Bagaimana Orang Lajang Temukan Kebahagiaan

Jika Anda lajang, pertanyaan “kapan nikah?” adalah pertanyaan yang sering muncul dari keluarga, teman, rekan sejawat, bahkan orang yang baru kenal sekalipun.

Hal tersebut menggambarkan betapa tekanan sosial untuk menikah begitu besar di Indonesia. Tak heran, jika hanya 7 dari setiap 100 orang Indonesia yang berusia 30 hingga 39 tahun belum menikah. Angka ini tergolong salah satu yang terendah di Asia, setelah Cina, India, dan Pakistan.

Ketika menikah sudah menjadi norma sosial, maka orang yang belum menikah di Indonesia seringkali mendapat stigma sosial. Mereka sering dianggap terlalu pemilih, egois, atau memiliki orientasi homoseksual. Stigma-stigma tersebut mendorong mereka untuk melarikan diri ke dunia maya.

Beberapa penelitian internasional, seperti di Inggris, menunjukkan bagaimana internet bisa membantu meningkatkan kualitas hidup orang lajang dalam memenuhi kebutuhan emosional dan sosial mereka.

Tapi penelitian terbaru saya justru menemukan bahwa upaya individu lajang untuk mencari kebahagiaan di dunia maya ternyata sia-sia.

Mengapa demikian?

Lebih aktif di internet, namun lajang tetap tidak bahagia

Saya melakukan penelitian pada 2017-2018 untuk mengetahui apakah internet bisa berdampak positif juga terhadap kehidupan lajang di Indonesia.

Untuk itu, saya melakukan survei daring terhadap 559 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 310 dari mereka belum menikah.

Dibandingkan pasangan menikah, saya menemukan lajang menghabiskan waktu lebih lama di internet dan aktivitas mereka di internet lebih fokus pada aktivitas rekreasional seperti bermain daring, menonton film, mendengar musik, dan mengakses hiburan.

Namun, berlawanan dengan penelitian-penelitian di negara lain, riset saya menunjukkan lajang menganggap aktivitas tersebut tidak bisa membantu meningkatkan kepuasan hidupnya.

Temuan menarik lainnya adalah sebagian besar responden mengatakan aktivitas pertemanan di internet, melalui berbagai media sosial, seperti Facebook dan Instagram, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Responden saya mengatakan bahwa hubungan pertemanan yang dibangun di sana terasa artifisial.

Bahkan, tingkat kesepian sebagian dari mereka juga tidak berkurang melalui aktivitas sosialnya di internet.

Upaya individu lajang untuk mencari kebahagiaan di dunia maya ternyata sia-sia. athree23/Pixabay, CC BY

Survei saya juga menunjukkan bahwa pengakses pornografi terbesar kebanyakan adalah lelaki lajang, namun uniknya, mereka merasa aktivitas menonton pornografi tidak berdampak positif pada kehidupan mereka. Hal ini karena mereka melihat materi pornografi hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, sedangkan relasi seksual di luar pernikahan tetap dianggap ilegal.

Hasil studi ini semakin menunjukkan bahwa menikah seolah-olah menjadi satu-satunya solusi yang menentukan kepuasan hidup sebagian masyarakat Indonesia.

Perlu dicermati bahwa 92,9% partisipan dalam studi ini mengaku ingin menikah, meski status mereka masih lajang.

Namun karakteristik lajang yang sebenarnya ingin menikah ini justru memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya, yang secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas individu lajang di Indonesia sebenarnya ingin menikah.

Kebahagiaan di dalam dan luar internet

Studi saya menyimpulkan bahwa kebahagiaan lajang di Indonesia tidak berasosiasi dengan aktivitasnya di internet. Namun, hal ini tidak secara otomatis berarti bahwa beraktivitas di internet tidak baik bagi lajang.

Seorang profesor psikologi dari The University of Bologna, di Italia, Elvis Mazzoni, melakukan riset yang menunjukkan bahwa dukungan sosial dari internet baru dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang ketika disertai dengan adanya akses terhadap dukungan sosial secara langsung.

Dengan kata lain, pertemanan secara tatap muka menjadi syarat agar relasi sosial di internet dapat memenuhi kebutuhan emosional individu.

Oleh karena itu, individu lajang di Indonesia juga perlu memiliki lingkaran pertemanan tatap muka yang tidak menghakimi mereka yang belum menikah.

Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat stigma sosial yang cukup kuat terhadap individu lajang di Indonesia. Untuk jangka panjang, kita perlu memikirkan langkah strategis untuk mengurangi stigma masyarakat terhadap individu yang tidak menikah.

Lagi pula, studi juga sudah menunjukkan bahwa pernikahan bukan lagi satu-satunya penentu kebahagiaan seorang dewasa.

Dunia maya bukan jaminan mendapatkan kebahagiaan. Tumisu/Pixabay, CC BY

Bagi mereka yang tidak menikah, terdapat berbagai relasi alternatif yang dapat mengakomodasi kebutuhan emosional untuk dimiliki dan memiliki.

Secara umum, relasi alternatif itu dikelompokkan menjadi relasi dengan orang lain dan relasi dengan Tuhan.

Hasil penelusuran saya dari berbagai penelitian menemukan bagaimana para lajang bisa menikmati keleluasaan untuk berteman dan berjejaring dengan banyak orang dan bagaimana kedekatan spiritual dengan Tuhan menjadi momen yang berharga bagi para lajang.

Membangun relasi yang tulus adalah ramuan penting kebahagiaan manusia. Pernikahan bukan jaminan untuk mendapatkannya, apalagi pertemanan di dunia maya. Oleh karena itu, penting bagi lajang untuk mengelilingi diri dengan lingkaran pertemanan yang sehat dan membangun.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Karel Karsten Himawan

Lecturer of Psychology, Universitas Pelita Harapan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!