Tahukah Kamu: Siapakah Pekerja Rumahan? Mereka Pembuat Baju Yang Diupah Murah

Tahukah kamu, siapakah pekerja rumahan? Mereka adalah pembuat baju, pembuat kaos dan sepatu merk-merk internasional yang gajinya jauh di bawah barang-barang yang dibuatnya

Apakah arti atau definisi pekerja rumahan? Siapa saja mereka, dan mengapa banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumahan?.

Pekerja rumahan adalah orang-orang yang bekerja di dalam rumah dan memperoleh upah. Beberapa pekerjaan yang mereka lakukan misalnya: membuat sandal, membuat baju, sepatu yang dilakukan di rumah-rumah. Biasanya mereka digaji harian oleh pengusaha atau majikan mereka.

Para pekerja rumahan ini hampir semua adalah perempuan. Mereka bekerja setiap hari dengan datang ke rumah majikan/ pemberi kerja.

Penelitian yang dilakukan Lembaga Semerlak Cerlang Nusa (SCN) di tahun 2018 menunjukkan problem yang dialami pekerja rumahan yaitu adanya eksploitasi yang terjadi pada mereka, selain digaji rendah dengan jam kerja yang tinggi, mereka juga tidak mendapat perlindungan dan jaminan sosial.

Selain upah dan kondisi kerja yang tidak layak, mereka juga rentan menjadi korban kekerasan karena dipandang tidak bekerja atau dianggap bukan pekerja, melainkan hanya mengisi waktu luang atau kalaupun bekerja dianggap hanya untuk tambahan penghasilan. Padahal banyak diantara mereka adalah pencari nafkah utama, bahkan sebagai single parent atau orang tua tunggal.

Hingga sekarang pemerintah belum memberikan regulasi terhadap para pekerja rumahan ini. Dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 misalnya tidak disebutkan klausul tentang pekerja rumahan, sehingga tidak ada perlindungan untuk mereka. Nasibnya hingga hari ini sama dengan Pekerja Rumah Tangga (PRT), yaitu sebagai pekerja informal, belum ada pengakuan sebagai pekerja formal yang dilindungi negara

Sebelumnya Trade Union Right Center (TURC), lembaga yang selama ini banyak melakukan advokasi terhadap pekerja rumahan, juga pernah melakukan penelitian yang sama pada beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya penelitian menunjukkan bahwa para pekerja rumahan digaji sangat rendah, jauh dari upah layak.

Penelitian TURC ini dulu dilakukan di Jakarta dan Cirebon pada bulan Juni 2015- Januari 2016 lalu. Sejumlah perempuan bekerja sebagai pembuat sandal dengan jam kerja 8-10 jam perharinya. Mereka hanya digaji Rp. 12.500 perhari. Jadi dalam waktu sebulan rata-rata mereka hanya mendapatkan upah Rp. 375 ribu.

Sedangkan di Penjaringan, Jakarta Utara para perempuan pekerja rumahan membuat kaos dan sepatu merk-merk internasional, namun mereka hanya mendapat upah Rp. 15 ribu – Rp. 37.500 perharinya. Upah ini tak sebanding dengan harga sepatu merk internasional yang seharga Rp. 400 ribu.

Sedangkan di desa Karangsari, Cirebon penelitian TURC menyebutkan, para perempuan pekerja rumahan bekerja untuk membuat kursi rotan ukuran kecil dan besar. Untuk ukuran kecil mereka dibayar Rp. 20 ribu per-satu kursi kecil dan untuk ukuran besar mereka diupah Rp. 70 ribu per-satu kursi rotan besar.

Ini merupakan bentuk eksploitasi yang terjadi pada pekerja rumahan, selain digaji rendah dengan jam kerja yang tinggi, mereka juga tidak ada perlindungan dan jaminan sosial.

Di Indonesia, munculnya pekerja rumahan dilatarbelakangi oleh meningkatnya arus globalisasi dan meningkatnya permintaan konsumen dari negara-negara maju. Hal inilah yang menyebabkan banyak investor asing mendirikan pabrik di Indonesia. Untuk menekan biaya pembayaran buruh-buruhnya, maka mereka kemudian memberikan modal untuk mendirikan usaha-usaha rumahan. Hal ini mereka lakukan agar bisa menekan biaya dibandingkan jika mereka harus menggaji para buruh yang kerja di pabrik mereka.

Dalam diskusi tentang pekerja rumahan yang pernah diadakan di tahun 2020 disebutkan, maka yang harus dilakukan adalah meminta para majikan atau pemberi kerja agar terbuka, melakukan transparansi, memberikan upah yang layak dan jaminan sosial. Sedangkan untuk pemerintah, harus memberikan regulasi terhadap para pekerja rumahan ini, regulasi ini bisa kebijakan secara nasional maupun peraturan-peraturan daerah

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!