Aktivis Perempuan Tolak Peraturan Pemerintah Tentang Tata cara Tindakan Kebiri

Aktivis perempuan menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Tindakan Kebiri yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 7 Desember 2020. Dikeluarkannya PP ini merupakan tindakan yang abai terhadap upaya gerakan perempuan dalam memutus rantai kekerasan seksual. Karena mencabut hasrat seksual seseorang, adalah tindakan kekerasan seksual itu sendiri

Seperti mendapatkan kado buruk di tahun yang baru. Inilah yang dirasakan Mutiara Ika Pratiwi, Koordinator Nasional Perempuan Mahardhika ketika mengetahui PP yang ditandatangi Jokowi ini. Ditemui www.Konde.co, Mutiara Ika menyampaikan penolakannya atas PP ini.

Menurut Mutiara Ika, jika diberlakukan, kebiri kimia tidak akan menjamin seseorang untuk tidak mengulang perbuatannya. Karena tindakan perkosaan bisa dilakukan dengan berbagai cara.

“Ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, yaitu memberikan tindakan tegas pada pelaku dan seharusnya tidak bertentangan dengan semangat memutus rantai kekerasan seksual dan nilai-nilai hak asasi manusia.”

Mutiara Ika melihat, dikeluarkannya PP ini merupakan tindakan reaksioner, dan pelaku misalnya hanya akan memiliki rasa dendam dan tetap mengulangi perbuatannya.

Dikeluarkannya PP ini memang membuat kecewa dan marah, karena dulu para aktivis perempuan di Indonesia pernah melakukan penolakan pada Perppu tentang konten kebiri ini di tahun 2016 ketika disahkan, namun pemerintah mengabaikan tuntutan ini, dan justru mengeluarkan aturan pelaksanan hukuman kebiri melalui PP 70/ 2020 tersebut

PP 70/ 2020 ini berisi tentang tata cara Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Pelaku Kekerasan Seksual. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretaris Negara dalam situs websitenya menyebutkan PP 70/ 2020 ini berisi tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan terhadap pelaku perbuatan cabul, akan dihukum pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi.

Yang disebut pelaku adalah Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya atau dengan Orang Lain (Pelaku persetubuhan). Lalu Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Cabul kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual, Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan, atau Membujuk Anak untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul (pencabulan).

“Penandatangan tata cara hukuman kebiri ini menunjukkan pemerintah semakin melupakan solusi penghapusan kekerasan seksual, yaitu transformasi kesadaran atau cara pandang yang seharusnya menghargai hak asasi manusia. Hanya dengan perubahan kesadaran diatas, rantai kekerasan seksual bisa diputus. Penandatanganan PP ini justru bertolak belakang dengan prinsip hak asasi manusia,” kata Mutiara Ika Pratiwi yang dihubungi www.Konde.co pada 3 Januari 2021

Surat Untuk Presiden Jokowi Dari Aktivis Perempuan

Sebelumnya, di tahun 2016 para aktivis perempuan telah melakukan penolakan atas Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kontennya berisi tentang konten kebiri para pelaku kekerasan seksual https://www.konde.co/2016/05/surat-terbuka-untuk-presiden-jokowi.html/

Kala itu para aktivis yang tergabung dalam Aliansi 99 dan  Save Our Sisters yang terdiri dari puluhan lembaga seperti  Perempuan Mahardhika, ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia dan puluhan organisasi lainnya menolak dan memberikan surat terbuka ini dikirimkan ketika Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti/ Perppu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 kebiri ini

Penolakan ini dilakukan ketika Jokowi kala itu menyatakan bahwa kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka harus dikebiri.

Aliansi 99 dan Save Our Sister melihat bahwa gagasan tentang pidana kebiri merupakan penghukuman yang tidak sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia, selain itu pidana kebiri termasuk dalam kategori penyiksaan. Padahal sebelumnya Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan segala bentuk penghukuman yang tidak manusiawi.

Aliansi kala itu juga melihat bahwa kebiri berarti menghukum pelaku dengan kekerasan, dan kekerasan diselesaikan dengan kekerasan, bukanlah sebuah solusi.

Sebelumnya, kasus kekerasan seksual juga terjadi terjadi pada seorang anak perempuan, YY di tahun 2016. Namun kala itu pemerintah memunculkan keputusan dalam menyelesaikan atau menghapuskan kekerasan seksual dengan penghukuman kebiri.

“Yang menjadi keprihatinan dari penghukuman kebiri ini adalah bahwa kita semua lupa akan pentingnya pemulihan bagi korban dan keluarganya. Kita masih saja terfokus pada pelaku. Hak-hak korban dan keluarganya dilupakan, padahal merekalah yang menanggung paling besar dari peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya,” kata Mutiara Ika Pratiwi

Dalam surat untuk presiden kala itu juga disebutkan bahwa penggunaan kebiri dengan metode chemical castration ini terbukti tidak pernah berhasil menurunkan angka kejahatan seksual di negara-negara yang menerapkan hukuman kebiri.  Dengan kata lain ini adalah aturan yang buruk.

Rencana pemerintah bukan solusi tapi dengan sengaja melompati akar masalah yang justru  dihadapi para korban kejahatan seksual. Kebiri bukan solusi namun penghukuman atas dasar balas dendam pada pelaku.

Selama ini para korban sering menghadapi hambatan, terutama di tahap penyidikan dan penuntutan. Bahkan hanya sedikit kasus-kasus mereka yang berhasil masuk ke ruang persidangan, ini karena sistem peradilan pidana Indonesia tidak dirancang secara memadai bagi korban kejahatan seksual untuk dapat mengaksesnya dan utamanya untuk membawa keadilan bagi para korban.

“Perppu dan PP turunannya ini justru melupakan nasib korban kejahatan seksual. Tidak ada satu pasalpun yang menaruh perhatian akan hak-hak korban kejahatan seksual. Padahal saat ini tidak ada satupun regulasi yang secara khusus memberikan hak hak korban kejahatan seksual seperti, kompensasi, restitusi, pemulihan korban, rehabilitasi psikologis bagi pelaku, bantuan medis, psikologis dan psikosial termasuk bantuan hukum bagi korban.”

DPR hingga saat ini tak juga mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual padahal inilah yang dibutuhkan, bukan justru PP pelaksanaan kebiri. Saat ini hanya ada satu regulasi yakni dalam UU No 31 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang bisa melindungi korban, namun regulasi ini pun sangat terbatas dan tidak komprehensif untuk korban kejahatan seksual anak.

(Foto/ Ilustrasi: Wikipedia)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!