Menikah Atau Tidak Menikah? Perempuan Berhak Tentukan Pilihannya

“Kalau gak mau hamil, ya, gak usah menikah.” Sebuah pernyataan yang membuat saya terus berpikir: apakah perempuan punya hak atas tubuhnya sendiri?

Membincangkan tubuh perempuan sebenarnya sudah menjadi diskusi yang terjadi selama berabad-abad lamanya.

Bahkan jika dibahas satu-satu, sudah banyak yang mendiskusikan soal wajah perempuan, tubuh perempuan hingga jari kelingking. Karena tubuh perempuan dari jari kelingking hingga wajah selalu digunakan sebagai penilaian masyarakat. Penilaian atas norma sampai agama, sampai kapitalisme yang selalu menilai tubuh perempuan dalam iklan, sinetron, film hingga memecah belah perempuan.

Salah satunya yang saya amati adalah penilaian pada perempuan dengan atas nama norma dan agama untuk persetujuan menikah atau tidak menikah.

Hidup di negara yang agamanya selalu dikaitkan dengan kehidupan perempuan sehari-hari, tentu memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Ya, hidup seolah-olah harus selalu seperti itu. Omong kosong jika dalam kehidupan beragama tidak ada kekurangan. Apalagi jika agama seringkali dijadikan tolak ukur tafsiran untuk menindas atau melakukan penindasan.

Saya ingin menuliskan penindasan terhadap tubuh perempuan dalam pengertian luas, bukan hanya penindasan yang terjadi secara fisik saja, namun juga penindasan dari kebiasaan, perilaku, mental dan pola pikir masyarakat sehari-hari. Termasuk di dalamnya stigma, stereotype, seksisme, yang semua itu ada dalam masyarakat atas suburnya didikan patriarki.

Salah satunya yang saya amati yaitu kekuasaan atas pilihan perempuan untuk menikah atau tidak menikah. Memilih menikah atau tak menikah saja sudah sangat sulit untuk ditentukan perempuan sendiri, karena tak jarang perempuan memilih harus menikah ketika dihadapkan pada pilihan yang diletakkan oleh keluarga atas calon pasangannya dengan diembel-embeli atas nama norma dan agama, maka kamu harus menikah.

Perempuan yang sudah menikahpun selalu mendapatkan stereotype sebagai perempuan hebat karena sudah dianggap memenuhi separuh ajaran agama. Hingga stereotype itu membawa pada masyarakat yang meyakini bahwa perempuan adalah orang yang beruntung karena telah dipilih oleh seorang laki-laki yang menikahinya. Ini tentu lucu sekali jika kita membaca kalimat bahwa perempuan berbondong-bondong agar dipilih lelaki, sedangkan kata berimbuhan –di pada kata dipilih- itu mengandung makna kepasifan. Ini semakin melegitimasi bahwa perempuan tidak memiliki kehendak atas dirinya sendiri.

Belum lagi strereotype bahwa perempuan yang menikah itu harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dari pekerjaan di sumur, dapur, kasur yang sudah melekat pada perempuan yang tampak oleh pandangan masyarakat.

Jika ada suami yang mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu rumah, mengepel lantai, mencuci baju, menjemur pakaian, bersiaplah mendapat nyinyiran dari lingkungan sekitar rumahmu. Padahal sindiran atau nyinyiran ini merupakan kontrol dari nilai patriarki atas nama norma tubuh perempuan.  

Padahal lihat saja, saat ini sudah banyak sekali kondisi dimana perempuan yang harus mengerjakan apa saja dalam hidupnya mengalami gangguan kesehatan mental.

Seperti terlihat dalam film drama Korea yang cukup terkenal dengan judul “Reply 1988” dimana seorang perempuan yang berperan sebagai istri, ibu, sekaligus anak dari kedua orangtuanya mengalami gangguan jiwa atas tekanan yang ia dapatkan dari berbagai peran yang selama ini  dilakukan, tanpa adanya apreasiasi dan dukungan dari lingkungannya

Perempuan ternyata tak pernah diberikan kuasa atas dirinya sendiri, atas tubuhnya sendiri. Ia menikah untuk menghindari sesuatu yang haram menurut otoritas keagamaan, ia menikah karena diharuskan untuk cepat mempunyai anak, atau ia menikah karena lingkungan keluarga mengharuskannya menikah dan berbagai alasan lainnya.

Dalam politik atas tubuh perempuan ini, perjuangan agar perempuan tak dikontrol oleh kekuasaan patriarki merupakan perjuangan para feminis. Perempuan selalu terlupakan dengan bayang-bayang penilaian patriarki.

Lalu kapan perempuan berhak atas hidup dan tubuhnya sendiri? Karena seharusnya “kebahagiaan perempuan berada pada pilihan perempuan sendiri!.”

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Hannah Usmalina Lubis

Alumnus sejarah yang sedang belajar, tertarik pada isu-isu perempuan, gender, seksualitas dan sosial. Sedang mencari kesibukan agar pikiran tetap waras dan terbuka
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!