Film Medium Efektif Bagi Perjuangan Para Perempuan Pembela HAM

Film menjadi media yang penting untuk mengkampanyekan persoalan yang selama ini dialami women human right defenders atau Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM)

Perempuan Pembela HAM/PPHAM di Indonesia adalah orang-orang yang dalam aktivitasnya bekerja untuk membela kasus-kasus HAM berbasis gender dan para perempuan yang bekerja di berbagai isu dan sektor untuk mempromosikan, mengadvokasi, mendidik tentang hak-hak asasi manusia.

Para perempuan pembela HAM di Indonesia selama ini melakukan kerja-kerja advokasi kasus-kasus HAM, mereka sering menghadapi berbagai ancaman. Dalam bekerja, para perempuan pembela HAM mengalami kekerasan, stigma dan diskriminasi dalam berbagai bentuk baik yang dilakukan oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah, aparat, kelompok patriarki berbasis agama, kelompok nasionalis militeristik serta korporasi kapitalis. Selain itu PPHAM mengalami persoalan kesehatan dan kesejahteraan yang terabaikan hingga sakit dan meninggal.

Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) dan Institute for Women Empowerment (IWE) dan www.konde.co merasakan bahwa film telah menjadi media yang sangat penting untuk mengkampanyekan persoalan yang dialami PPHAM.

Direktur YPII, Damairia Pakpahan menyatakan pentingnya persoalan yang dialami PPHAM harus diangkat ke publik, salah satunya melalui film agar masyarakat menjadi tahu dan pemerintah memperjuangkan PPHAM sebagai bagian penting dari kebijakan

“Para PPHAM mengalami sejumlah ancaman seperti diancam diperkosa, didatangi orang-orang tak dikenal, distigmakan sebagai perempuan perusak rumah tangga orang, dianggap sok tahu agama hingga mau dilempar dengan parang. Lalu ada juga yang dianggap perempuan murahan dan dianggap tak bisa mengurus anak karena sering keluar malam mendampingi para korban.”

Di Indonesia, perjuangan para perempuan pembela HAM/ WHRD sudah dilakukan sejak masa Indonesia belum merdeka. Para perempuan pembela HAM ini kemudian berjuang dengan melakukan pembelaan berbasis gender yang bekerja untuk isu perempuan dan minoritas, pembelaan HAM secara umum seperti kasus lingkungan, masyarakat adat, minoritas gender, keberagaman

Direktur Institute for Women Empowerment (IWE), Donna Swita menyatakan hingga saat ini, terkait hukum positif, belum ada pengakuan eksplisit terhadap pembela HAM sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi Pembela HAM 1998.

“Pemahaman umum tentang pembela hak asasi manusia, terutama WHRD dan deklarasinya, belum dipahami oleh pejabat negara dan pemerintah serta di dalam Kementerian seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Luar Negeri.”

Yayasan Perlindungan Insani (YPII) dan Institute for Women Empowerment (IWE) dan www.Konde.co melakukan program untuk meningkatkan pemahaman publik tentang isu Perempuan Pembela HAM dan mendorong pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan bagi PPHAM.

Kerjasama untuk kampanye dan promosi perlindungan dan jaminan kesehatan bagi PPHAM ini tidak lepas dari situasi masih rendahnya pemahaman publik tentang Pembela Hak Asasi Manusia, khususnya Perempuan Pembela HAM (PPHAM).

Selama ini, Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok, dan Organ Masyarakat untuk Mempromosikan dan Melindungi Manusia yang Diakui Secara Universal Hak dan Kebebasan Fundamental (dikenal sebagai Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia tahun 1998) juga belum dikenal luas oleh publik. Di sisi lain, mekanisme perlindungan bagi para pembela HAM masih lemah. Bahkan belum ada pengakuan eksplisit terhadap para pembela HAM sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia 1998 tersebut.

Sampai hari ini, entitas perempuan di Indonesia terkhusus PPHAM masih dalam pusaran ancaman dan kekerasan yang semakin kompleks. Meski secara regulasi, kesadaran melindungi perempuan sudah dilakukan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan maupun mekanisme institusi di Kementerian PPPA, Komnas HAM dan Komnas Perempuan, tetapi di tingkat lapangan ancaman dan kekerasan yang dialami perempuan khusunya perempuan pembela HAM semakin memprihatinkan.  

Beberapa cuplikan fakta ini kemudian terdokumentasi dalam 13 film dokumenter tentang PPHAM yang dibuat oleh sejumlah lembaga selama program ini berlangsung.

Kondisi PPHAM dari berbagai sektor di film ini menunjukkan tentang bentuk-bentuk ancaman dan kekerasan yang terus berlangsung hingga hari ini yang merupakan upaya kriminalisasi, pelecehan, pemaksaan, stigma sesat, stigma melawan kodrat, diskriminasi sosial dan politik, intimidasi, serangan digital, pelarangan membuat serikat pekerja rumah tangga, pelecehan seksual, dianggap lemah, impunitas bagi para pelaku, kekerasan seksual, teror, pengrusakan harta benda seperti tempat usaha dan ancaman pembunuhan.

Ketigabelas PPHAM yang dibuatkan kisahnya dalam film dokumenter yang diproduksi sejumlah lembaga ini merupakan para PPHAM yang terus konsisten memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Mereka adalah Masnuah (PPHAM sektor Nelayan dari Persaudaran Perempuan Nelayan Indonesia), Rosnida Sari (PPHAM sektor akademisi yang memperjuangkan Hak atas Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama), Yertin Ratu (PPHAM isu anti korupsi dan reforma agraria), Martheda Esterlina Selan (PPHAM sektor masyarakat adat dan sekaligus tenaga pendidik), Ninik Kusniati (PPHAM isu kekerasan berbasis gender), Ernawati (PPHAM isu demokrasi, hak-hak asasi manusia dan perempuan), Jumiyem (PPHAM sektor Pekerja Rumah Tangga), Nurul Aini/Paini (PPHAM sektor Lingkungan Hidup dan hak atas tanah), Lilis M Usman (PPHAM sektor perburuhan), Rasminah (PPHAM sector Anak dan pemberdayaan perempuan melawan perkawinan anak), Yuyun Agustina (PPHAM sektor Lingkungan Hidup dan bencana), Syamsiah (PPHAM sektor Disabilitas) dan Sultinah (PPHAM sektor Perburuhan melawan pelecehan seksual di tempat kerja).

Kisah pengalaman singkat dari Para PPHAM dalam film dokumenter tersebut sangat beragam, ada yang bermula sebagai korban (victim) dari ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan berbasis gender dan atau ketika berhadapan dengan kekuatan modal atau karena duka bencana dan kemudian mereka berubah menjadi penyintas (survivor) serta dalam perjalanannya bertransformasi menjadi PPHAM, bahkan ada yang menjadi pemimpin perempuan (women leader). Namun ada juga yang memang bermula dari panggilan diri untuk mendampingi mereka yang tertindas mengalami ketidakadilan.

Selain pembuatan film dokumenter, program ini juga menyelenggarakan lomba video tentang PPHAM bagi publik dan anak muda yang diselenggarakan selama bulan Februari 2021. Lomba ini sebagai apresiasi dan motivasi untuk meningkatkan kapasitas dan kesadaran semua pihak dalam memahami urgensi perlindungan bagi PPHAM di Indonesia

Dari video dokumenter yang dikirimkan para peserta, dewan juri yang terdiri dari: Luviana (www.Konde.co), Theresia Sri Endras Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan), Farhad Shameel (YPII) dan Raihana Diani (IWE) telah memilih 3 pemenang, antaralain pemenang berjudul Perjuangan Alexa,  karya Gina Nurohmah sebagai pemenang 1, pemenang 2 berjudul kisah perjuangan dari Pergunungan Kendeng, karya Lena Sutanti, dan pemenang 3 dengan judul Giving voice to the voiceless, karya Doni Chairullah.

Selain ketiga pemenang tersebut, juri juga menetapkan perhatian khusus (special mention) kepada judul Perempuan Pembela HAM di Papua, karya Tim Perempuan dan Anak, LBH Papua, dan tantangan Perempuan pembela HAM di era digital, karya Luh Made Kristianti, Shevierra Damadiyah dan Irfan Marzuki

Secara umum, film dan video ini kemudian menambah data soal ancaman yang dialami para PPPHAM di Indonesia. Situasi ancaman dan kekerasan PPHAM ini sebelumnya juga dipertegas dengan temuan Komnas Perempuan.

Melalui Studi Perempuan Pembela HAM tahun 2017, menemukan 436 kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam 19 bentuk kekerasan berdasarkan catatan 58 PPHAM.

Catatan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia pada tahun 2019 ada 35 perempuan pembela HAM termasuk Baiq Nuril yang dikriminalisasi atasannya namun berkat bantuan Presiden mendapatkan grasi dan pada tahun 2020 ada 6 PPHAM. Ancaman dan kekerasan di atas bisa saja akan mengancam dan menyasar kepada setiap orang yang berbicara soal hak asasi manusia khususnya tentang tema-tema kesetaraan gender. Dengan demikian, isu HAM dan termasuk Hak Asasi Perempuan akan menjadi simbol tanpa arti dan akan menjadi teks normatif tanpa implementasi. Keadilan dan kesetaraan yang menjadi cita-cita umat manusia pun akan menjadi semakin sulit tercapai.   

Beberapa harapan sebagai rekomendasi untuk pemajuan peradaban kemanusian menuju keadilan melalui kesetaraan dan kesadaran gender dalam momen peringatan hari perempuan Internasional saat ini yang urgent adalah adanya kerjasama dari semua pemangku kepentingan agar meningkatkan regulasi tentang perlindungan dan jaminan kesehatan bagi perempuan korban khususnya PPHAM menjadi lebih mekanis dan operasional serta memberikan jaminan kesehatan.

Lalu melakukan sosialisasi dan mengadakan kegiatan-kegiatan edukatif untuk seluruh elemen lembaga pemerintahan maupun untuk masyarakat tentang urgensi perlindungan dan jaminan kesehatan dan memberikan pendampingan hukum, pendampingan fisik maupun psikis kepada para perempuan korban secara berkelanjutan untuk menjadi penyintas termasuk perempuan pembela HAM. 

(Foto: Yayasan Perlindungan Insani Indonesia dan Institute for Women Empowerment/ IWE)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!