Stop Pengaturan Baju Perempuan, Komnas Perempuan Apresiasi Pemerintah

Sepanjang 2009-2020 Komnas Perempuan mencatat ada banyak pihak yang menolak aturan pengaturan pakaian. Namun pihak yang menolak ini justru beresiko mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam layanan publik, mereka juga menerima sanksi administratif hingga kehilangan pekerjaan, diejek, dikucilkan, maupun kekerasan dan persekusi

Akibatnya, pihak-pihak yang menolak atau beda pendapat ini memilih diam, yang kemudian dimanfaatkan sebagai tanda “persetujuan” atas  keberadaan kebijakan diskriminatif itu. Risiko itu juga ditemukan Komnas Perempuan di beberapa daerah, meski tidak ada kebijakannya.

Maka Komnas Perempuan mengapresiasi langkah cepat dan tegas yang diambil pemerintah dalam menyelesaikan kasus pemaksaan pakaian terkait identitas agama melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri

Langkah pemerintah ini akan menguatkan upaya pelaksanaan tanggung jawab negara dalam memajukan dan menegakkan hak-hak dasar yang dijamin undang-undang, terutama hak untuk bebas dari diskriminasi, hak meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran serta bebas dari rasa takut ketika melakukan sesuatu

Dalam kasus di lingkungan pendidikan, pemaksaan pakaian terkait identitas agama juga menghalangi penikmatan hak konstitusional atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Kebijakan seragam dengan identitas agama di sekolah seringkali merupakan perpanjangan dari kebijakan daerah setempat mengenai aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas.

Hingga kini seperti dipaparkan Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei dalam pernyataan pers yang diterima www.konde.co pada 5 Februari 2021, sekurangnya Komnas Perempuan mencatat 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana tersebar di 15 provinsi, dalam bentuk 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi dan  kota/kabupaten.

“Komnas Perempuan mengapresiasi pertimbangan mengenai hak konstitusional warga dan pentingnya merawat kebhinnekaan bangsa sebagai landasan pijak dari Surat Keputusan Bersama/ SKB 3 Menteri ini sehingga warga dapat memilih secara bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan seragam dengan atribut keagamaan sesuai agama dan keyakinannya itu.” 

Atas dasar itu pula, Komnas Perempuan berpendapat bahwa kebijakan serupa di Aceh tidak dapat dikecualikan dalam persoalan ini, mengingat hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak beragama dan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, termasuk terkait kewenangan otonomi khusus.

Komnas Perempuan mencermati bahwa kebijakan diskriminatif lahir dari penguatan politik identitas primordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998, serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif.

“Selain itu kelahiran kebijakan diskriminatif juga dipengaruhi oleh kapasitas sumber daya manusia perumus kebijakan, seperti pemahaman mengenai prinsip non diskriminasi dan langkah afirmasi, kapasitas mengurai persoalan sosial yang kompleks dan ketrampilan memfasilitasi proses partisipasi publik. Juga, kapasitas masyarakat yang masih gampang dimobilisasi dengan politisasi identitas keagamaan dalam perumusan kebijakan publik,” kata Imam Nahei

Apa yang harus dilakukan pemerintah selanjutnya?

Mencermati Keputusan 3 Menteri tersebut di atas dan dalam kerangka memajukan capaian dari program prioritas nasional untuk harmonisasi kebijakan, Komnas Perempuan merekomendasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mensosialisasikan secara meluas SKB 3 Menteri ini dengan kelengkapan dan kejelasan informasi pengaturan seragam di sekolah

Untuk Kementerian Dalam Negeri, agar membatalkan segera kebijakan kepala daerah tentang aturan busana yang mengunggulkan identitas kelompok mayoritas, serta kebijakan diskriminatif lainnya atas nama agama dan moralitas, bersama Pokja Harmonisasi Kebijakan Nasional yang terdiri dari unsur kementerian dan lembaga menyegerakan pelaksanaan langkah penanganan dan pencegahan yang sistemik, termasuk dengan mengoptimalkan mekanisme e-perda, dan mengintegrasikan pemahaman mengenai prinsip non diskriminasi ke dalam kegiatan pembinaan daerah dan pendidikan pimpinan serta tenaga penyusun dan perancang kebijakan daerah.

Komnas Perempuan juga meminta Kementerian Agama mempercepat langkah pengembangan program moderasi agama di berbagai lembaga pendidikan dengan mengintegrasikan pemahaman mengenai wawasan nusantara dan hak-hak konstitusional, dengan perhatian pada kerentanan khusus perempuan maupun kelompok minoritas lainnya.

“Untuk Kementerian Hukum dan HAM agar mendorong percepatan harmonisasi kebijakan dengan mengoptimalkan peran kantor wilayah, pembinaan daerah dan mekanisme penanganan keluhan masyarakat pada kebijakan dan praktik diskriminasi atau pelanggaran HAM lainnya.”

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menguatkan peran konsultatif dalam perumusan kebijakan daerah, termasuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam unit kerja di daerah, dalam kerangka kepemimpinan perempuan dalam pendidikan keberagaman dan perdamaian.

“Juga untuk Kantor Staf Presiden, Kemenkopolhukham dan Bappenas untuk menguatkan koordinasi lintas Kementerian/Lembaga dalam pelaksanaan program harmonisasi kebijakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia, termasuk upaya menghapuskan kekerasan dan diskriminasi atas dasar apa pun dengan perhatian khusus pada kerentanan perempuan, sebagai upaya strategis menguatkan pondasi kebangsaan dan ketahanan nasional.”

Dan untuk Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar melakukan kajian mandiri dan menyeluruh pada kebijakan di daerah guna memastikan langkah koreksi pada kebijakan maupun praktik diskriminatif atas nama agama dan keinginan mayoritas sehingga dapat turut mengawal keberlangsungan NKRI dan pelaksanaan mandat konstitusional penyelenggara negara.

Yang terakhir, masyarakat untuk menggunakan mekanisme keluhan yang telah disediakan oleh kementerian/lembaga terkait, termasuk hotline yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan untuk keluhan tentang kebijakan dan praktik diskriminatif di sekolah, juga menjadi pendorong perubahan, memperkuat pemahaman mengenai prinsip non diskriminasi dan tentang kebangsaan dan kebhinnekaan, serta mendukung upaya korban untuk mengungkapkan pengalaman dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!