Pekerja: Pilih Resign Dari Kantor Untuk Pulihkan Kesehatan Mental

Capek bekerja itu sesuatu yang manusiawi. Apa yang kamu lakukan dalam kondisi ini? Saya memilih resign atau keluar dari pekerjaan dan enjoy my life, walaupun saya harus menerima konsekuensi tak punya uang alias bokek, tapi saya bisa menenangkan diri sehabis mengalami masa-masa tak menyenangkan ketika bekerja

Selama ini, saya selalu bekerja menurut passion atau pilihan saya, hal-hal yang mungkin tak bisa orang lain dapatkan, tapi saya mendapatkannnya, karena bekerja sesuai dengan passion kita itu sangat mahal harganya.

Saya bekerja disana kurang lebih 4 tahun sejak sebelum saya wisuda kuliah. Passion saya adalah berkecimpung di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dua isu yang saya geluti disana yaitu soal keberagaman gender dan HIV. Ya, saya tidak memperdulikan dari jurusan apa saya lulus, karena jauh sekali dari isu ini. Dengan bergelarkan sarjana sains,  tapi ternyata saya lebih suka bidang sosial.

Awalnya memang cita-cita saya ingin masuk ilmu komunikasi, tapi semesta menakdirkan saya belajar fisika selama 5 tahun, dan malah kerja di LSM setelah itu

Dinamika LSM begitu dahsyat, seru sekali. Saya bisa kenal orang-orang hebat dengan berbagai cerita hidupnya, walaupun ternyata tak semua seperti yang saya bayangkan. Ada sebuah titik dimana saya merasa tidak nyaman, merasa kurang dihargai. Tapi ini justru menjadi awal saya bisa berkenalan dengan perempuan hebat yang berprofesi sebagai psikolog, yang sekarang dia menjadi teman baik saya.

Dari situ, saya belajar soal mental health issue sampa sekarang. Ya, namanya juga manusia,  kalau tidak bersinggungan langsung, ya tidak akan belajar. Disitulah saya kemudian belajar banyak soal isu kesehatan mental

Walaupun di tahun keempat saya tidak lagi cocok dengan pemikiran orang-orang di sekitar saya, namun saya masih bisa meng-handle dan bertahan karena semakin hari tempat itu mengajarkan saya untuk makin belajar soal mental health. Saya juga belajar isu ini dari diskusi dan dari channel YouTube, sesekali dari buku bacaan, dan tentu pengalaman sehari-hari

Dari sini saya bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang tengah saya hadapi di tempat kerja. Tidak untuk menyalahkan mereka, cuma ya, kami mungkin memang beda visi saja. Saya visinya kesana, sedangkan banyak teman lain ke arah yang berbeda. Tapi namanya juga bersosialisasi, pasti tetap ada dinamika.

Di perjalanan selama 4 tahun ini, saya juga menciptakan komunitas anak muda di kota tempat tinggal saya, Surabaya karena saya punya cita-cita untuk melahirkan aktivis muda yang bisa mewakili kota Surabaya

Di dalam komunitas kecil ini yang umurnya masih 2 tahun juga ada dinamika. Contohnya, ketika kami berselisih paham. Setiap manusia punya pemikiran masing – masing, bayangkan saja bagamaina banyak anak muda dikumpulkan menjadi satu. Baru saja terpilih ketua untuk periode 1. Dari dulu di benak saya, harus ada nama anak muda baru yang bisa mengepakkan sayapnya, kalau bisa lebih dari saya. Saya sedikit tahu sejarah Surabaya, ya banyak anak muda sejak dulu di masa perjuangan yang harus ada di tempat ini. Namun perjuangan ini memang tak mudah, sering naik turun dan kadang tidak satu visi. Perdebatan soal pemilihan ketua dan beberapa hal lain di organisasi kadang membuat saya capek.

Pada akhirnya, saya menyerah dan keluar dari LSM tempat saya bekerja. Saya kemudian mencoba masuk ke dunia korporat, iseng – iseng saya bekerja disana, namun ternyata saya salah tempat. Saya gak happy, gak bisa enjoy my life, walaupun saya butuh uang.

Hanya dua bulan saja saya menjadi budak korporat. Tapi tidak apa-apa, semesta menempa saya biar saya bisa semakin menyelami diri saya.

Alhasil, saya bisa menyimpulkan jika kamu senang dengan sesuatu, kerjakan. Tapi jika tidak, tinggalkan. Saya mengutip pernyataan Marissa Anita di channel Merry Riana, “One day I’ll die, enjoy my life now”. Ya, uang bisa membeli segalanya, tapi ketenangan jauh lebih dari nikmatnya uang.

Tidak tahu mengapa, saya sering mendapatkan kata – kata mutiara dari spirit guide saya yang membuat saya semakin cinta pada diri saya. Terakhir adalah ketika saya khawatir tidak akan mendapatkan kerja lagi setelah saya resign dari kantor korporat tersebut.

Saya seperti kehilangan diri saya yang memahami mental health dan tentunya self love. Tiba-tiba saya mendengar spirit guide saya yang bilang soal, “apresiasi diri.”

Dari situ, saya mencoba meresapi apa makna dua kata itu. Lagi dan lagi, saya menyelami diri saya dengan ngobrol dengan diri saya sendiri.

Saya mencoba flashback dengan kondisi saya 5 tahun sebelumnya. Wow, sekeren ini saya melangkah. Secapek ini saya bekerja. Saatnya saya berpikir untuk mengapresiasi diri, termasuk mengapresiasi tubuh dan pikiran saya.

Saya menganggap waktu kosong tanpa pekerjaan yang dibayar ini adalah istirahat bagi saya. Baru kemudian saya memahami bahwa istirahat adalah salah satu bentuk apresiasi diri. Kembali untuk meditasi, melakukan travelling sampai tulisan ini selesai saya tulis.

Mungkin begitulah dinamika orang bekerja, ketika saya capek bekerja, maka ketenanganlah yang dibutuhkan. Punya duit atau tidak, itu soal nanti saja. Saya tidak mau terbebani dalam waktu dekat ini

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Muhammad Rizky

Pegiat Keberagaman, Tinggal di Surabaya
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!