Mengapa Kriteria Cantik Itu Menyesatkan dan Memecah-Belah Perempuan

Kriteria yang menyatakan bahwa perempuan harus cantik sepertinya sudah jadi kebutuhan bagi masyarakat sejak industri membombardir dan menuntutnya. Seperti saat ini ada operasi wajah, suntik kolagen, cukur alis untuk memenuhi wajah cantik menurut industri, padahal ini semua ujung-ujungnya hanya akan memecah-belah perempuan

Teman-teman perempuan saya seperti sedang berlomba untuk mencukur alis gaya artis ketika semua orang bilang bahwa cukur alis yang satu ini sedang trend. Kemudian ada juga yang mencoba pemutih kulit karena perempuan dianggap lebih cantik jika ia berkulit putih. Ada juga yang suntik kolagen di kedua payudaranya dan pinggulnya untuk memuaskan omongan orang lain yang menyatakan bahwa perempuan itu harus berdada besar dan berpinggul besar.

Permintaan masyarakat sudah seperti permintaan pasar sejak industri memberi tahu bahwa kebutuhan perempuan akan tubuh dan wajah yang cantik itu penting. Sejak itulah pemecah-belahan perempuan mulai dilakukan industri, yang cantik adalah yang putih dan berambut lurus, dan yang buruk adalah yang hitam dan keriting. Cantik akan laku, dan yang buruk tak akan laku. Ini seperti sihir yang selalu mencoba membius perempuan

Saya memiliki teman dari Papua yang menceritakan bagaimana mereka diperlakukan secara rasis oleh masyarakat non Papua hanya karena kulit mereka yang hitam. Salah satu dari mereka bahkan bercerita dengan ekspresi sedih bahwa ia dijauhi teman-temannya hanya karena ia berkulit gelap seperti ras Papua lainnya. Saya sangat sedih mendengarnya, saya menyemangatinya agar ia tak putus asa dan memberikan suntikan kepercayaan bahwa semua perempuan itu harusnya dihormati secara apa adanya

Walaupun penilaian cantik ini selalu berubah di sepanjang zaman, namun ujung-ujungnya kriteria-kriteria cantik ini hanya membuat perempuan selalu resah dengan hidupnya.

Dulu kita pernah mengalami persepsi yang mengatakan bahwa yang cantik adalah yang berpinggul besar dengan berat badan berisi. Sekarang kita harus mempercayai wajah cantik adalah kurus, tinggi, rambut panjang, alis tebal, bibir seksi, payudara berisi.

Dari perspektif feminis, pengkategorian ini kemudian kita kenal sebagai upaya memecah belah perempuan yang cantik versus yang tidak cantik karena kemudian banyak yang mempercayainya sebagai sebuah kebenaran tentang makna cantik bagi perempuan.

Sejak itulah perempuan seperti diajak berlomba-lomba untuk mendapatkan kriteria cantik yang distandarisasi oleh beberapa media, iklan di televisi, majalah perempuan, juga produk produk kecantikan.

Agaknya ini akan menjadi diskusi yang menarik karena sepertinya banyak orang akan punya anggapan: bagaimana mungkin orang mengerti apa isi hati kamu jika penampilan luarmu saja tidak menarik?. Semua penilaian jadinya hanya melulu pada penampilan fisik di luaran, yang kelihatan

Seperti yang kita ketahui banyak orang yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk visual, manusia akan menangkap objek keindahan dari matanya dan visual itu dijadikan standarisasi kecantikan. Dan inilah yang kemudian dicoba dimanfaatkan industri

Saya mengamati apa yang terjadi di salon-salon kecantikan. Salon kemudian memoles kriteria cantik yang bisa dijual sehingga kita semua bisa mirip dengan putri, artis sinetron, dan model majalah. Ada layanan produk pemutih kulit, lalu produk perawatan rambut yang meluruskan secara permanen (rebonding) juga pencangkokan rambut secara instan (hair extension), banyak yang mengatakan, mereka dengan tampilan rambut panjang, kulit putih dapat membuat mereka sebagai perempuan lebih percaya diri.

Sejarah cantik di Indonesia dan diskriminasi yang terjadi

Melihat kisah diskriminasi cantik dari teman Papua di atas menjadikan saya membuka kembali definisi cantik, apa yang terlewatkan dari kata cantik itu?. Saya menjadi bertanya pada diriku sendiri apakah perempuan gemuk, perempuan dengan kebutuhan khusus, perempuan kulit hitam punya posisi cantiknya sendiri, atau apakah ada hierarki atas cantik?

Sejarah cantik sendiri di  Indonesia cukup panjang. Pada era Pemerintahan Presiden Soekarno, cantik didefinisikan dengan kulit putih cemerlang, ini bisa dibuktikan di majalah-majalah perempuan tempo dulu yang banyak memasang wajah-wajah perempuan Belanda. Walaupun mengakui perjuangan perempuan feminis dan banyak munculnya tokoh pergerakan perempuan di Indonesia kala itu itu, namun sudah ada kriteria cantik yang muncul menurut ukuran Indonesia pada zaman itu, yaitu cantik dengan ukuran tubuh dan kulit perempuan bangsa Belanda.

Bergeser ke beberapa tahun kemudian, kecantikan mulai dilabelkan pada perempuan Indonesia yang memiliki kulit putih yang indah, kecantikan perempuan di Jawa mulai disorot ketika produk kecantikan lokal mulai muncul

Begitu definisi cantik masuk di pusaran industri, semuanya berlomba-lomba untuk menjadi cantik menurut selera pasar. Ajang kontes kecantikan Indonesia juga menerapkan standar tinggi yang semampai dengan pinggul yang bagus.

Ketika industri mulai masif memproduksi produk kecantikan, banyak perempuan yang mengeluhkan lipatan-lipatan kulitnya, kakinya yang pendek dan kulitnya yang hitam.

Kemudian setelah itu ada pergereseran dalam menilai kemampuan perempuan secara intelektual agar terlihat seperti jargon kecantikan beauty, brain & behaviour yang mengutamakan kecantikan disertai kepintaran dan sikap, namun tetap dengan kriteria cantik yang tak berubah

Kenapa cantik dikotak-kotakkan? Padahal cantik tak boleh dikotak-kotakkan, juga oleh kriteria brain, beauty, behavior yang justru menyesatkan perempuan karena banyaknya kriteria yang harus dipenuhi, padahal penghargaan pada perempuan bukan pada wajah dan tubuh yang tampak, namun penghargaan pada kemanusiaan

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!