Cuma Pembantu Yang Unskilled Job; Jebakan Retorika Usang Menghadang Pekerja Rumah Tangga

Jebakan retorika usang kembali menghadang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Rasanya sudah bosan mendengar jebakan yang mengatakan bahwa PRT adalah pekerja unskilled job, hanya rewang atau sekedar pembantu. Kita tidak perlu lagi kompromi melihat pemerintah dan DPR yang melihat PRT sebagai orang yang dekat di mata, namun nyatanya jauh di hati mereka.

Yuni adalah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Jakarta. Ia merasakan pekerjaannya semakin bertambah selama masa Pandemi. Sebelum pandemi ia hanya memasak satu kali sehari, kini ia harus memasak tiga kali sehari karena pemberi kerja serta anak-anaknya belajar dan bekerja dari rumah dan mereka butuh makanan yang selalu berganti-ganti.

Cucian piring juga tak kunjung selesai ia bereskan saking banyaknya. Jam 9 malam, biasanya Yuni telah beristirahat, namun karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, waktu istirahatnya juga berkurang. Yuni sebenarnya ingin pulang kampung untuk mengurus sekolah anaknya, tapi sudah lebih dari 5 bulan ia belum menerima upah. Pemberi kerjanya beralasan bahwa ekonomi sedang sulit semasa pandemi sehingga pembayaran gaji Yuni harus ditunda.

Cerita Yuni ini mewakili cerita jutaan PRT di Indonesia yang semakin memburuk pada masa pandemi. Survei Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada Desember 2020 menunjukkan setiap 6 dari 10 PRT yang didampingi Jala PRT melaporkan tidak menerima upah. Jala PRT juga mencatat, PRT rentan di-PHK sepihak tanpa upah dan pesangon, tidak menerima tunjangan hari raya (THR) dan menerima pemotongan upah.

Pada tanggal 23 Maret 2021, DPR dan Pemerintah kembali memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) yang telah mangkrak 17 tahun ke dalam Program Legislasi Nasional (ProLegNas) prioritas di 2021. Inisiatif ini memberi harapan segar kepada para PRT, namun kita perlu mewaspadai retorika salah kaprah yang masih dipegang oleh pembuat kebijakan yang mungkin digunakan sebagai pembenaran untuk kembali tidak mengesahkan RUU Perlindungan PRT.

Retorika Usang

Terdapat paling tidak dua retorika yang oleh masyarakat umum dianggap sebagai nilai kebudayaan Indonesia dan secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang dan sikap terhadap Pekerja Rumah Tangga.

Pertama,  kerja domestik seperti mengurus anak atau orangtua, memasak, mencuci piring, membersihkan rumah, serta berbagai pekerjaan rumah lainnya masih dianggap isu domestik, oleh karena itu tidak dipandang sebagai pekerjaan profesional atau dikenal juga dengan istilah Unpaid Work.

Perspektif ini dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat terhadap pembagian peran dan kerja domestik yang didasarkan pada kodrat biologis (biological destiny). Kerja domestik dianggap sebagai sebuah ‘unskilled job’ atau pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian – pandangan yang ditolak oleh para pemikir Feminis.

Dari kacamata Feminis, pemisahan antara ‘skilled job’ dan ‘unskilled job’ yang berlaku luas di masyarakat mencerminkan sebuah proses politik yang didasari oleh asumsi-asumsi yang sudah ada sebelumnya. Asumsi ini mengesampingkan fakta bahwa pekerjaan domestik, terlebih merawat anak atau anggota keluarga, membutuhkan bukan saja kekuatan fisik, namun juga kerja mental, keterampilan (termasuk penguasaan teknologi), perencanaan, organisasi, kreativitas, dan juga perhatian terhadap detail – sebuah interaksi yang kompleks (De Vault, 1991).

Temuan riset dari SMERU (2016) memperkuat asumsi ini. Di Indonesia, Unpaid work khususnya yang berhubungan dengan perawatan masih lekat dengan anggapan bahwa: ini merupakan ranah domestik; lalu terkait erat dengan pembagian kerja berdasarkan gender, yang terutama menjadi tanggung jawab perempuan; tidak ada definisi yang jelas terkait Unpaid Work, dan belum adanya upaya-upaya yang pasti untuk lebih menghargai unpaid work. Anggapan ini membuat negara seperti enggan membahas isu perlindungan PRT, RUU PPRT pun mangkrak selama 17 tahun.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena badan PBB untuk penelitian dan pembangunan sosial atau UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development) menyatakan bahwa  jika tidak memperhitungkan Unpaid Work dalam perhitungan ekonomi akan mempengaruhi kesejahteraan atau kemajuan ekonomi suatu negara (Budlender,2008). Lebih lanjut, pengakuan Unpaid Work secara internasional juga tercantum dalam salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang telah disepakati oleh lebih dari 193 negara, termasuk Indonesia.  Pengakuan dan penghargaan terhadap keberadaan Unpaid Work dan pekerjaan rumah tangga tercantum dalam Tujuan 5 tentang kesetaraan gender khususnya pada Target 5.4.

Kedua, mengesahkan RUU PPRT akan menghilangkan budaya gotong royong merupakan sesat pikir. Pemikiran ini tercermin dari berbagai komentar pembuat kebijakan. Salah satu komentar tersebut dilontarkan oleh seorang petinggi Partai Golkar, Firman Soebagyo. Dalam pernyataannya, Ia mengatakan bahwa penolakan RUU PPRT didasarkan argumentasi kuat bahwa pekerja rumah tangga di Indonesia masih menganut budaya kekerabatan atau gotong royong.

Nilai budaya dan eksploitasi pekerja

Pandangan seperti ini berpotensi meniadakan kemungkinan terjadinya kekerasan dan ketidakadilan di ruang kerja. Penggunaan konsep budaya untuk menakar relasi antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga, pemenuhan hak-hak dan perlindungan terhadap mereka justru berpotensi menciptakan sebuah ‘kekerasan struktural’ yang menempatkan pekerja rumah tangga sebagai kelompok rentan yang tidak terlindungi. Mengapa?

Pertama, dari perspektif kultural, gotong royong berakar pada konsep kerelawanan dan tolong menolong yang didasari oleh kesadaran untuk mencapai kesejahteraan kolektif. Seperti misalnya tetangga yang saling menolong pada saat terjadi bencana alam; atau gotong-royong untuk memperbaiki jalan di sebuah daerah pemukiman. Kata kuncinya adalah sukarela – artinya, tidak ada keharusan untuk berpartisipasi atau melakukan aktivitas yang diharapkan, dan kalaupun dilakukan tidak selalu ada imbalan yang bersifat ‘mengikat.’ Posisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya setara (egaliter) dan relasi antar pihak yang terlibat bersifat informal (Sullivan, 1987; Asmussen, 2004). Dalam masyarakat Jawa, konsep tolong menolong tercermin dalam kata ‘rewang’ (kata dalam bahasa Jawa yang artinya ‘penolong’ atau ‘pembantu’ – dari kata ngrewangi, membantu/menolong). Meski demikian, jika dikaji lebih dalam hubungan yang terjalin dalam praktik rewang bersifat asimetris. Artinya, mereka yang mengundang tetangga atau masyarakat untuk rewang memiliki posisi yang superior, meski sifatnya sementara (Sullivan, 1987; Strathern, 1988).  Hal ini menunjukkan bahwa rewang yang bersifat gotong royong memiliki potensi relasi yang tidak setara – karena unpaid work yang masih dianggap pekerjaan “kelas dua.”

Kedua, gotong-royong selama ini selalu dipandang sebagai warisan budaya yang mencerminkan identitas Indonesia, namun dalam kajian kritisnya, Agus Suwignyo (2019) memaparkan bahwa konsep gotong royong merupakan wujud ‘tanggung jawab’ warga negara untuk menciptakan tatanan sosial yang harmonis. Retorika tentang ‘harmoni’ ini terkait dengan pandangan masyarakat dan pengambil kebijakan terhadap rumah yang selama ini kerap dianggap sebagai ruang domestik dan bukan ruang publik. Pandangan ini berkembang pesat sejak dunia memasuki fase industrialisasi dimana pekerjaan yang utama untuk menopang perekonomian negara berlokasi di ruang publik, yang adalah di luar rumah, sementara pekerjaan domestik (yang berlokasi di dalam rumah) dianggap sebagai pekerjaan kelas dua. Pekerja rumah tangga – yang tempat atau lokasi kerjanya berada di ruang domestik – tidak dianggap sebagai pekerja layaknya mereka yang melakukan pekerjaan di ruang publik. Di Indonesia hal ini tercermin dari penggunaan istilah yang umum di masyarakat seperti pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga. Penyebutan ini bertentangan dengan istilah dalam bahasa Inggris ‘domestic worker’ yang jika diterjemahkan secara utuh berarti pekerja (worker) rumah tangga, bukan pembantu ataupun asisten.

Memasukkan rumah sebagai bagian dari lingkungan kerja ditakutkan akan menggoyahkan harmoni. Namun di sisi lain, pandangan baru ini akan memperluas dan memperbarui cara pandang serta pemahaman kita tentang “tempat kerja”. Seperti halnya pekerja-pekerja yang bekerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19, rumah pun merupakan tempat kerja bagi para pekerja rumah tangga. Konsep budaya ‘gotong royong’ atau ‘rewang’ mengaburkan batas antara tempat kerja dan rumah (yang juga sebagai tempat kerja), dan akan mendatangkan berbagai konsekuensi bagi para pekerja rumah tangga – termasuk tidak adanya perlindungan terhadap pekerja maupun pemenuhan hak-hak pekerja.

RUU PPRT adalah upaya penting untuk mengakui ‘rumah’ sebagai tempat kerja dan pekerja rumah tangga sebagai ‘pekerja’ bukan pembantu.  Dengan demikian, harus jelas aturan tentang perlindungan kerja dan pemenuhan hak-hak pekerja. Perlindungan ini akan mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan jelas. Seperti yang sudah banyak disebutkan dalam beberapa penelitian, tanpa aturan yang jelas perlindungan pekerja rumah tangga sangat tergantung pada kebijaksanaan pemberi kerja. Situasi ini membuat pekerja rumah tangga rentan eksploitasi..

DPR dan Pemerintah perlu serius untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga, jangan lagi melihat PRT hanya dekat di mata, namun jauh di hati. Karena saat ini menurut data ILO lebih dari 4,2 juta PRT Indonesia dimana 84%nya adalah perempuan yang membutuhkan perlindungan negara lewat pengesahan RUU PRT salah satunya dan jangan biarkan retorika-retorika usang yang salah kaprah menghalangi pengesahan itu terjadi

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Dyah Pitaloka dan Frenia Nababan

Dyah Pitaloka, Senior Lecturer Communications and Media Studies, Monash University Malaysia dan Frenia Nababan, Dosen Komunikasi di Universitas Mercubuana dan Peneliti di Dialoka. Kedua penulis tengah melakukan penelitian “Wellbeing in a time of social distancing: Indonesian Domestic Workers in Singapore and Hong Kong”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!