Hanya Bahagia Saat Pacaran: Derita Menikah di Usia Anak

Sampai lupa bagaimana rasanya bahagia. Ini merupakan testimoni seorang anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak. Ia menyatakan, sampai lupa kapan terakhir ia merasa bahagia. Seingatnya, terakhir bisa merasakan bahagia ketika masa pacaran

Pertemuan saya dengan Inar Suminar, 41 tahun di Kampung Cukukulu Desa Cisolok, Kecamatan Cisolok, Pelabuhan Ratu, Sukabumi belum lama ini berlangsung haru.

Malam itu jam 19.00 WIB. Meski belum terlalu malam, udara sudah terasa dingin dan suasana dusun sepi. Angin menghambur begitu saja ke permukinan warga Dusun Cikukul yang letaknya tak sampai 500 meter dari Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Tinggal di dekat pantai membuat warga sekitar bermata pencarian memanfaatkan hasil laut. Menurut Kepala Desa Cisolok Hendi Sunardi,  sebagian besar warganya berprofesi sebagai  nelayan. Sisanya bekerja di antaranya sebagai pengemudi ojek, wiraswasta, buruh kasar, petani, dan tukang bangunan. Termasuk suami Inar yang dinikahi 18 tahun lalu.

Malam itu pertemuan dengan Inar bersama anak perempuannya nomor dua, Asih (17 tahun), dan kami saling bercerita tentang perkawinan anak. Mengapa memilh bertemu Inar? Karena, anak perempuan pertamanya, kakak Asih, sebut saja namanya Dedek (20 tahun) menikah di usia 15 tahun. Dan mengapa perlu mewawancarai Asih, karena siswi yang duduk di kelas 2 sekolah menengah atas ini seorang aktivis Posyandu remaja Kampung Cikukulu. 

Ibu tiga anak ini menceritakan bagaimana anak perempuan pertamanya, Dedek, yang saat itu berusia 15 tahun menyampaikan keinginannya untuk menikah muda. Dedek saat itu sedang duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama di Kecamatan Cisolok.

Inar, yang kala itu belum memahami tentang pentingnya mencegah perkawinan anak, tak menolak. Apalagi, laki-laki yang dikenalkan Dedek sudah cukup umur (berusia sekitar 25 tahun) dan sudah bekerja sebagai kondektur bis rute perjalanan Pelabuhan Ratu- Sukabumi.

“Saya setuju (dengan pengajuan anaknya yang ingin menikah muda) karena memang anaknya sudah pingin berumah tangga,” ujarnya kepada penulis.

Inar mengenang soal putusannya menyetujui pernikahan Dedek. Dedek adalah anak dari perkawinan dengan suami pertamanya. Kala itu, Inar melepas Dedek dengan berlinang air mata. Ia mengingat, anak pertamanya adalah korban kegagalan perkawinan dengan suaminya terdahulu. Sebagai pekerja anak buah kapal, ayah Dedek, pernah selama bertahun- tahun bahkan pernah sampai enam tahun tak memberi nafkah dan menghilang begitu saja. Untuk menyambung hidup Inar bekerja serabutan dan meminta bantuan orang tuanya untuk dia makan bersama anaknya.

“Ekonomi kami susah dan Dedek seperti kehilangan figur bapak,” ujarnya.

Di Kampung Cikukulu, menikah dalam usia anak menurut Inar, dibenarkan oleh Kepala Desa Cisolok Hendi. Ini juga bukan suatu hal yang aneh disana. Menurut mantan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi ini, kondisi ekonomi alias kemiskinan warganya menjadi alasan menikahkan anak perempuan secepatnya. Selain juga perkawinan anak di Desa Cisolok, Sukabumi dipengaruhi faktor pergaulan karena daerah ini berada di area wisata dimana orang lalu lalang datang dan pergi

“Kawasan Pantai Pelabuhan Ratu ini kawasan wisata. Anak bisa terpengaruh pergaulan bebas jika pengawasan orang tua kurang,” ujar Hendi kepada penulis.

Ditemui di kontrakannya di sebuah rumah petak tak jauh dari rumah Inar, Dedek menceritakan kehidupannya. Ibu satu anak berusia 5 tahun beberapa tahun ini turut mengkampanyekan “stop perkawinan anak”.

Kepada saya, Dedek bercerita bahwa putusannya menikah di usia anak karena ketidaktahuannya tentang bahaya dan dampak kawin anak. Juga selain karena pengaruh pergaulan teman-temannya yang sering ‘nongkrong’ di kawasan pantai, mereka jadi tak bisa mengakses informasi soal problem perkawinan anak.

Dedek mengenang, saat menyampaikan niatnya untuk menikah kepada ibunya, dalam bayangannya menikah muda akan membuatnya bahagia. Karena ada suami yang melindungi, menemaninya kemanapun pergi, dan menanggung hidupnya. Tetapi, semua bayangan Dedek tak terwujud. Kebahagiaan bersama pasangan justru ia rasakan hanya ketika masa pacaran saja.

“Dulu saya pikir menikah muda (red-anak) itu apa-apa bersama, bahagia. Kemana pun pergi ada yang menemani ada yang melindungi,” kata Dedek.

Kebahagain berumah tangga hanya Dedek rasakan selama beberapa hari saja. Setelah menikah, apalagi setelah melahirkan anak, Dedek sering lupa bagaimana rasanya bahagia.

Sehari-hari, sebagai istri dan seorang ibu Dedek dipaksa pada situasi dan keadaan yang sulit. Selain mengurus urusan rumah tangga, Dedek harus mengurus anaknya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan suaminya yang hanya diupah sekitar Rp. 200 ribu setiap minggu tak cukup untuk biaya hidup keluarganya apalagi membayar biaya kontrakan. 

Sambil menitikkan air mata Dedek berpesan kepada semua anak perempuan untuk tak mengulang pengalaman pahit yang ia alami. Sebagai anak-anak, menurut Dedek, seharusnya ia dulu menikmati kehidupannya. Bermain bersama teman, belajar, sekolah, dan berusaha menggapai mimpi dan cita-cita meskipun ekonomi  orang tuanya terseok-seok.

“Kepada semua anak perempuan, saya berpesan untuk tak tergiur kebahagiaan semu, iming-iming menikah mudah lebih baik. Karena, itu (kebahagiaan) tidak ada,”  ujarnya.

Sejak menikah hingga sekarang Dedek harus bergulat dengan kehidupannya. Untuk menyambung hidup ia bekerja sebagai buruh cuci dan menggosok baju di kawasan Pelabuhan Ratu.

Tak ingin mengulang pengalaman pahit menikahkan anaknya di usia anak, Inar berjuang menyekolahkan anak dengan suami dari perkawinan keduanya yang bernama Asih. Inar bercerita, menyekolahkan Asih hingga ke jenjang SMA membutuhkan perjuangan ‘berdarah-darah’. Saat Asih lulus SD dan mengutarakan keinginannya melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, Inar tak menyanggupi. 

“Uang dari mana? Untuk makan saja sulit apalagi untuk sekolah,” kata Inar mengenang ucapannya kepada Asih kala itu.

Saat itu Asih keukeh. Ia tetap memaksakan akan berangkat ke sekolah bagaimana pun caranya. Akhirnya dengan derai air mata Inar menahan malu menemui guru Asih untuk meminjam uang sebesar Rp. 500 ribu untuk biaya sekolah. Dengan berbagai kesulitan keuangan yang sering ia hadapi, karena penghasilan tidak tetap suami sebagai kuli bangunan, akhirnya Asih bisa menamatkan SMP.

Babak baru kembali dimulai saat Asih memaksakan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Saat duduk di bangku SMP, Asih aktif mengikuti program Posyandu remaja dan aktif mengikuti program kampanye pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, pencegahan perkawinan anak yang diselenggarakan Plan Internasional, Rutgers World Population Fondation ( Rutgers WPF) Indonesia bermitra dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Sukabumi dan beberapa lembaga lainnya dalam program “Yes I Do”.

Pendidikan dan kampanye program  yang sering Asih ikuti menjadikannya orang yang punya wawasan baru dan memahami banyak hal. Diantaranya memahami tentang Undang-undang Perlindungan Anak, soal batas usia maksimal perempuan diperbolehkan menikah, dampak dan bahaya perkawinan anak, pentingnya mengetahui kesehatan reproduksi dan seksual, dan pentingnya mempunyai mimpi dan cita-cita. Perempuan yang memiliki cita-cita menjadi dosen ini kini dipercaya teman-teman seusianya yang berjumlah sekitar 30 anak sebagai Ketua Posyandu Remaja Kampung Cikukulu, Desa Cisolok, Pelabuhan ratu, Sukabumi.

“Kendala yang selalu saya hadapi adalah kondisi ekonomi. Kemiskinan,” ujarnya sambil mengusap air mata.

Asih percaya, selama ada kemauan pasti akan selalu ada jalan. Ibunya, Inar, yang duduk dan mendengarkan kata-kata Asih menangis terbata-bata. Inar mengaku haru dengan perjuangan dan kegigihan anaknya. Berkat buah kerja kerasnya menjadi aktivis Posrem, Ketua Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Desa Cisolok yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Sekolah Kecamatan Cisolok, Duding (58) kemudian membantu Asih masuk ke jenjang SMA. 

Menurut Duding, pendidikan menjadi faktor kunci keberhasilan kampanye pencegahan perkawinan anak dan menjadi solusi masalah di negeri ini. Untuk itu, dia menjadi orang yang paling getol mendatangi keluarga yang tidak menyekolahkan anak-anaknya karena alasan ekonomi. Serta menjadi sosok yang paling rajin menyemangati anak-anak untuk sekolah.

“Kalau mau masyarakat kita keluar dari kemiskinan, mempunyai sumber daya manusia yang unggul ya anak-anak harus sekolah,” ujarnya kepada saya

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka prevalensi perkawinan anak 1 dari 9 atau sekitar 11,21 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Indonesia menjadi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedelapan di dunia. Dalam konteks ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan perkawinan anak tertinggi  kedua setelah Kamboja.

Perkawinan anak memberikan dampak buruk terhadap kehidupan anak dan keluarganya. Berdasarkan hasil penelitian Djamilah dan Kartikawati (2014), Rutgers WPF Indonesia (2016), BPS (2019) perkawinan anak tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga terdapat dampak sosial, psikologis, dan kesehatan yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, salah satu dampak perkawinan anak tidak hanya terhadap kesehatan reproduksi, yakni anak perempuan yang kawin pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan berisiko tinggi dan ancaman kematian anak dan ibu saat melahirkan. Tetapi, dampak berat lainnya adalah anak terancam kesehatan mentalnya, mengalami stres ketika meninggalkan keluarganya, harus  bertanggung jawab atas keluarganya sendiri, dan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Selain menjadi ancaman serius bagi masa depan anak perkawinan anak juga menghambat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs) yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur dan menghambat tujuan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) yakni mewujudkan sumber daya manusia unggul yang meletakkan kesetaraan gender sebagai prioritas dalam pembangunan nasional.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Kustiah

Mantan jurnalis detik.com, saat ini menjadi kontributor konde.co dan sedang menempuh studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!