Mama Tak Bisa ke Hutan, Riset: Tersingkirnya Perempuan Papua dari Hutannya

Hutan di Papua sudah beralih tangan dan beralih fungsi. Riset yang dilakukan Rasella Malinda bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkap tentang hutan di Papua yang telah menyingkirkan mama-mama dan perempuan disana

“Awas ya, kalau menolak,” Rika Ampera, salah satu aktivis dan perempuan pembela HAM di Papua menerima ancaman jika ia melawan.

Perusahaan datang, lengkap dengan izin pemerintah yang telah mereka bawa, lalu hutan yang selama ini dikelola para mama dan perempuan Papua puluhan tahun, diambil dengan dalih “dipinjam” untuk sementara waktu, namun tanah itu tak kembali lagi.

Cuplikan penyataan ini merupakan bagian dari peluncuran hasil riset “Mama ke Hutan: Perempuan Papua dalam Kecamuk Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 12 April 2021 melalui daring

Para perempuan Papua menyatakan, “padahal hutan tidak boleh ditebang, hutan tak boleh dihabiskan, nanti kita tak bisa makan sagu.”

Hutan di Papua sudah beralih tangan dan beralih fungsi, Tigor Hutapea, salah satu peneliti riset ini mengatakan, ada banyak pembalakan terjadi disana, tanah Papua sejengkalpun tak ada yang kosong, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan perijinan untuk korporasi dan ditakutkan ada bencana ketika tidak ada sumber daya alam di Papua. Korporasi dan negara ini kemudian mengorbankan perempuan.

“Padahal selama ini, perempuan hidup dari sumber daya alam ini, mendapatkan pangan, obat dari hutan yang mereka pelihara tiap hari,” kata Tigor Hutapea

Riset ini merupakan proses laporan empirik perempuan Papua yang dilakukan Rasella Malinda bersama tim peneliti dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Selama ini, ada 1,5 juta hektar lahan dalam 20 tahun yang telah berpindah pengelolaan, salah satunya sawit yang cukup masif. Persoalan lain ada omnibus law untuk percepatan industri, energi terbarukan dan otonomi khusus Papua yang juga mengancam perempuan. Sedangkan pengakuan untuk masyarakat adat ada, namun setengah hati.

“Ada perempuan adat yang tak mendapatkan pengakuan atas hak tanah ini, karena tanah diyakini sebagai milik laki-laki. Perempuan tak dilibatkan dalam keputusan atas perjanjian hutan karena hanya punya hak kelola, tapi bukan hak memiliki,” kata Rasella Malinda

Dalam riset yang dilakukan di tahun 2020 juga terungkap tentang wajah akuisisi lahan yang tidak demokratis, ada ancaman, kekerasan terhadap perempuan dan para pembela HAM

“Mereka mengatakan, tanah ini kami pinjam pakai selama 30 tahun, padahal jika sudah ada Hak Guna Usaha atau HGU negara, maka akan dikembalikan, namun nyatanya tidak.”

Mempertahakan Lahan Bukan Perkara Mudah

Mempertahankan lahan, tentu bukan perkara mudah di Papua. Perempuan pembela HAM mengalami ancaman pembunuhan, ancaman verbal dan fisk, mekanisme tidak adil dan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan.

Padahal bagi perempuan, hutan adalah ruang hidup bagi perempuan, ada obat-obatan, tanaman untuk dimakan, situs kerja produktif dan reproduktif untuk perempuan. Hutan juga tempat healing terbaik bagi perempuan

Sejarah tentang hutan dan perempuan ini telah berubah ketika perempuan tak bisa lagi mengelola hutan. Sejak ada perusahaan yang masuk kesana, fungsi perempuan berpindah dari peramu menjadi buruh upahan. Jadi ketika hutannya diambil, maka ini dengan sendirinya menyingkirkan perempuan, mereka terlempar sebagai buruh upahan, rentan ancaman kekerasan seksual.

Pendeta Magda Kafiar dari Papua Women Working Group mengungkap, ini menunjukkan pola perubahan hidup perempuan Papua yaitu dari peramu menjadi buruh upahan. Negara menggunakan militer untuk mempermudah proses penguasaan perusahaan yang sudah dimulai sejak sejarah Papua ketika ada pihak yang datang ingin menguasai Papua

“Penaklukan atas perempuan dan alam ini kemudian dilegitimasi oleh banyak pihak.”

Tieneke Rieke Atmo, seorang akademisi Papua menyatakan bahwa seharusnya pengakuan diberikan pada perempuan yang selama ini memiliki kearifan dan  pengetahuan dalam memelihara hutan sebagaimana perjuangan indigenious feminis, yaitu memelihara dan kemudian memanfaatkannya

“Sejarah dulu pada masyarakat, perempuan diposisikan sebagai ahli dan memproduksi pengetahuan di dalam hutan karena mereka dianggap orang yang paling tahu, jika dikonversi, betapa kerja kerasnya perempuan selama ini.”

Atnike Sigiro, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan menyatakan jika ada yang menganggap perempuan terlalu romantik, terlalu banyak bicara soal personal seperti yang dilakukan oleh mama-mama Papua untuk mempertahankan hutannya, ini justru merupakan serangan terhadap perjuangan nyata yang dilakukan mama dan perempuan disana.

“Perempuan dianggap tidak mengerjakan pekerjaan ekonomis, padahal peran perempuan itu kunci. Lalu bagaimana kebertahanan perempuan selanjutnya? Mengapa perempuan tidak ada disini? Ini yang harus ditanya.”

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan, selama ini, kondisi inilah yang selalu terjadi di Papua. Perempuan posisinya berada di pusaran kepentingan. Di tahun 2016-2019 ada 20 pengaduan kasus penguasaan lahan yang merugikan perempuan yang diterima Komnas Perempuan, dan di tahun 2020 juga ada banyak sekali pengaduan yang sama. Hal ini dikarenakan, paket pembangunan yang bertumpu pada kebijakan luar negeri seperti kebijakan WTO, IMF dan kebijakan yang mendorong liberalisasi sumber daya alam yang banyak mengorbankan perempuan.

“Dan inilah yang kemudian mendorong kriminalisasi, pelecehan perempuan, perempuan sebagai alat komoditi, pengabaian peran perempuan, kesehatan reproduksi perempuan yang bermasalah, terjadinya kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perempuan pembela HAM.”

Budaya patriarki yang kuat juga menambah kerentanan ini, belum ada perhatian khusus dan layanan publik yang sulit diakses

“Saya ke Papua tahun lalu dan semua ini masih sulit untuk diakses dan diselesaikan. Minimnya dialog, lalu yang terjadi adalah rasisme dan stigmatisasi.”

Dalam kebijakan, Komnas Perempuan akan memperjuangkan bahwa dalam Cedaw atau konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan seharusnya tak boleh ada diskriminasi. Namun di perkebunan sawit misalnya, para buruh perempuan masih mendapatkan upah murah, jam kerja panjang, tanpa perlindungan, kekerasan seksual, pestisida yang berbahaya yang banyak menyerang pekerja perempuan sawit.

Komnas Perempuan akan memperjuangkan kebijakan afirmasi partisipasi politik perempuan, upaya perlindungan pada perempuan dan pembela HAM, juga memperkuat mekanisme perlindungan perempuan

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!