Riset: Isu Perempuan Diberitakan Di Media, Namun Belum Serius Dikawal

Bagaimana media menuliskan isu perempuan di masa krisis seperti Pandemi Covid-19? Riset Remotivi di tahun 2020-2021 menyebut, isu perempuan sudah banyak diberitakan di media, namun media belum serius mengawal isunya

Purnama Ayu Rizky, peneliti Lembaga Remotivi memaparkan riset Remotivi terhadap media dalam memberitakan isu perempuan di sepanjang tahun 2020-2021 dalam acara diskusi “Peran Jurnalis Dalam Pemberitaan Media Di Masa Pandemi Covid-19,” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, 9 Februari 2021 secara daring

Penelitian ini dilakukan di media cetak, daring dan televisi dalam kurun waktu April 2020-Februari 2021. Secara umum isu perempuan di masa krisis Covid-19 ini sudah banyak diberitakan, walaupun ada sentimen positif dan negatif. Namun sayang, penulisannya masih sangat sporadis.

“Jika isunya sedang ramai maka jurnalis akan banyak menulis, namun sayangnya, setelah itu sering tidak dikawal lagi isunya dan tidak lagi serius ditulis,” kata Purnama Ayu Rizky

Riset membuktikan, di masa-masa ini, isu perempuan sudah jadi pemberitaan khusus yaitu sebanyak 25 ribu berita yang jumlahnya di bawah isu Omnibus Law yang banyak dibicarakan masyarakat yaitu sebesar 30 ribu berita, ada selisih 5 ribu berita diantara keduanya.

Riset juga menemukan, isu perempuan di media cetak dan di media daring juga banyak yang positif isinya, namun bukan berarti ini memberikan sinyalemen baik bagi pengarusutamaan isu perempuan di media.

Purnama Ayu menyebut, pembicaraan soal perempuan masih dilakukan secara dramatis dan hanya sekedar kasusitik. Misalnya untuk persoalan Covid-19, media menuliskan jika ramai dibicarakan. Selain itu kebanyakan narasumbernya adalah pemerintah dan dari unsur laki-laki, seperti Presiden Jokowi, Jusuf Kalla dan Doni Munardo sebagai ketua Satgas Covid-19.

“Ada beberapa narasumber perempuan, tapi hanya diwawancara sporadis saja atau yang dikenal dengan jurnalisme mulut.”

Kebiasaan lain di media, yaitu media hanya memberitakan ketika isu sedang ramai, namun tidak selalu mengawal isu karena belum menempatkan isu perempuan sebagai isu yang penting. Di luar itu, masih sangat minim verifikasi

Persoalan lain adalah, ada penggunaan diksi atau kalimat yang tidak konsisten dalam pemberitaan kekerasan seksual yang tak berperspektif penyintas, cenderung menyalahkan istri selama pandemi, juga selalu ada berita yang menuliskan jika istri harus mempunyai tugas ganda di rumah, dll.

“Ada juga tulisan soal korban kekerasan seksual, nama korban memang tidak dituliskan, namun alamatnya dibeberkan. Ini jelas melanggar hak korban.”

Purnama Ayu menyebut, bahwa jurnalis mestinya punya kesadaran dan paham fungsinya, jangan hanya menghasilkan jurnalisme mulut atau apa kata narasumber. Mestinya media melengkapinya dengan data dan fakta

Jurnalis, Evi Mariani menyadari bahwa saat ini kita hidup di zaman yang sedang bergerak, misalnya pengaruh gerakan #MeToo di Amerika yang sangat besar menuju perubahan bagi perempuan. Jurnalis mestinya harus bisa membuat perubahan karena jurnalis adalah bagian dari perubahan itu sendiri

“Yang harus dilakukan jurnalis adalah mereka harus selalu bertanya tentang sesuatu jika ada informasi dan data yang tidak pro terhadap perempuan korban, karena jika salah menulis, maka akibatnya akan ditanggung oleh korban. Kondisi korban jadi semakin berat,” kata Evi Mariani.

Tunggal Pawestri, aktivis perempuan dari HIVOS menyatakan bahwa krisis apapun selalu memperburuk ketimpangan gender termasuk krisis karena Covid-19, karena di masa normal saja ketimpangan gender ini sudah banyak terjadi, apalagi jika dalam situasi perang, konflik dan bencana.

Di situasi krisis misalnya sering terjadi pengabaian kebutuhan anak dan perempuan, data Komnas Perempuan selama masa Covid-19 menunjukkan Kekerasan Berbasis Gender/ KBG naik 63% dan ini terjadi di masa krisis termasuk Kekerasan Berbasis Gender Online/ KBGO, misalnya adanya ancaman penyebaran konten intim tanpa persetujuan karena banyaknya pengguna internet di masa krisis seperti ini.

“Maka yang perlu dilakukan untuk korban adalah pastikan bahwa korban dipastikan untuk didampingi. Karena di masa krisis, resiko sebagai perempuan akan tinggi, beban ganda perempuan di rumah tangga juga tinggi, dan sulitnya korban mengakses rumah aman karena korban harus melakukan tes covid-19 yang biayanya sangat mahal,” kata Tunggal Pawestri

Maka jika dalam situasi normal saja perempuan menjadi kelas nomer dua, apalagi di masa pandemi, krisis dan bencana. Konstruksi sosial yang terjadi di lingkungan ini kemudian juga menjalar ke media.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!