Ini bukan cerita baru lagi, jika janda kerap dianggap sebagai momok di masyarakat, kondisi ini sudah terjadi dimana-mana dari zaman dulu hingga kini. Padahal, mana ada perempuan yang mau menjadi janda? Mau ditinggal mati suami atau ditinggal pisah, menjadi janda itu tetap bukan pilihan yang enak.
Seorang perempuan janda mengatakan, bahwa kondisinya menjadi rumit ketika banyak yang kemudian mengawasi perilakunya setelah menjadi janda. Padahal ketika ia bersuami, ia tak merasa diawasi, namun ketika menjadi janda, malah sering diawasi dan dijadikan bahan pergunjingan, seperti apa yang dilakukannya, apa yang sedang dipakainya
Bentuk pengawasan dan pergunjingan ini menambah stigma janda di masyarakat yang selalu negatif, seperti janda dianggap kurang pemberdayaan, suka menggoda laki-laki beristri, perempuan nakal, dan masih banyak lainnya.
Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah janda itu berarti perempuan yang tak bersuami lagi atau ditinggal mati oleh suami atau pasangnnya, ini jelas merupakan sebutan yang netral. Namun dalam kehidupan sehari-hari, janda dianggap bukan manusia yang umum, karena semua orang seperti mensyaratkan bahwa semua harus berpasangan, maka kemudian disematkankanlah istilah yang melakukan stereotype seperti janda gatel, pelakor, janda centil yang membuat posisi janda menjadi sangat terpojok. Padahal kita tahu, menjadi janda, bukanlah pilihan yang mudah bagi perempuan.
Namun ini berbanding terbalik dengan status laki-laki yang menduda yang bernilai positif. Ini karena dominasi laki-laki yang selalu lebih berkuasa atas semua peran yang dianggap penting dalam masyarakat yang selalu memenangkan laki-laki. Sehingga perempuan janda posisinya terjepit, menjadi obyek dan bukan subyek
Belum lagi jika menjadi janda yang sudah mempunyai anak, maka ia akan mendapatkan beban ganda yang sangat berat. Beban ganda atau biasa disebut double burden ini adalah beban pekerjaan yang tidak sama dengan laki-laki. Beban ganda seringkali menimbulkan kerentanan dan ketidakadilan bagi perempuan, terutama pada janda yang miskin.
Beban ganda ini tak hanya berujud fisik bahwa ia bekerja di wilayah publik dan di domestik, namun juga ketika ia dianggap tidak mampu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Jika stigma ini yang terus berkembang, maka habislah hidup menjadi janda. Sudah tidak diakui keberadaannya, masih mendapat stigma sebagai orang yang tak becus mengurus rumah, tak bisa mengurus anak. Bebannya sebagai janda akan semakin besar. Padahal seorang janda harus keluar terlebih dahulu dari kemelut perkawinannya, menata hidupnya kembali. Jika stigma ini yang selalu disematkan pada janda dan jika banyak yang susah menerima keberadaannya sebagai janda, maka tamatlah hidupnya.
Tika Adriana dalam www.konde.co pernah menuliskan, Lyn Parker dan Helen Creese, dalam makalah berjudul “The Stigmatisation of Widows and Divorcees (Janda) in Indonesian Society” mengatakan bahwa stigma yang disematkan kepada janda membuat kehidupan pasca perceraian menjadi sulit karena pengucilan oleh lingkungan sosial.
“Yang kita tahu, perempuan Indonesia saat ini, mereka yang tidak bahagia karena pernikahannya, takut keluar dari pernikahan karena stigma perceraian, atau bercerai tapi mereka tetapi merahasiakannya karena malu. Ini makin ditambah dengan buruknya representasi janda dalam sinetron kontemporer, lagu pop, dan film,” tulis Parker dan Helen.
Kesulitan yang dialami para janda merupakan bentuk diskriminasi struktural pada perempuan, kondisi ini yang tak terjadi pada laki-laki. Laki-laki seringkali bebas dari kesalahan akibat kehancuran rumah tangga. Parker dan Helen menjelaskan dalam makalahnya, perempuan di Indonesia selama ini juga sering diharuskan terikat dengan laki-laki. Masalah ini menjadi salah satu penyebab dari stigma yang melekat pada janda.
Selain itu, lingkungan sosial kita saat ini, masih mewajibkan perempuan sebagai pihak yang menurut, penyayang, dan teladan kebaikan. Mereka yang dianggap melenceng akan dihujani oleh stigma dari lingkungan sosial kita. Akibat dari stigma ini lah sejumlah perempuan berada dalam relasi beracun dan harus memilih untuk bertahan, padahal mungkin ini bukan situasi yang mereka inginkan.
Akhirnya karena stereotipe itu, para janda yang memilih pergi dan menjauh dari lingkungan terdahulunya harus mengalami situasi yang tak mudah. Mereka pergi untuk menata kehidupan mereka agar lebih baik secara ekonomi maupun mental sambil mencari lingkungan yang nyaman.
Sepertinya ini situasi yang harus diambil, daripada mempertahankan lingkungan yang dulu namun toksik
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)