Saya Perempuan Odapus, Orang Yang Hidup Dengan Lupus

Setelah terkena ruam kupu-kupu atau Butterly rash, saya tak menyangka jika itu adalah pertanda penyakit lupus. Sejak itu hidup saya berubah. Nama saya Karina Lin, saya adalah odapus atau orang penyandang lupus.

Marina, teman perempuan saya di organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Indonesia, sedikit membungkukkan tubuhnya. Ia melepas syal yang terkalung di lehernya dan berganti mengalungkannya ke leher saya.

Kejadian tersebut masih saya ingat dengan jelas. 27 November 2017 di ruang tunggu Stasiun Solo Balapan, Kota Surakarta. Saat itu kami baru selesai selesai mengikuti Kongres AJI, 24-25 November 2017 dan sehari setelah penutupan, bersiap untuk pulang ke kota masing-masing. Saya kembali ke Jakarta dan Marina tak langsung pulang. Ia bersama beberapa kawan AJI lainnya hendak mampir dahulu ke Yogyakarta. Jarak Solo-Jogja memang tak jauh, cukup satu jam waktu tempuh dengan kereta Prameks dan harga tiket yang sangat terjangkau.

Usai mengalungkan syal itu, Marina agak berjongkok di hadapan saya dan sepertinya dia membaca mimik bingung campur kaget di wajah saya. Ya benar, waktu itu saya memang kaget dan bingung. Terutama sih tidak menyangka bakal diberi syal tersebut.

Saya memang sudah naksir syal yang dikenakannya semenjak pertama kali bertemu plus berkenalan di Kongres AJI, yang pada waktu itu digelar selama dua hari berturut-turut di Hotel The Sunan, Solo.

Syalnya menarik hati dan sempat menanyakan tempat dia membeli. Tapi saya ingat, dia menjawab belinya sudah lama dan lupa tempatnya.

“Ini buat kamu saja, Karin,” katanya diiringi senyum.

Momen itu takkan pernah saya lupa termasuk senyum tulus Marina. Syal pemberiannya pun masih ada dan tersimpan rapi. Sesekali saya pakai kalau sedang ingin atau ada acara khusus, misalnya pada April 2018 saat saya meluncurkan buku kumpulan tulisan kolom dan September 2019 saat peluncuran buku antologi cerita misteri Antargata di Auditorium lantai 2 Perpustakaan Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. 

Syal Motif Kupu-kupu

Sepintas, mungkin tak ada yang istimewa dari syal tersebut. Panjangnya sekitar satu meter dan lebar 45 meter. Bahannya tipis, jenis kainnya saya kurang paham tapi ini yang menerawang tipis, berwarna biru tua gelap bagaikan warna langit saat malam mulai menyergap. Tapi ada motif cetakan kupu-kupu di seluruh kain syal. Motifnya tidak disablon, motifnya dicetak. Saya tidak mengerti, yang jelas ia tidak luntur atau hilang saat dicuci. Permanen. Oh, ya kainnya juga cukup halus dan lembut di kulit walau bukan sutera atau satin.

Motif kupu-kupu itu lah yang menggaet hati dan memicut mata saya. Bagi odapus (orang dengan lupus) seperti saya, kupu-kupu memang sesuatu banget. Jika kita mencari di Google, organisasi-organisasi Lupus internasional pasti akan selalu ada “aroma” kupu-kupu pada desain logo mereka.

Kemudian pada setiap tahun perayaan hari Lupus Sedunia (World Lupus Day) yang diperingati setiap 10 Mei – si kupu-kupu ini tak pernah absen tampil. Mau berbentuk klasik, kartun atau apapun – pasti kupu-kupu selalu ada dalam setiap hajatan lupus dan warnanya (juga) pasti ungu (antara terong atau muda).

Bagi orang biasa, kupu-kupu dipandang sebagai salah satu binatang yang cantik. Sayapnya memiliki beragam motif dan warna, memang selalu menarik. Akan tetapi untuk para odapus atau penyintas lupus, kupu-kupu punya makna lebih dari itu.

Diagnosis Lupus

Ketika pertama kali didiagnosa lupus (pada Januari 2015) atau tepatnya SLE (Systemic Lupus Erythematosus), saya masih belum tahu hal ini. Perlahan barulah saya belajar dan mulai mengerti. Tetapi tak urung pada saat itu muncul pertanyaan kenapa lupus disimbolkan oleh kupu-kupu? Kenapa bukan yang lain? Kenapa bukan capung atau laba-laba kayak Spiderman, kan keren toh? Atau kalelawar (ingat Batman)?

Oh ya, penyakit lupus yang sedari tadi disebut-sebut itu merupakan salah satu jenis penyakit autoimun. Total ada lebih dari 100 jenis autoimun yang telah teridentifikasi.

Sakit autoimun pada intinya dikarenakan sistem imun tubuh yang bermasalah, imun tubuh para penyintas telah salah atau error, tak bisa lagi mengenali tubuh secara baik. Sehingga organ-organ tubuh penyintasnya – yang seharusnya dilindungi, diserang imun sendiri lantaran dianggap benda asing. Perbedaannya ada pada bagian tubuh (organ yang diserang). Kalau untuk lupus jenis SLE bersifat sistemik alias multiorgan.

Kembali soal kupu-kupu. Sepintas jawabannya saya ketahui karena pada penyintas lupus biasanya terdapat ruam melintang dari pipi kanan ke kiri. Ruam merah melintang yang kalau dilihat lebih lekat, mirip kupu-kupu dan pantesan dinamakan ruam kupu-kupu (butterly rash atau rash malar).

Butterfly Rash, Sejarah dan Indikasi Kelupusan

Akan tetapi apakah hanya itu? Informasi lebih lengkap plus menarik saya dapat dari buku The Lupus Book (versi Indonesia) yang ditulis oleh dokter Daniel J Wallace. Sang dokter rematologi – yang diisebut sebagai The God of Lupus – pada beberapa bagian dari buku, menulis mengenai sejarah lupus dan koneksi dengan ruam kupu-kupu serta tinjauan medis secara lebih lengkap.

Lalu, apa saja yang ditulisnya?  Pertama, ruam kupu-kupu yang terlihat di pipi sebagian penderita lupus – tampilannya mirip dengan wajah serigala. Nama latin serigala adalah lupus. Artinya ruam kupu-kupu berperanan dalam “patenisasi” nama salah satu penyakit autoimun ini.

Kedua, American College of Rheumatology (ACR) yakni asosiasi profesional bagi hampir semua ahli reumatologi di Amerika, menemukan kriteria untuk menetapkan penyakit ini (lupus) pada 1971. Kriteria tersebut dikaji ulang pada 1982 dan 1996, dan terus diperbaharui hingga kini.

Ada sebelas kriteria gejala lupus, dimana empat dari sebelas tadi berkaitan dengan kulit, antara lain sensitivitas terhadap sinar matahari, penyakit mulut, butterfly rash (ruam berbentuk kupu-kupu) dan luka diskoid (menyerupai cakram).

Kriteria gejala kulit butterfly rash inilah yang pertama saya alami. Semenjak awal 2014. Mulanya berupa bintik-bintik merah di kedua pipi yang saya biarkan karena berpikir sakit kulit biasa.

Beberapa bulan kemudian (April 2014 dan seterusnya), bintik-bintik tadi berevolusi menjadi ruam. Bahkan dengan kondisi begitupun, yang terpikir hanyalah iritasi kulit biasa. Kebetulan saat itu pas saya sedang (baru) memakai produk pencuci dan pelembab wajah yang iklannya getol banget seliweran di televisi. Sampai pertengahan 2014 (sekaligus ada dana) – saya baru ke dokter kulit dan beliau tidak mendiagnosis sebagai SLE. Hanya sakit kulit biasa.

Obat oral dan salep yang diresepkan memang membuat kondisi kulit wajah berangsur baik tapi sesudah habis, begitu lagi. Malah ruam merah makin menyebar hingga ke leher dan kulit dekat tulang selangka.

Baru terdiagnosis SLE ketika saya ke dokter kulit yang kedua. Menilai kondisi kulit wajah yang masih ruam maka sang dokter meresepkan salep untuk dioles di muka – selain obat steroid (methylprednisolone) dan krim wajah antimatahari. Salep itu (yang di kemudian hari saya ketahui juga berbahan steroid) setelah diaplikasikan rutin, cukup mengurangi ruam wajah. Tinggal bercak kecokelatan yang masih ada.

Ketiga, kriteria kulit butterlfy rash ini ternyata sangat penting. Mengapa? Pasalnya cukup banyak penderita lupus yang bermasalah atau mengalami hal ini. Masih mengutip bukunya dokter Wallace, disebutkan sekitar 35 persen penderita Systemic Lupus maupun Discoid Lupus (lupus yang menyerang kulit) mengeluhkan butterfly rash di pipi yang membuat mereka tampak seperti serigala. Ruam menggambarkan sudut dimana radiasi ultraviolet (UV) matahari menyentuh kulit.

Tambahan lagi, apabila tidak lekas ditangani atau mendapat penanganan tepat, ruam malar bisa semakin parah dan mempengaruhi psikis dari odapus yang mengalami. Mengenai hal ini, sering saya membaca curhat para odapus di grup-grup lupus atau autoimun (di medsos Facebook) yang mengeluh sedih dan tidak percaya diri berpergian atau ke luar rumah lantaran penampilan butterfly wajah mereka.

Namun jangan salah juga. Tak setiap ruam malar selalu pertanda lupus. Untuk ini tentunya dibutuhkan kepekaan atau ketelitian dari dokter yang memeriksa.

Menurut dokter Wallace, pertanda lupus bilamana luka-luka (pada kulit wajah) tersebut tidaklah gatal dan teridentifikasi sebagai lupus jika dilihat dengan mikroskop. Yang jelas jika muncul ruam wajah berbentuk kupu-kupu di wajah, patutlah waspada dan jangan disepelekan. (Jakarta, 31 Agustus 2020)

Saya hidup bersama Lupus (odapus)

Hingga tahun ini, sudah 6 tahun berarti saya hidup dengan lupus, saya sudah banyak bolak-balik ke rumah sakit untuk berbagai pengobatan dan perawatan. Dari rumah sakit di Lampung, dan kini terdampar di rumah sakit-rumah sakit di Jakarta.

Jika sedang kambuh, maka saya harus masuk rumah sakit selama beberapa minggu, bahkan pernah satu bulan agar autoimun saya normal terlebih dahulu, baru kemudian bisa keluar dari rumah sakit. Bisa dibayangkan khan, betapa kupu-kupu dalam tubuh saya ini sering makin membuat super sibuk aktivitas saya sebagai wartawan.

Kadang saya merasa lelah mengalami semua ini, sering menangis melihat langit rumah sakit yang lekat dengan hidup saya 6 tahun belakangan ini, walau saya percaya, bahwa hidup harus terus berjalan dan diperjuangkan

Nama saya Karina Lin, saya sudah didiagnosa menderita lupus 6 tahun ini. Bagi saya, kupu-kupu adalah teman saya sehari-hari.

Selendang dari Marina selalu mengingatkan, bahwa saya adalah seorang odapus.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Karina Lin

Jurnalis dan Penulis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!