Narasi Bahwa Karir Terbaik Perempuan Adalah Menjadi Ibu Rumah Tangga Itu Memuakkan

Narasi bahwa karir terbaik perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, bagi saya itu sungguh memuakkan. Narasi ini menggiring perempuan untuk tak boleh punya pilihan

Saya memang belum berumah tangga dan tidak bisa memahami betul bagaimana sebenarnya kemelut kehidupan perempuan ketika menikah.

Namun, sejak kemarin ketika saya mendapat curhat dari seorang saudara perihal kehidupan rumah tangganya, saya jadi banyak berpikir tentang perkawinan bagi perempuan

Saudara saya ini seorang perempuan berusia 30an tahun, memiliki suami dan dua anak. Selain sebagai ibu rumah tangga yang setiap harinya harus bergumul dengan dapur dan setumpuk cucian kotor, ia juga bekerja bersih-bersih di sebuah kantor koperasi. Pekerjaan ini dilakukannya setiap pagi dan sore.

Seringnya, saat pagi sebelum ia bekerja, ia harus memastikan rumah sudah dalam kondisi bersih, nasi sudah matang, dan cucian sudah dijemur.

Siangnya, ia tidak lantas pulang. Ia mencari tambahan uang dengan menjadi ojek, menjadi buruh harian, dan siap membantu apa saja pekerjaan orang lain asalkan ada upah yang bisa membeli keperluan dapur.

Saudara saya ini menyadari betul bahwa kondisi perekonomian keluarganya tidak selalu stabil. Penghasilan suami tidak bisa dijadikan sumber pendapatan utama, karena dirasa tidak akan cukup. Apalagi mengingat jenis pekerjaan suami yang terbilang tidak tetap dan tidak selalu ada. Belum lagi kebutuhan untuk kedua anaknya. Pelik dan sesak saya mendengarnya.

Mungkin ini hanya secuil kisah diantara banyaknya kisah perjuangan hebat perempuan di luaran sana di dalam keluarganya.

Belum lagi kisah perempuan kepala rumah tangga yang harus berjibaku mencari uang dan membesarkan anaknya seorang diri. Terkadang cerita seperti ini justru tidak cukup mencuat di permukaan.

Ditambah seakan realita ini harus ‘bersaing’ dengan banyaknya narasi-narasi yang beterbaran di luaran yang menggaungkan bahwa karir terbaik perempuan adalah di rumah dan menjadi ibu rumah tangga sepenuh-penuhnya.

Mereka yang terus saja berteriak demikian, benar-benar membuat saya muak. Seakan mereka menutup mata dan telinga terhadap dinamika kehidupan perempuan. Bahwa ada alasan-alasan lain yang bisa saja memaksa mereka untuk harus pergi di luaran sana mencari tambahan rupiah, namun sebenarnya mereka seharusnya memiliki pilihan.

Saudara saya ini juga menyadari bahwa berdiam diri di rumah, tidak benar-benar menjamin dapur akan terus mengepul dan tidak bisa menjamin perutnya dan keluarganya akan kenyang. Apalagi jika hanya diganjar label atau pujian sebagai ‘sebaik-baiknya perempuan’, yang mana label itu sungguh absurd.

Narasi Baik: Pilihan Perempuan

Nyatanya tidak semua perempuan punya nasib baik setelah menikah. Ada yang memang ekonomi mereka baik, ada yang mendapatkan suami yang memang sadar bahwa setiap pasangan punya hak yang sama untuk menentukan hidupnya. Namun tak semua begitu, malah lebih banyak yang bernasib buruk.

Seperti perempuan yang masih dihadapkan dengan ancaman-ancaman seperti jika keluar rumah tanpa seizin suami, maka tak boleh keluar, jika menolak, maka siap-siap saja akan mendapat dosa. Buat saya ini sama saja memuakkan.

Apalagi jika ternyata masih ada suami yang sudah tahu pendapatan rumah tidak selalu stabil, tapi masih saja kekeuh tidak memberikan ruang bagi istri untuk bekerja. Entah karena memang benar-benar kasihan dan berniat hanya ingin dirinya saja yang pergi bekerja, atau melarangnya karena takut harga diri dan sisi maskulinitasnya berasa ‘digorok’? Entahlah.

Saya melihat justru perempuan-perempuan itu begitu berdaya. Mencoba untuk tidak berpangku tangan dan sebisa mungkin membantu kesejahteraan keluarga.

Dan narasi-narasi yang masih beterbaran di luaran sana soal menjadi ‘sebaik-baiknya perempuan’ dapat menjadi batu hambatan bagi perempuan untuk memilih jalannya sendiri.

Narasi semacam itu tak usah dihiraukah. Toh, mereka adalah orang yang asal bersuara dan tidak mau mengerti bagaimana kondisi kita.

Terakhir, untuk seluruh perempuan di manapun kalian berada, yang terus berjuang demi keluarga, dedikasimu sangat mengagumkan. Hanya ada satu kata untuk kalian: semuanya hebat!

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dini Damayanti

Seorang perempuan biasa, sekaligus EXO-L, yang sedang menikmati hidup di umur 20 tahunan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!