Lansia pada November 2020. Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Donny Gahral seperti dikutip VOA mengatakan, ada beberapa alasan utama mengapa Presiden membubarkan lembaga-lembaga tersebut. Pertama, katanya karena birokrasi pemerintahan yang dipandang terlalu gemuk, kedua fungsi daripada lembaga-lembaga ini bisa ditangani oleh kementerian teknis yang ada saat ini.

Pembubaran Komnas Lansia ini mengejutkan dan mengundang keprihatinan dari para pegiat isu Lansia. Aktivis KuMPUL, Adhi Santika menyuarakan agar Komnas Lansia direvitalisasi menjadi lebih kuat dan independen, bukannya dibubarkan.

Padahal Lansia, terutama perempuan Lansia di Indonesia di tahun 2019-2020 menurut catatan LBH APIK mengalami banyak persoalan. Seperti sebanyak 9,38% Lansia selama ini hidup sendiri, mayoritas perempuan Lansia tidak punya asuransi dan 5,75% mengalami kerentanan ekonomi. LBH APIK juga mendata para Lansia mendapatkan kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan kekerasan seksual

Khotimun Sutanti, Koordinator Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama KuMPUL memaparkan hal ini, menurut baseline survey di 3 Provinsi yaitu Bali, Sumatera Utara (Deli Serdang), dan Yogyakarta yang dilakukan LBH APIK didapatkan data persoalan yang menimpa para perempuan Lansia.

Ketidakadilan gender juga mempengaruhi situasi Lansia, terutama Lansia perempuan yang  dikonstruksi  oleh percampuran antara adat, tradisi dan tafsir agama secara turun-temurun. Lansia juga dianggap sebagai kelompok “tidak berdaya” dan bukan “subjek” dalam pembangunan tidak memiliki perwakilan/ tidak diperhitungkan dalam Musrenbangdes dll, dan sulit mengakses informasi dan pekerjaan.

Ketidakadilan gender dan eksklusi sosial yang dihadapi Lansia kemudian berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap Lansia. Data tentang Lansia hingga saat ini juga masih belum memadai seperti data terpilah Lansia laki-laki dan perempuan yang sering sulit didapatkan di tingkat desa, data kekerasan terhadap Lansia masih minim dan belum memuat terpilah secara lebih komprehenship, serta tidak ada update tahunan.

Selama ini menurut hasil survey LBH APIK, Lansia juga sulit menjual hasil bumi, misalnya dibeli murah oleh tengkulak sehingga penghasilan sangat minim,tidak dapat berjualan ke pasar dll. Mereka juga banyak yang tak terdata sebagai kelompok miskin sehingga tidak mendapat bantuan sosial, sedangkan terdampak sangat signifikan karena pandemi dan akses kesehatan yang lebih sulit dan lebih rentan di masa pandemi

Eka Afrina, peneliti dari Prakarsa mengatakan bahwa survey yang dilakukan Prakarsa mendapatkan data bahwa sekitar 80% Lansia kehilangan hak dasar dan sekitar 15% Lansia tidak bisa mengakses air bersih seperti menggunakan air hujan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari

Eva Sabdono dari KuMPUL menyatakan, Komnas Lansia sangat diperlukan melihat situasi pemenuhan hak dasar Lansia saat ini yang masih jauh dari harapan. Lansia yang seharusnya diletakkan sebagai subyek dalam pembangunan masih sering ditempatkan sebagai obyek dengan kegiatan-kegiatan yang minim pemberdayaan, namun lebih kepada charity.

5. Perempuan dengan HIV/ AIDS

Studi yang dilakukan Ikatan Perempuan Positif Indonesia/ IPPI di 8 provinsi di Indonesia di tahun 2016 menyebutkan bahwa para perempuan positif atau Odha (Orang dengan HIV/AIDS) mengalami berbagai macam perlakuan kejam dari suami atau pasangannya. Ada yang dipukul dan dilempar ke sungai, ada yang diikat ke tiang dan diarak keliling kampung. Dan yang paling kejam, ada yang dibunuh dengan 4 ekor anjing. Kondisi yang sama masih terjadi hingga tahun 2020

Aktivis AIDS, Baby Rivona mengatakan pemerintah selama ini selain tak menjadikan ODHA sebagai prioritas kebijakan seperti janji-janjinya, pemerintah juga punya kebijakan mengatur moral yang sangat bermasalah, salah satunya mengganggap kampanye kondom yang dianggap melanggar moral.

Kebijakan pemerintah ini sudah 7 tahun berjalan dan hanya berjalan di tempat hingga sekarang. Padahal, faktanya persoalannya jauh dari sekedar angka-angka. Baby mencontohkan misalnya adanya problem serius seperti banyak Odha yang tak bisa mengakses obat antiretroviral, apalagi di desa-desa, banyak yang tidak mengaksesnya.

Untuk obat, karena sulitnya dijangkau, ada obat yang diperuntukkan untuk anak-anak Odha, kini diminum orang dewasa, ada obat untuk orang dewasa, kini diminum oleh anak-anak.

Selain itu di desa, alat-alat untuk test HIV juga tidak bisa diakses. Kondisi di kota juga tak kalah buruknya, jika alat ini bisa diakses, namun mereka tak bisa membelinya karena harganya yang terlalu mahal dan tak terjangkau.   

Belum lagi ketika kampanye kondom yang dianggap tak bermoral, padahal selama ini kondom adalah salah satu jalan untuk menyelesaikan persoalan penyakit menular seksual.

Selain itu adanya stigma dan diskriminasi yang terjadi pada para Odha dan anak-anaknya. Hal ini juga dialami anaknya yang dikeluarkan dari sekolah ketika sekolah tahu jika Baby terkena HIV. Padahal anaknya tidak terkena HIV seperti dirinya.

6. Perempuan Buruh: Kemana Harus Mengadu?

Disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan hal buruk yang diterima para buruh perempuan. Dalam penyusunannya, tidak seperti di banyak Omnibus Law di negara lain, Omnibus Law biasanya disusun selama bertahun-tahun karena harus menggabungkan banyak UU menjadi satu UU, tetapi di Indonesia, menggabungkan banyak UU ini hanya butuh waktu dalam hitungan bulan.

Selain penyusunannya yang kilat dan menabrak aturan, substansi UU Cipta Kerja juga bermasalah dan membawa potensi buruk khususnya bagi pekerja/buruh dan perempuan. Perspektif dalam substansi UU Cipta Kerja condong pada kepentingan pengusaha, bukan lagi dilandasi semangat untuk melindungi pekerja/buruh yang relasi kuasanya lebih lemah.

Jaringan Buruh Migran (JBM) dalam laporan Catatan Tahunan/ Catahu pada tahun 2020 juga mencatat terjadinya peningkatan kasus yang terjadi pada Pekerja Migran Indonesia/ PMI dibandingkan tahun 2019. Ragam kasus yang dialami PMI, yaitu kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran atas kontrak kerja,eksploitasi ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa karena kriminalisasi yang dialami.

Data analisis media yang dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran (JBM) memperlihatkan bahwa terjadi lonjakan kasus yang sangat besar, yakni sebanyak 61% bila dibandingkan pada tahun 2019 terutama kasus pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya PMI yang tidak memiliki dokumen paspor.

Data Solidaritas Perempuan lebih lanjut memperlihatkan terjadinya kekerasan berlapis yang dialami perempuan PMI. Dari 63 pengaduan kasus yang dilaporkan, terdapat 188 jenis/bentuk kasus yang dialami. Penanganan kasus yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa korban trafficking pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik dan penahanan dokumen.

Pandemi Covid-19 yang terjadi juga menyebabkan perempuan buruh migran semakin rentan dan terbatas mobilitasnya, baik dalam mengakses kebutuhan sehari-hari maupun pendampingan dan bantuan hukum ketika mengalami kasus.

7. Pekerja Rumah Tangga dan Pekerja Rumahan: Tak Diakui Sebagai Pekerja Formal

Sudah 16 tahun sejak diperjuangkan pertamakali di tahun 2004 RUU Pekerja Rumah Tangga/ PRT masih mangkrak hingga tahun 2020 di DPR.

Padahal sebenarnya yang diminta PRT Indonesia sebenarnya tak pernah muluk yaitu: ada perlindungan upah bagi PRT, ada jaminan sosial dimana majikan membayar Jamsostek sebesar Rp. 36.800 perbulan, ada waktu libur untuk PRT karena selama ini PRT bekerja tak mengenal waktu dan tak ada jam kerja, diberikan waktu untuk ibadah, PRT diberikan perjanjian kerja, pemerintah menyediakan Balai Pelatihan Kerja (BLK) untuk PRT karena selama ini PRT tidak pernah mendapatkan pelatihan kerja, ada pengawasan dari pengurus lingkungan di rumah seperti RT dan RW ketika ada kekerasan yang menimpa PRT dan harus ada aturan tidak boleh mempekerjakan PRT anak. Namun permintaan yang tak muluk inipun tak pernah disetujui hingga 16 tahun perjuangannya.

Hingga kini, 5 juta PRT bekerja tanpa status: tidak diakui sebagai buruh karena tidak masuk dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 dan bekerja tanpa perlindungan. Situasi rentan ini yang membuat banyak PRT mendapatkan kekerasan di tempat kerja, perendahan dan diskriminasi ketika bekerja.

Sikap yang ditunjukkan Badan Musyawarah/ Bamus DPR RI yang tak juga membahas RUU PRT dalam rapat paripurna menunjukkan DPR yang tak punya keberpihakan pada rakyat kecil seperti PRT.

Kondisi yang mirip juga dialami perempuan pekerja rumahan yang tak diakui sebagai pekerja formal dan banyak mendapatkan diskriminasi pekerja secara tersembunyi. Mereka bekerja di rumah-rumah, digaji rendah dan tak dilindungi. Pekerja rumahan adalah pekerja informal yang tidak diakui keberadaannya sebagai pekerja oleh pemerintah

8. Perempuan Adat

Selain UU Cipta Kerja, posisi perempuan juga terancam dengan kehadiran Revisi UU Minerba di tahun 2020. Aturan yang merusak lingkungan itu menambah kerentanan terhadap kesehatan perempuan seperti gangguan reproduksi hingga pernapasan.

Di sisi lain, RUU Masyarakat Adat yang bisa melindungi hak-hak kolektif para perempuan adat tak kunjung disahkan.

9. Buruknya Kebijakan Negara terhadap Keselamatan Perempuan

Angka kekerasan terhadap perempuan yang meningkat di tahun 2020 dan berbagai persoalan minoritas ini tak membuat pemerintah peka terhadap keselamatan perempuan dan kelompok minoritas gender. Hal ini dibuktikan dengan pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 pada bulan Juli lalu.

Alih-alih mengesahkan RUU yang melindungi hak perempuan dan kelompok minoritas, pemerintah justru merencanakan pembentukan RUU yang mengancam kehidupan mereka seperti RUU Ketahanan Keluarga, serta mengesahkan RUU yang merugikan para perempuan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.

RUU Ketahanan Keluarga akan mempersempit ruang gerak perempuan dan minoritas gender. RUU ini akan mendomestikasi perempuan dan mengatur ranah privat seseorang (keluarga).

Bukan itu saja, kelompok LGBT pun menjadi rentan karena harus dirawat dan diawasi oleh lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah.

Inilah situasi yang semakin memperburuk kondisi pandemi Covid-19 di tahun 2020.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!