Cerita Perempuan: Sekolah Murah Tak Mampir Di Rumah Kami

Yanti adalah salah satu anak perempuan yang hanya bisa sekolah sampai SD. Di kampung kami yang tak begitu jauh dari Jakarta, masih banyak perempuan yang tak bisa sekolah karena biaya sekolah yang amat mahal

Yanti, anak perempuan berumur 15 tahun dengan rambut sedikit kecoklatan terurai panjang. Beranjak dari tempat tidur, mengintip dari gorden kamar.

Keluar dari kamar, Yanti berlari menghampiri temannya yang sudah menunggu didepan pintu berwarna biru muda. Pagi ini ia akan mengembalikan sebuah buku sampul hijau dengan ketebalan 2cm yang telah dipinjamnya sejak kemarin. Ia telah membaca semua isi buku itu.

“Buku kamu kemarin aku kembalikan,” ucap Yanti.

Tanpa menunggu lama Yanti mengibaskan rambutnya dan memunggungi wajah temannya. Ia berlari dan masuk rumah kembali. Namun, sesaat kemudian Yanti membanting pintu.

Ia menyembunyikan wajahnya dibawah bantal tidurnya.

Setiap pagi, rumah itu sepi, masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Mbak Siti bekerja sebagai buruh meubel di salah satu toko meubel di Cirebon, Yanti dan Yanto mengerjakan pekerjaan rumah.

Yanti bersama adiknya Yanto selama ini tinggal bersama mbak Siti. Sebagai anak tertua, mbak Siti lah yang selalu menyiapkan makan malam untuk kedua adik kesayangan itu.

Yanti yang semula menolak makan, akhirnya ikut mengambil sesendok nasi ditaruh dipiring dan tak lupa menambahkan teri sambal kesukaannya. Malam itu terasa hangat bagi Mbak Siti, Yanti dan Yanto menikmati hidangan sederhana namun tetap terasa nikmat. Seolah tak mau kalah piring dan sendok saling beradu mengeluarkan suara riuh, Yanto yang sangat menikmati makanan kesukaannya perlahan meletakkan piringnya dan mengambil segelas teh tawar hangat yang ada di teko merah kecil di sebelah tempat nasi.

Disela kehangatan itu, tiba-tiba suasana menjadi hening. Mbak Siti yang biasanya paling doyan ngobrol entah keselek apa malam itu mbak Siti makan tanpa ajakan ngobrol sedikitpun. Rupanya mbak Siti sangat cepat menyelesaikan makannya.

“Yanti, tadi kamu menyuruh Yanto meminjam buku ke Ela? Untuk apa Yan?,” tanya mba Siti tiba-tiba.

“Bukan apa-apa, mbak cuma gak mau orang lain menganggap kamu anak-aneh, Yan,” ungkap mbak Siti lagi

“Sudah 2 tahun ini kamu selalu mengerjakan PR, entah PR siapa yang kamu maksud, entah sekolah mana yang kamu datangi setiap hari, entah guru mana yang kamu sebut ketika kamu sedang mengigau. Mbak sebenarnya sedih dengan keadaan ini.”

“Mbak, maaf bukan Yanti mau membuat mba Siti malu, hanya Yanti ingin terus belajar mbak walaupun sekarang Yanti sudah tidak bersekolah.”

Suasana semakin hening. Yanto hanya tertunduk, terlihat tetesan air mata diam-diam membasahi karpet usang itu. Tak terbendung Yanti pun menangis sejadi-jadinya mengingat cita-cita mereka yang telah direnggut oleh waktu begitu saja.

Semenjak ibunya meninggal dan ayahnya memilih menikah lagi, Yanti dan Yanto tak lagi dapat melanjutkan sekolah lagi, termasuk mbak Siti, ketiganya hanya lulusan SD saja. Saat itu Yanti masih duduk di kelas VI semester 1 dan Yanto baru menyelesaikan sekolah dasar.

Yanti dan Yanto memiliki segudang harapan ingin terus bersekolah dan ingin menjadi kebanggaan keluarga. Namun bertiga harus mengubur dalam-dalam cita dan harapannya selama ini. Biaya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketiga saudara itu tak lagi bersekolah.

Kampung mereka sebenarnya tak jauh dari Kota Cirebon, penduduknya berada dalam kondisi miskin. Makan sangat sederhana, banyak yang tak bisa sekolah karena biaya sekolah yang mahal.

Mereka hanyalah contoh kecil betapa pentingnya perhatian negara melihat anak-anak yang putus sekolah. Hingga sekarang, kebijakan sekolah murah tak mampir ke kampung mereka. Padahal merangkul mereka adalah cara terbaik agar bisa melanjutkan cita-cita dan harapan mereka.

Yanti dan mbak Siti adalah 2 perempuan yang harus menelan pil pahit ini, di rumah saja mengisi waktu, atau bekerja sebagai buruh toko karena tak bisa melanjutkan sekolah

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Meidina Inggrid

Aktif di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), hobi kuliner dan jalan-jalan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!