Pejabat Publik Menjadi Pelaku Terbanyak Pelecehan Pada Jurnalis Perempuan

Beberapa tahun lalu, saat sedang melakukan peliputan, seorang pejabat publik pernah tiba-tiba merangkul saya dengan tatapan genit. Pejabat publik adalah pelaku terbanyak pelecehan terhadap jurnalis perempuan menurut survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta 2021

Sejak Agustus 2020 lalu, saya bersama dengan tiga orang rekan jurnalis perempuan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta), Fadiyah, Marina Nasution, dan Nurul Nur Azizah menyelenggarakan sebuah survei yakni Survei Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis. Survei ini merupakan bentuk komitmen kami untuk memberantas salah satu kejahatan yang sering mengancam kerja jurnalis perempuan yang dilaunching AJI Jakarta pada 16 Januari 2021

Saya sendiri, sudah lebih dari lima tahun bekerja sebagai jurnalis dan selama waktu tersebut, kekerasan seksual, khususnya pada jurnalis perempuan seringkali terjadi. Saya sering melihat dan pernah mengalaminya, tak hanya satu dua kali, tapi berulang kali.

Beberapa tahun lalu, saat saya sedang liputan, seorang pejabat publik pernah tiba-tiba merangkul saya dengan tatapan genit. Saya lantas menarik badan saya karena tak nyaman.

“Kamu kok jual mahal sih,” ujar pejabat publik tersebut ketika saya menyingkirkan badan saya, di depan beberapa kawan jurnalis.

Saya hanya bisa menatap sinis pejabat tersebut dan mengumpat berulang kali di belakangnya, di depan beberapa kawan saya. Cerita ini kerap saya sampaikan ke rekan perkawanan jurnalis.

“Oh, si pejabat itu memang genit sama jurnalis. Enggak cuma dia yang sering melecehkan jurnalis perempuan, si ini juga sering.”

Kekerasan seksual bukan saja dilakukan oleh narasumber. Kami dari Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta seringkali mendengar cerita dari perkawanan jurnalis bahwa mereka mengalami kekerasan seksual dari sesama jurnalis saat liputan bahkan rekan atau atasan sekantor mereka.

Ada 34 jurnalis yang mengisi survei kami: 31 perempuan dan 3 laki-laki; dan 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual.

Rentang usia responden kami bermacam-macam, mulai dari responden di bawah 20 tahun, hingga jurnalis di atas 50 tahun. Begitu juga dengan lama waktu menjadi jurnalis, dari 0 sampai 3 tahun hingga lebih dari 15 tahun, dengan jabatan dari tingkatan reporter (21 orang), asisten redaktur (1 orang), editor (5 orang), redaktur utama (1 orang), pemimpin redaksi (3 orang), pemilik media (1 orang), dan jurnalis freelance (1 orang). Jenis media juga beragam seperti daring, cetak, televisi, dan radio.

Bagi kami, 25 bukan sekadar angka. Saat mengadakan survei ini, kami sadar bahwa survei ini tak mudah dilakukan karena ada trauma yang membekas dari para korban kekerasan seksual. Kami sangat mengapresiasi para jurnalis penyintas kekerasan seksual yang percaya pada kami dan mau bersuara.

Latar belakang kejadian kekerasan seksual sangat beragam, yakni saat liputan (15 responden), di kantor (8 responden), di luar waktu kerja dan liputan tapi masih berhubungan dengan pekerjaan (15 responden), dan acara pertemuan jurnalis (1 responden). Jawaban yang melebihi jumlah responden kami ini menunjukkan bahwa satu orang jurnalis bisa mengalami kekerasan seksual yang berhubungan dengan pekerjaannya lebih dari satu kali.

Ada bermacam-macam lokasi kekerasan seksual yang mengancam jurnalis yakni kantor pemerintahan, di rumah narasumber, gedung Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR atau DPR daerah, pelabuhan, kantor, kampus, kantor partai, transportasi publik, ikut GIAT aparat, pers room, hingga kekerasan seksual berbasis siber oleh narasumber.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada jurnalis tak mengenal waktu. Kami mengiris 24 jam dalam 4 rentang waktu, dan hasilnya 0 responden mengalami kekerasan seksual di pagi hari (04.00-10.00), 15 responden di siang hari (10.00-15.00), 14 responden di sore hari (15.00-19.00), dan 11 responden di malam hari (19.00-04.00).

Lalu siapa saja kelompok pelakunya?

Pejabat publik menjadi pelaku terbanyak yang dilaporkan oleh responden kami, ada 13 responden yang menceritakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan seksual dari kelompok pelaku ini.

Pelaku lain yang mengancam jurnalis yakni narasumber non-pejabat publik (8 responden), atasan di kantor (9 responden), teman sekantor (10 responden), sesama jurnalis beda kantor (11 responden), massa aksi (2 responden), aparat (1 responden), dosen (1 responden), lainnya (6 responden).

Bentuk kekerasan seksual yang dialami jurnalis ada bermacam-macam, seperti catcalling, perkosaan, disentuh/dipegang, dikirimi pesan bernuansa seksual seperti kekerasan seksual berbasis siber, diajak ngobrol bernuansa seksual, menjadi bahan bercandaan bernuansa seksual, gratifikasi benda/barang dengan berharap mau melakukan tindakan seksual/relasi romantis, dikuntit, eksploitasi seksual, dan tatapan ke arah dada.

Melihat kategori pelaku dan bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada jurnalis ini menunjukkan bahwa jurnalis rentan mengalami kekerasan seksual, tak hanya ketika sedang liputan, tapi juga ketika mereka berada di kantor.

Bukan hal yang mudah bagi korban kekerasan seksual untuk menceritakan pengalamannya. Sayangnya, ketika mereka mengadukan pengalamannya ke kantor, hanya 1 orang jurnalis yang mengatakan bahwa kasusnya diproses dan diberi pendampingan. Sisanya, 8 korban menjawab direspons tapi tidak dilanjutkan, 3 korban disalahkan, 4 korban diintimidasi pelaku, 2 korban diintimidasi tempat kerja pelaku, 4 korban diintimidasi oleh kantor, 9 korban tidak ditanggapi, 1 korban dianggap tidak lazim.

Respons yang buruk dari kantor dan adanya responden yang khawatir bahwa survei kami akan menguap begitu saja, membuat kami merefleksikan survei kami bahwa besar kemungkinan masih banyak jurnalis korban yang belum berani bersuara dan trauma untuk melapor.

Menanggapi hal tersebut, Wahyu Dhyatmika dari Asosiasi Media Siber Indonesia, sebuah organisasi yang terdiri dari publisher media siber mengatakan bahwa kekerasan seksual di kalangan jurnalis merupakan hal yang sering dilihat dan didengar, tapi jarang disuarakan.

“Temuan yang penting sekali karena mengafirmasi kisah-kisah yang sering kita dengar di lapangan, tapi belum pernah dipublikasi secara ilmiah. Jadi dengan riset ini terkonfirmasi bahwa ada kekerasan seksual, satu kasus ada sudah banyak, kita tidak perlu melihat jumlah respondennya, karena semestinya tidak ada kasus kekerasan,” tutur Wahyu Dhyatmika.

“Temuan ini mengejutkan dan memprihatinkan, ada kasus yang terjadi di kantor media dan di lapangan, kemudian pelakunya ada yang narasumber dan wartawan. Fakta ini menunjukkan bahwa masalahnya ada di organisasi media, karena pelakunya adalah wartawan atau media, selain narasumber,” tambahnya.

Nenden S. Arum dari Komite Keselamatan Jurnalis mengatakan bahwa selama ini, kekerasan yang kerap disorot dalam kerja jurnalis seringkali hanya kekerasan fisik.

“Namun Komite Kekerasan Jurnalis (KKJ) tidak hanya diam pada kekerasan fisik saja, terakhir kita melihat bahwa kekerasan ada dunia digital, dan sekarang kita mencoba mulai masuk untuk meluaskan keselamatan jurnalis tidak hanya bentuk fisik, tapi juga kekerasan seksual. KKJ juga belum ada SOP Kekerasan Seksual dan kita tahu bahwa kasus ini sangat spesifik dan sangat khusus, kita harus membuat SOP berperspektif korban,” ujar Nenden

Justitia Avilla Veda, salah satu pengacara Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) mengatakan bahwa selama ini Ia kerap mendengar kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis, sayangnya laporan yang masuk ke KAKG sangat sedikit dari jurnalis.

“Seperti ada masalah yang besar sekali di satu ruangan, tapi tidak ada orang yang berani menyebutkannya dan semua itu terjadi pada hari ini, akhirnya seperti disampaikan Wahyu Dhyatmika ini mengafirmasi semua cerita yang kita dengar dan ini hal yang penting. […] Menyedihkan, meski mendengar banyak cerita ini, sedikit sekali aduan yang dari jurnalis yang masuk ke KAKG, sangat sedikit dibandingkan para pekerja di industri lain. Kalau kami biasanya lumayan hopeless kalau lapor ke kantor polisi, makanya kami meminta bantuan ke kantor korban, tapi kalau dari temuan survei banyak korban yang merasa hopeless kepada kantornya itu jadi lebih menyedihkan,” kata Veda dalam diskusi ini.

Standar Operasional/ SOP penanganan kekerasan seksual sudah selayaknya dibentuk oleh media karena SOP yang berperspektif korban tersebut merupakan jaring pengaman bagi jurnalis, khususnya mereka yang ada di tingkatan reporter karena memiliki kuasa yang sangat timpang dibandingkan dengan narasumber atau atasan di kantor.

“Saya prihatin karena kasusnya banyak, dan barangkali yang tidak tercakup dalam riset ini lebih banyak lagi. Jika melapor ke Dewan Pers, kami akan melindungi jati diri wartawan tersebut,” tutur Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers, dalam diskusi daring ini.

Agus mengatakan bahwa SOP penanganan kekerasan seksual sangat mungkin difasilitasi oleh Dewan Pers dan pihaknya membuka diri untuk pembentukan SOP tersebut.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!