Aktivis: Komisi Informasi Jateng Tak Serius Tangani KDRT Komisionernya

Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Provinsi Jawa Tengah menilai Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Tengah lamban dalam menangani aduan korban KDRT dengan pelaku SH, salah satu Komisioner KIP Jawa Tengah. Juru bicara JPPA, Nihayatul Mukaromah menyampaikan kekecewaannya terhadap penanganan yang dilakukan KIP.

Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah telah melaporkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT yang diduga dilakukan oleh salah satu Anggota Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah, SH terhadap istrinya

Pelaku diduga melakukan perselingkuhan dan melakukan aksi kekerasan terhadap istrinya pada Maret 2021 di depan kedua anaknya yang masih di bawah umur.

Para aktivis melihat hal ini merupakan tindakan yang tidak pantas dan tidak etis sekaligus melanggar hukum. Terlebih yang bersangkutan adalah Pejabat Publik yang masih aktif di lingkungan Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah.

Namun Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Provinsi Jawa Tengah menilai Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Tengah lamban dalam menangani aduan korban KDRT ini

Berdasarkan Pasal 15 ayat (4) Peraturan Komisi Informasi Nomor 3 Tahun 2016 yang mengatur tentang laporan pelanggaran kode etik tertulis bahwa “dalam hal laporan diterima atau ditolak, Komisi Informasi menyampaikan kepada Pelapor dan Terlapor paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkan.”

Padahal kata Niha, panggilan dari Nihayatul Mukaromah, korban telah melayangkan surat resmi kepada KIP sejak tanggal 8 April 2021. Korban mengalami KDRT dari suaminya, SH, yang merupakan Komisioner KIP Jawa Tengah periode 2018-2022. SH telah melakukan kekerasan yang berdampak pada fisik dan psikologis korban yakni luka di bagian wajah korban dan perselingkuhan oleh pelaku.

“Untuk jawaban secara resmi kita belum dapat. Menurut kami, seharusnya komisi informasi memberikan jawaban secara resmi juga, maksimal 5 hari itu mereka sudah kasih jawaban, malah mereka melakukan konferensi pers. Padahal jawaban adalah hak korban atas pengaduan yang disampaikan,” ujar Niha saat dihubungi Konde.co, Sabtu 17/4/2021).

Lambannya KIP Jawa Tengah dalam menangani kasus ini, kata Niha, menunjukkan bahwa lembaga tersebut tak belajar dari pengalaman yang pernah terjadi pada 2016 lalu.

“Sebelumnya di tahun 2016, KIP Jawa Tengah, waktu itu ketuanya bukan sekarang, pernah ada kasus yang sama, jadi ada pelaku di KIP ketahuan ada perselingkuhan, kemudian didamaikan hanya dengan surat pernyataan bahwa tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut,” ungkap Niha.

JPPA pun kecewa terhadap susunan majelis etik yang dibentuk oleh KIP. Dalam siaran pers KIP Jawa Tengah yang diterima Konde.co, ada tiga anggota majelis etik penanganan laporan KDRT tersebut yakni Prof. Dr. Sri Suhandjati Sukri (akademisi/,dosen UIN Walisongo), Drs. Eman Sulaiman, MH (tokoh masyarakat/MUI Jawa Tengah), dan Gede Narayana, SE, MSi (Ketua Komisi Informasi Pusat). Melihat susunan ini, JPPA mengaku pesimis bahwa akan ada keadilan yang berperspektif korban.

“Jika kita melihat susunan majelis etik, komposisi dua anggota majelis etik itu berlatar belakang tokoh agama. Ini kan kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi setelah kita menelusuri rekam jejak dari anggota majelis etik ini, perspektifnya terhadap kekerasan berbasis gender kurang baik,” tutur Niha.

Niha melihat, bentuk ketidakseriusan lain dari KIP Jawa Tengah terhadap penyelesaian kasus ini juga terlihat dari respons KIP terhadap laporan korban. Menurut Niha, KIP seperti tak mempercayai kronologi yang dipaparkan korban. KIP pun terlihat cenderung melindungi pelaku KDRT. Padahal yang dilakukan oleh SH tak hanya berdampak pada fisik dan psikologis dari korban saja, tapi juga terhadap anak mereka. Niha menuturkan bahwa pelaku kerap melakukan KDRT terhadap istrinya di depan anak mereka.

“Kalau kronologis yang disampaikan korban. korban itu dipukul, tapi anggapan dari sana, ini enggak dipukul, tapi tanpa sengaja. Dan yang kita sampaikan bahwa korban dipukul sampai luka, darah bercecer sampai baju, ini dianggapnya malah ‘paling enggak sampai seperti itu’,” ungkap Niha.

Melihat kejadian ini, JPPA menyerukan kepada Komisi Informasi baik di tingkat Jawa Tengah maupun Pusat untuk melakukan perbaikan kebijakan internal dan budaya kerja untuk menghentikan peristiwa serupa terjadi secara berulang. Sebab sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, terjadinya kasus ini menunjukkan bahwa KIP tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan zero tolerance untuk kekerasan terhadap perempuan di lembaga-lembaga negara.

Selain itu, JPPA juga meminta kepada Gubernur dan DPRD Jawa Tengah untuk memanggil dan mendorong Ketua dan Anggota Komisioner KIP Jateng agar mengambil langkah perbaikan internal, sehingga kejadian serupa tak terulang kembali.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!