My Lecturer My Husband, Serial Web Drama Rasa Sinetron Yang Patriarkis

Jika kamu tidak mau nonton serial web drama rasa sinetron “My Lecture My Husband,” saya akan mendukungmu. Bisa jadi akting pemainnya akan membuatmu baper, padahal sejatinya drama series ini sangat kental dengan nilai patriarkis

Tiba-tiba tidak ada angin dan hujan, Inggit dipaksa menikah oleh ayahnya karena ayahnya sebentar lagi akan meninggal. Dan ajaibnya, setelah anak perempuannya menikah dengan laki-laki pilihannya ayahnya, si ayah tadi tak jadi meninggal. 

Ide cerita series ini sebenarnya sudah sangat kuno dan tidak cocok dengan zaman kekinian: ayah yang sakit dan minta agar anak perempuannya cepat menikah dengan laki-laki yang bukan pacar si anak.  

Ketika nonton serial web drama ini, rasanya saya seperti mau cepat bangun dari mimpi buruk rasa sinetron: karena cerita yang ditayangkan di WeTV dan Iflix Indonesia  ini seperti cerita legenda ratusan tahun lalu, dimana anak perempuan harus cepat dinikahkan untuk memenuhi hasrat orangtuanya.

Namun anehnya, anak perempuan ini harus menikah dengan laki-laki yang pintar, tampan dan menjadi idola para perempuan di sekitarnya

Skenario film ini seperti sudah sangat dipaksakan sejak awal cerita, tidak sesuai dengan zaman sekarang dimana sudah banyak orang yang bersuara soal kebebasan untuk memilih pasangan.

Alkisah, Inggit (Prilly Latuconsina), mahasiswa yang benci dengan salah satu dosennya,  Arya (Reza Rahadian), dosen killer yang tidak disukai mahasiswa di kampus karena judes dan pelit nilai. Inggit selalu membenci dosennya ini.

Suatu hari, Inggit yang sudah punya pacar, Tristan (Kevin Ardilova), diminta pulang ke Yogyakarta oleh ayahnya yang tiba-tiba sakit keras. Ayahnya menginginkan Inggit menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya (Tegar Satrya) bila Inggit ingin ayahnya cepat sembuh.

Didesak oleh ayahnya, Inggit dalam waktu sekejap terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya yang tak lain adalah Arya, dosen yang sangat dibencinya.

Tanpa kita tahu seluk beluk masa lalu Arya, ternyata Arya yang tampan, pintar tapi judes ini sangat dipercaya oleh ayah Inggit sebagai laki-laki yang bisa menjadi suami idaman anaknya.

Bahkan Arya yang super baik ini setelah menikah, selalu romantis dan berusaha menyediakan semua kebutuhan Inggit. Berbeda dengan sosoknya sebagai dosen yang selama ini judes, menjaga jarak, pelit nilai, dan bicara seperlunya

Dari episode pertama sampai keenam, kita sudah dicekoki cerita yang tak masuk akal, terserah apa kata si pembuat cerita saja deh: ada dosen tampan yang sempurna, perempuan muda yang mau saja dinikahkan padahal dia sudah punya pacar, ayah yang sakit dan tak jadi meninggal ketika anak perempuannya menikah, istri yang selalu diatur dan dibatasi geraknya padahal baru kenal beberapa hari yang lalu. Sempurna sudah, rasanya seperti pengin cepat bangun dari mimpi yang buruk!

Maka, jika tidak ingin merasa geram, jangan nonton series ini, karena series ini lebih cocok ditonton oleh mereka yang tak rasional, senang menonton drama bak dunia sinetron

Dalam episode selanjutnya, ternyata Inggit diceritakan harus merahasiakan perkawinannya di kampus agar kampus tidak tahu hubungan mereka.  Di zaman sosial media begini, ternyata orang masih bisa merahasiakan perkawinannya, padahal di sisi lain, dia masih pacaran dengan laki-laki pacarnya, dan sekaligus menikah dengan dosen beken yang berada di satu kampus yang sama.

Perempuan Tumbal Patriarki

Serial web drama ini dengan sendirinya semakin mengukuhkan perempuan sebagai tumbal patriarki. Inggit harus memenuhi hasrat ayahnya untuk menikah dengan laki-laki pilihan. Ia harus meninggalkan begitu saja orang yang sudah dipacarinya selama ini dalam waktu sekejap.

Dengan Inggit yang harus meladeni pilihan ayahnya, ini menggambarkan bagaimana perempuan selalu dipilihkan oleh orang dekatnya. Inggit selalu berada dalam masa terombang-ambing yang sebenarnya bukan pilihannya. Tapi karena posisi perempuan di series ini dianggap lemah, harus menurut apa kata laki-laki, maka disinilah Monty Tiwa kemudian membuat agar original series ini menjadi selalu ditunggu penontonnnya: perempuan yang seolah-olah terombang-ambing pada hal yang dipilihkan orang lain, padahal sejatinya ia tak bisa memilih.

Budaya dengan nilai patriarki yang ada dalam series ini juga diturunkan oleh ayahnya Inggit yang walaupun sakit, namun sebenarnya ia sangat dominan dimana Inggit harus memenuhi hasratnya sebagai ayah yang berkuasa.

Ibu Inggit (Aida Nurmala) juga diceritakan sebagai perempuan yang lemah yang selalu menasehati Inggit, bahwa seorang istri harus patuh terhadap suaminya walaupun suaminya adalah orang yang tak dikenalnya dan tak dicintainya, karena ibunya percaya bahwa surganya perempuan selalu berada di bawah laki-laki, jika tidak menurut apa kata suami, nanti akan kualat.

Tak hanya Inggit, ibu juga dikonstruksikan sebagai sosok yang selalu menurut apa kata ayah yang tidak masuk akal, karena begitulah perempuan seharusnya katanya

Rasanya kampanye yang didengungkan oleh para aktivis perempuan selama puluhan tahun soal hak perempuan agar bisa memilih, atau kampanye soal perempuan yang tak boleh diatur untuk menikah dengan siapa, dan untuk menolak jika dijodohkan begitu saja sejak zaman Siti Nurbaya versus Datuk Maringgih, akan menguap begitu saja setelah menonton series ini

Sayang sekali, akting Reza Rahadian dan Prilly Latuconsina yang apik, tak diimbangi dengan cerita yang berbobot dan mencerahkan, justru malah menjerumuskan penonton ke dalam lubang patriarki

Series ini ditayangkan secara eksklusif di WeTV dan Iflix Indonesia mulai 11 Desember 2020 hingga 15 Januari 2021 dalam 8 episode tayangan yang disutradarai Monty Tiwa, produser Manoj Punjabi dan diproduksi MD Entertainment

(Foto: Kuyou.id)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!