17 Tahun Berjuang, RUU PRT Belum Juga Menjadi Undang-Undang

Ini seperti bad seventeen bagi RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Tahun 2021 menjadi tahun ke-17 bagi RUU PRT diperjuangkan di DPR. Sampai saat ini belum ada kemajuan berarti.

Oom Umiyati bercerita, bahwa selama masa pandemi, Pekerja Rumah Tangga (PRT) seperti dirinya dan teman-temannya dianggap sebagai penebar Covid-19. Ini seperti kutukan stigma dan diskriminasi yang harus mereka terima.

Karena itu banyak PRT yang dikeluarkan dari pekerjaanya gara-gara stigma ini. Beberapa PRT kemudian memutuskan untuk berjualan karena di PHK, pulang kampung karena tak kuat bayar kontrakan keluarganya. Beberapa mengurangi jatah makan keluarga, dan PRT lainnya yang memutuskan pulang kampung karena tak bisa menyambung hidup.

“Untuk sekolah online anaknya sudah tidak ada uangnya karena harus mahal bayar pulsa, untuk dapat pendidikan jadinya susah, kadang ingin pulang kampung tapi tidak bisa karena susah, kadang ada kerjaan part time tapi ongkos tidak sesuai,” kata Oom Umiyati

Sebanyak 5 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia menjadi tulang punggung dalam keluarga majikan, mereka harus memikirkan kesehatannya, dan memastikan ekonomi keluarga agar tak terhenti hidupnya. Binti Rosidah dari Organisasi buruh migran, Pertimig Malaysia juga memaparkan nasib PRT buruh migran.

Sayangnya, proses penetapan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU) PPRT sebagai RUU inisiatif DPR sudah dilakukan sejak 17 tahun lalu dan hingga tahun 2021 ini belum menampakkan hasil. Jadi nasib PRT belum juga bisa berubah.

Ninik Rahayu dari Maju Perempuan Indonesia/ MPI menyatakan 17 tahun perjuangan bukan sesuatu yang mudah, kebutuhan PRT untuk mendapatkan pengakuan harus dipenuhi. PRT selama ini bekerja di ruang-ruang domestik yang jika ada kekerasan, kita tidak bisa melihatnya

Tujuh fraksi di DPR sudah menyetujui dalam sidang paripurna DPR Januari 2021 ini, namun dua fraksi yaitu P-DIP dan Golkar menolak dengan serangkaian catatan untuk pembahasan lebih jauh. Meski demikian persetujuan tujuh fraksi sebenarnya sudah dapat menjadi catatan bagi Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI untuk mengagendakan dan menetapkan RUU PPRT ini menjadi RUU Inisiatif DPR.

Sejak lama, perjuangan menuntut pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT telah dilakukan oleh organisasi PRT, organisasi perempuan, serikat buruh, Komnas Perempuan dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Selama hampir 20 tahun, PRT bekerja tanpa kepastian perlindungan dari negara. Selain itu, PRT juga mengalami dampak yang sangat luar biasa akibat pandemi Covid-19 yang dinyatakan sebagai global pandemic oleh World Health Organization (WHO) sejak 11 Maret 2020.

Dampak tersebut terutama terkait kerentanan dan semakin dalamnya feminisasi kemiskinan yang dialami oleh sekitar 4 juta perempuan PRT di Indonesia.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyatakan dalam konferensi pers Komnas Perempuan dan Aliansi Peduli Pekerja Rumah Tangga, temuan Komnas Perempuan melalui laporan kajian dampak kebijakan penanganan Covid-19 (2020) menunjukkan kerentanan PRT terhadap Covid-19 karena karakter pekerjaan mereka di dalam keluarga.

“PRT erat dengan pekerjaan perawatan dan pengasuhan untuk pemberi kerja seperti mengasuh anak, membersihkan seluruh ruangan, menggunakan bahan kimia yang rentan luka bakar, dan merawat majikan sakit. Jika tidak terjadi jaga jarak atau majikan sakit, maka sulit menerapkan jaga jarak maka akan mengakibatkan mereka rentan terpapar virus Covid-19.”

“Ironisnya banyak dari mereka tidak memiliki jaminan kesehatan atau mendapatkan tambahan biaya kesehatan apabila sakit. Meningkatnya risiko kekerasan terhadap mereka, terutama kekerasan berbasis gender, ditambah ketimpangan relasi kuasa antara PRT dan pemberi kerja juga mengakibatkan PRT semakin tidak berdaya.”

Selain itu, PRT juga menghadapi kesulitan dalam mengakses pekerjaan dan minim jaminan sosial. Kerap kali mereka terlempar dari akses bantuan sosial karena mereka terdaftar di kampung halaman yang jauh dari tempat kerja mereka atau belum sensitif gendernya proses pendataan bantuan sosial yang disediakan oleh pemerintah. Pada akhirnya hal itu menyumbang pada ancaman feminisasi kemiskinan baru dan berakibat lebih jauh pada kesehatan mental mereka.

Merespon berbagai bentuk kerentanan dan kekerasan berbasis gender yang dihadapi oleh para PRT ini terutama pada masa pandemi Covid-19, Komnas Perempuan pada rapat paripurna DPR RI di Januari 2021 merekomendasikan mendorong DPR RI untuk menetapkan RUU PPRT sebagai Prioritas Prolegnas 2021 dan segera menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR, membahas dan mengesahkan RUU ini.

“Mendorong setiap fraksi di Badan Legislasi DPR RI untuk terus berkomitmen dan berpihak bagi mereka yang miskin dan marginal. Keberpihakan tersebut akan menunjukkan cara pandang positif terhadap RUU PPRT, mengingat RUU ini menekankan semangat gotong royong dan kekeluargaan yang berkeadilan sosial,” kata Andy Yentriyani

Survei JALA PRT pada Bulan Desember 2019 pada 668 PRT di 7 wilayah di Indonesia yaitu Medan, DKI Jakarta, Tangerang Selatan, Tangerang, Semarang, DIY dan Makassar juga menyebutkan, sebanyak 82% PRT tidak bisa ikut dalam Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran/ PBI

Situasi ini semakin mengkhawatirkan selama Pandemi karena PRT luput dari social safety net policy, tidak mendapat subsidi berkelanjutan.

Dari 539 PRT tersebut, sebanyak 73% bekerja di Jabodetabek, dan ber-KTP daerah. Semua yang ber-KTP daerah tersebut tidak juga mendapatkan subsidi  berkelanjutan dalam  bentuk  apapun termasuk Bantuan Langsung Tunai/ BLT.

Dari yang bekerja dan ber-KTP DKI Jakarta, hanya 22 orang yang mendapat Bantuan Sosial/ Bansos (dengan sistem random per RT hanya 4 orang).

Ini membuktikan bahwa PRT bekerja dalam kondisi terjepit: tak diakui sebagai pekerja oleh pemerintah, untuk bertanya pada majikan saja tak mungkin, karena selama ini mereka bekerja tanpa kontrak dan bisa dipecat kapanpun, dan kondisinya makin memburuk di masa pandemi

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Peduli Pekerja Rumah Tangga (Aliansi PRT) melihat, tak ada alasan lagi bagi anggota DPR RI untuk tak membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna tahun 2021

Sudah 17 tahun advokasi RUU PRT dilakukan dan belum juga ada titik terang, ini membuktikan bahwa baik di masa pandemi Covid-19 maupun bukan di masa pandemi, PRT sudah sering mengalami krisis, tak diakui sebagai pekerja, tak bisa mengakses bantuan sosial.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!