Penulis dan Feminis Julia Suryakusuma Dapatkan penghargaan “Order The Crown” Dari Belgia

Penulis, kolumnis dan feminis, Julia Suryakusuma mendapatkan penghargaan “Order the Crown” dari Pemerintah Belgia pada 10 Maret 2021. Ini merupakan penghargaan nasional Belgia yang diberikan pada seseorang yang selama ini banyak berkontribusi pada persoalan gender, demokrasi dan hak asasi manusia

Julia Suryakusuma mendapatkan penghargaan pada 10 Maret 2021 di Kantor Kedutaan Besar Belgia di Jakarta. Sebagai penulis, kolumnis dan feminis, Julia berkontribusi besar pada perjuangan gender, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia lewat aktivitasnya dan tulisannya selama ini. Julia Suryakusuma adalah kolumnis di Jakarta Post

Dosen filsafat, Frans Magnis Suseno menyatakan tulisan Julia Suryakusuma selama ini sebagai tulisan yang tak kenal takut, menggembirakan dan mengejutkan.

“Sejak beberapa dekade saya menjadi pembaca setia kolom Julia di Jakarta Post. Saya selalu menikmati komentar Anda. Gaya Anda yang tak kenal takut, menggembirakan, sering mengejutkan, selalu menginspirasi membuat kehadiran Anda di ruang publik Indonesia menjadi unik dan tak tergantikan. Berani dan kritis, Julia tanpa belas kasihan memperlihatkan kemunafikan yang sering konyol dari pemikiran sempit yang berpakaian saleh, naluri patriarkal yang tertanam dalam dan perebutan kekuasaan yang tersembunyi. Kombinasi unik dari ironi Julia, bakat untuk mengungkap sisi lucu dari kepentingan yang sombong, analisis yang tajam dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap apa yang menurutnya benar adalah apa yang membuat Julia begitu unik dalam lanskap media di Indonesia,” tulis Frans Magnis Suseno

Menerima penghargaan ini, Julia Suryakusuma menyatakan kaget dan merasakan ini sebuah kehormatan mendapatkan penghargaan. Dalam pidato penerimaan penghargaan, Julia membacakan pidato yang ditulisnya dan kami rangkum berikut ini:

“Sekitar setahun yang lalu, Duta Besar Belgia, de Loecker bertanya kepada saya apakah saya pernah “didekorasi” atau diberi medali penghargaan. Saya bertanya padanya setengah bercanda, setengah serius

“Maksud Anda didekorasi seperti pohon Natal?”

Dia dengan sabar menjelaskan kepadaku, apa artinya “didekorasi” oleh seorang raja. Wow, itu kehormatan yang besar, saya pikir.

Namun, saya tidak dapat menahan diri membayangkan, berdiri di tengah-tengah ruang tamu dengan Raja Belgia Phillipe yang mengenakan mahkota, menggantungi dekorasi Natal pada diri saya: bola-bola kaca berwarna cerah, lampu hias berkedip, melilitkan saya dengan perada berkilau dan hiasan-hiasan natal lainnya, sampai saya tidak bisa bergerak.

Anda tahu, kami para penulis, cenderung memiliki imajinasi yang terlalu subur. Seperti anak-anak saja! Beberapa orang bertanya kepada saya, mengapa Belgia? Memang, dari 44 kerajaan di dunia, mengapa raja negeri Manneken Pis, dan negara dari cokelat terbaik dunia (atau begitulah yang mereka akui)?

Kenapa tidak? Mengingat saya diberi penghargaan untuk memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia dan gender, tidak masuk akal jika saya didekorasi oleh Raja Arab Saudi, bukan? Beberapa teman menyesali kenyataan bahwa saya tidak diberi penghargaan oleh pemerintah saya sendiri. Serius?

Apakah pemerintah memberikan penghargaan kepada para pengkritiknya? Apakah China memberikan penghargaan kepada aktivis pro-demokrasi? Ya, mereka melakukannya: dengan menganiaya, menyiksa atau memenjarakan mereka, atau memaksa mereka ke pengasingan.

Namun ternyata Presiden Indonesia Jokowi melakukannya. Tahun lalu pada bulan Agustus 2020

Ia memberikan penghargaan kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah, keduanya mantan wakil ketua DPR, dan dua dari kritikusnya yang paling setia. Zon hampir tidak pernah melewatkan satu hari tanpa mengkritik atau menyerang kebijakan Jokowi, dan Fahri Hamzah pernah bergabung dengan gerakan politik untuk menggulingkan presiden.

Namun pada Agustus tahun lalu, keduanya menerima Penghargaan Bintang Mahaputra, penghargaan tertinggi kedua untuk “layanan sipil luar biasa”. Jadi mungkin ada gunanya juga bersikap kritis di Indonesia yang dipimpin Jokowi, jika Anda adalah pegawai negeri sipil tingkat tinggi.

Benarkah Jokowi menganggap Fadli Zon dan Fahri Hamzah layak mendapat Bintang Mahaputra? Secara pribadi, saya bahkan tidak akan menyematkan “medali” tutup botol Coca Colapun pada mereka. Ataukah memberikan penghargaan kepada para pengkritiknya sebagai cara untuk menunjukkan betapa dia (Jokowi) orang yang sangat demokratis dan toleran? Apakah pemberian hadiah ini bermotivasikan politik? Saya tidak akan menahan nafas menunggu menerima penghargaan apapun dari pemerintah Indonesia.

Seperti yang dikatakan Elizabeth Pisani dalam bukunya “Indonesia Etc.”, Indonesia seperti pacar yang buruk dengan siapa kita memiliki hubungan benci tapi rindu. Saya mengutipnya:

“Hubungan dengan Fadli Zon, di dalam bukunya mengenai kerusuhan Mei, selain terus menerus menyanyikan pujian terhadap Prabowo, idolanya, menyangsikan terjadinya perkosaan masal

Kenyataannya, perkosaan massal itu terjadi pacar nakal raksasa yang saya sebut Indonesia adalah sesuatu yang membuat kamu tertawa, tersenyum dan merasa hangat di dalam, tetapi kemudian ia membohongimu secara murahan, yang tak ada habisnya, yang membuat kamu ingin menamparnya bolak-balik karena kamu tahu semuanya itu akan berakhir dengan air mata, tapi kamu tetap saja kembali dan kembali lagi,

“Anda tahu kan bagaimana jika pacar Anda kurang memberi perhatian, tidak seperti yang Anda inginkan, atau bahkan memperlakukan Anda dengan buruk? Nah, Anda mengambil pacar baru agar yang lama memandang Anda dengan pandangan segar dan memperlakukan Anda dengan lebih baik.

Belgia adalah pacar baru saya. Dia tidak memberiku seikat bunga mawar melainkan medali. Asli! Tidak pernah ada pacar sebelumnya yang pernah memberi saya medali! Mudah-mudahan sekarang pacar lama saya Indonesia akan melihat saya dan berkata, “Hei, mungkin ada sesuatu tentang Julia yang belum pernah saya lihat sebelumnya.” Saya sebenarnya tidak terlalu peduli atau suka dengan penghargaan, terutama jika bermotif politik.

Ketika Anda sangat terlibat dalam pekerjaan yang dilakukan dengan cinta, itu merupakan hadiahnya sendiri. Saya merasa saya orang paling beruntung di dunia karena sejak saya remaja, saya telah melakukan apa yang saya sukai dan cintai. Yang pertama dan terpenting adalah mengejar pengetahuan. Dalam hal ini, saya adalah seorang pecandu (selain seorang nerd!).

Sejak saya kecil, sudah menjadi kutu buku, impian saya adalah memiliki ensiklopedia. Tetapi seperangkat ensiklopedia itu mahal – orang tua saya tidak mampu membelinya. Di era internet, impian masa kecil saya menjadi kenyataan.

Saya bisa google apa saja. Memang, ada informasi yang berlebihan dan banyak jebakan serta gangguan di internet, tetapi jika Anda tahu apa yang harus dicari, dan melakukannya secara disiplin, itu bisa seperti magic! Yang kedua adalah bersuara, terutama tentang kebenaran dan keadilan. Ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa saya didiskriminasi dalam keluarga saya (ibu saya lebih menyayangi adik laki-laki saya), namun hal itu merupakan berkah terselubung. Hal itu membuat saya berempati dengan penderitaan orang lain yang didiskriminasi dan diperlakukan tidak adil.

Kemarahan saya memberi saya dorongan untuk menjadi feminis, dan kemudian, aktivis pro-demokrasi, pendukung setia LGBTIQ +, dan kelompok terpinggirkan lainnya juga, dan memberi saya bahan bakar untuk hal-hal yang saya lakukan dan tulis. Selama bertahun-tahun, saya berkembang, dari menjadi seorang feminis pemarah, menjadi semakin sering dianggap sebagai feminis yang lucu (funny feminis, FF) dan juga, seperti yang digambarkan oleh seorang teman kepada saya, seorang feminis penggoda (feminist femme fatale, FFF).

Orang sering mengatakan saya pemberani. Anehnya, sebagai seorang anak dan remaja, ibu saya sering memarahi saya karena terlalu berani. Saya bingung: seharusnya saya bagaimana? Menjadi pengecut? Tetapi terutama sebagai seorang gadis, saya tidak seharusnya bersuara, apalagi secara lantang yang sering saya lakukan. Wah, saya benar-benar tidak memenuhi keinginan orang tua saya untuk menjadi anak gadis yang mereka harapkan! Dan sebagai orang dewasa, saya terus menentang harapan tentang seperti apa perempuan yang baik dan bahkan bagaimana layaknya menjadi perempuan lansia. Taat dan berpegang teguh pada peran yang ditentukan secara sosial dan agama? Terima kasih tapi tidak, terima kasih!

Saya menjadi feminis sejak usia dini. Saya terus menjadi seorang feminis yang gigih, namun saya juga sering merasa tidak nyaman untuk dikotak-kotakkan sebagai seorang feminis. Pertama dan terpenting, saya adalah manusia; kedua, saya menulis tentang banyak topik, bukan hanya masalah gender. Saya tidak tahu banyak penulis – perempuan ataupun laki-laki – yang menulis tentang topik yang begitu beragam seperti saya. Kecenderungan pengkotakan dan membuat stereotipe adalah hal yang sangat manusiawi. Sebagai seorang sosiolog, saya sangat memahaminya.

Namun demikian, jika kita melakukannya dengan terlalu kaku dan terlalu sempit, hal itu bisa mengarah pada mentalitas “kita” vs “mereka”, dimana “kita” selalu lebih baik daripada “mereka”. Begitu banyak dari kehidupan dan persepsi kita tentang hal-hal dalam hidup adalah konstruksi sosial.

Kita percaya pada hal-hal yang diturunkan kepada kita – melalui keluarga, pendidikan, agama, masyarakat. Kita mewarisinya, dan menelannya bulat-bulat. Konstruksi-konstruksi sosial ini, peran-peran yang kita mainkan, pekerjaan kita, kepercayaan dan kebiasaan kita, bisa menjadi jebakan.

Saya mendapatkan kedamaian batin, keseimbangan, kebahagiaan dan bahkan lebih banyak rasa syukur daripada sebelumnya. Saya belajar dan menikmati bagaimana menyederhanakan hidup saya, memberi atau membuang hal-hal yang tidak lagi saya butuhkan dan juga menjadi lebih murah hati dan berbagi. Saya merasa bahwa saya sekarang membutuhkan lebih sedikit (materi), karena saya semakin penuh dan berisi di dalam diri saya.

Beberapa orang bertanya, apa yang telah Anda lakukan sehingga pantas menerima ini? Saya berkata, dengan mengerjakan apa yang saya sukai, apa yang membuat saya bersemangat, dan apa yang saya yakini. Ya tentu, imbalan materi untuk menjadi pemikir bebas, sarjana independen, dan penulis, selama ini sangat kecil, tetapi bagi banyak orang, kepuasan kerja sering kali dinilai lebih tinggi daripada gaji yang besar. Memiliki banyak uang tetapi membenci pekerjaan Anda sebenarnya tidak diinginkan oleh siapa pun. Bukan karena saya menganggap apa yang saya lakukan sebagai pekerjaan, melainkan panggilan.

Dan tahukah Anda? Tampaknya kebanyakan orang tidak pernah tahu apa panggilan hidup mereka, yang benar-benar memberi makna kepada kehidupan mereka. Saya tidak tahu pada saat saya mulai dikenal sebagai penulis pada usia 18, bahwa itu akan menjadi panggilan hidup saya. Jadi sekarang kita sampai pada bagian terpenting dari pidato saya: ucapan terima kasih.

Dunia Barat seringkali suka mengakui dan memberikan penghargaan kepada orang-orang yang telah disiksa, dipenjara atau diasingkan. Terima kasih telah mengizinkan saya menerima penghargaan ini tanpa harus melalui hal-hal yang mengerikan tersebut. Terima kasih untuk perhatian anda.

(Rangkuman pidato Julia Suryakusuma ketika menerima penghargaan “Order the Crown” dari Pemerintah Belgia)

(Foto: Facebook)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!