Di Yogyakarta, ada perempuan disable yang mengalami kekerasan seksual, namun kasusnya sulit untuk dituntaskan karena lingkungan rumah yang tak mendukung.
Ketika ingin menyelesikan kasusnya ke polisi, ternyata polisi juga terkesan kurang percaya dengan perempuan korban karena dianggap keterangannya sulit untuk dimengerti.
Agar kejadian seperti ini tidak berulang lagi, maka yang harus dilakukan yaitu, menyediakan perangkat pemeriksaan khusus pada disable karena disable harus mendapatkan dukungan ketika menyelesaikan kasusnya. Perangkat khusus tersebut misalnya, tersedianya standar pemeriksaan, seperti disediakannya penterjemah, juga pendamping yang dibutuhkan disable. Jika ada perangkat ini, perempuan disable korban kekerasan seksual akan dibantu untuk memberikan keterangannya.
Dalam mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disable, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) lalu memperjuangkan layanan hukum yang layak bagi perempuan disable pada kepolisian Indonesia
Koordinator HWDI, Maulani Rotinsulu menyatakan, salah satu bentuk perwujudan akomodasi layak yang disepakati yaitu tersedianya fasilitas komunikasi audio visual untuk pemeriksaan jarak jauh, dan tersedianya standar pemeriksaan penyandang disabilitas dan pemberian jasa hukum, sekaligus tersedianya pendamping dan penerjemah untuk disabilitas sebagai saksi, korban dan tersangka.
“Sejak disahkannya Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas serta diterbitkannya PP No.39/2020 tentang akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan, masih ditemui kendala dalam mewujudkan akses keadilan dan perlindugan bagi disabilitas ketika berhadapan dengan hukum,” kata Maulani Rotinsulu
Keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam memahami hak-hak disabilitas dalam proses pelaporan dan penyidikan menjadi dasar diperlukannya kerjasama antara Polri dengan organisasi disabilitas.
Pada Oktober 2019, HWDI dan Bareskrim Polri kemudian mendatangani nota kesepahaman atau MOU tentang Aksesibilitas Pelayanan Kepolisan Negara Republik Indoensia Terhadap Penyandang Disabilitas. MOU ini berlaku selama 5 tahun yang memuat tentang peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pelayanan Polri, peningkatan dan pelayanan sarana prasarana serta pertukaran data antar kedua belah pihak.
Para pihak berkewajiban melakukan sosialisasi kepada lingkup kepolisan RI baik di tingkat pusat dan daerah, penyandang disabilitas dan pemangku kepentingan lainnya.
Pada desember 2020, sebagai tindakan konkret, kedua belah pihak menyusun dan menyepakati perjanjian kerjasama tentang Aksesibilitas Pelayanan Hukum Dan Penyediaan Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas. Perjanjian ini sebagai penjabaran kerja konkret keduabelah pihak.
Dalam acara sosialisai perjanjian kerjsama yang dilakukan HWDI bersama Polri pada 25 Februari 2021 melalui daring disebutkan, hal ini menjadi kebutuhan mendesak bagi disabilitas yang berhadapan dengan hukum, termasuk adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pelayanan hukum bagi disabilitas.
Komitmen kepolisian juga tercermin dengan kesepakatan untuk melakukan pelatihan dan pendidikan bagi kepolisian. Ini menjadi dasar untuk melahirkan penyidik kepolisian yang mampu memahami kebutuhan khusus disabilitas.
Mengingat Polri sebagai pintu utama yang berhadapan langsung dengan korban dalam proses hukum, masyarakat disabilitas berharap MOU atau perjanjian kerjasama ini menjadi landasan penting kerja-kerja pendampingan kasus baik untuk kepolisian dan organisasi disabilitas juga lembaga layanan.
“Dengan tujuan mewujudkan kepastian hukum dan pemenuhan atas keadilan bagi disabilitas, khususnya disabilitas perempuan korban kekerasan. Dengan tujuan menciptakan budaya hukum yang kondusif, bermartabat dan adil bagai seluruh rakyat Indonesia,” kata Maulani Rotinsulu
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)