Bagaimana Sejarah Keterlibatan Perempuan dan Anak Muda Dalam Terorisme

Minggu lalu, publik dikagetkan oleh dua serangan teror yang melibatkan pelaku perempuan dan generasi milenial. Bagaimana sejarah keterlibatan perempuan dan anak dalam terorisme?

Seorang perempuan 25 tahun tewas ditembak aparat setelah melakukan serangan di Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Jakarta pada akhir Maret.

Serangan itu terjadi hanya tiga hari setelah serangan bunuh diri oleh dua pelaku di luar gereja katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Para pelaku pengeboman adalah suami-istri; si suami berusia 25 tahun dan sang istri 20 tahun.

Aktor utama kedua serangan tersebut adalah perempuan dan berusia relatif masih muda. Berdasarkan pengalaman saya mewawancarai 31 keluarga pejuang jihad pada 2016, saya akan menjelaskan bagaimana perempuan dan generasi muda bisa terlibat dalam gerakan terorisme.

Sejarah keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme

Perempuan telah ambil bagian dalam jihad sejak Abad ke-19, dan telah secara aktif berperan di dunia terorisme sejak 1970-an.

Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan melibatkan diri dalam aksi terorisme karena legitimasi dari kelompoknya.

Sebuah penelitian pada 2018 di Indonesia, menemukan bahwa selain faktor legitimasi, perempuan bergabung dengan organisasi ekstrem juga karena terdorong secara emosional.

Mereka merasa lebih dihargai, lebih berdaya, dan ingin memperkuat hubungan dengan anggota lain.

Jaringan al-Qaeda awalnya memandang bahwa membolehkan perempuan berjihad sebagai ‘kejahatan besar’.

Osama bin Laden, pemimpin al-Qaeda, mengapresiasi peran perempuan dalam jihad dengan melahirkan generasi pejuang baru dan mendukung jihad suami mereka.

Namun, pada 2005, Abu Mus’ab Az-Zarqawi, seorang pemimpin al-Qaeda dari Yordania, menjadi orang pertama yang membolehkan perempuan angkat senjata.

Ia menggunakan partisipasi perempuan untuk mempermalukan para lelaki yang tidak mau berjihad. Perempuan juga dianggap tidak terlalu mencurigakan sehingga memiliki nilai strategis.

Sejak saat itu, aksi bom bunuh diri oleh perempuan memasuki fase baru.

Organisasi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) juga mengubah kebijakan mereka. Pada 2006, mereka masih menekankan bahwa “jihad adalah tanggung jawab laki-laki.”

Namun, anjuran tersebut berubah ketika ISIS terus mengalami kekalahan dan kehilangan teritorial. Pada 2017, mereka menyatakan bahwa “perempuan Muslim harus memenuhi tugas mendampingi para pejuang di medan perang, dengan berbagai cara”.

Pada 2015 di Indonesia, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) – yang mendukung ISIS, menyerukan supaya anggota yang tidak bisa lagi hijrah ke Suriah agar melakukan jihad di Indonesia.

Bagi perempuan seruan ini melegitimasi keterlibatan mereka dalam aksi terorisme.



Kerentanan anak muda

Ketiga pelaku adalah generasi milenial, generasi yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia.

Menurut sebuah riset pada 2020, generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi.

Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme.

Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas.

Dalam penelitian yang sedang saya lakukan terhadap keluarga dan peran mereka dalam menciptakan pejuang jihad, saya menemukan bahwa keluarga memiliki peran langsung dan tidak langsung dalam menumbuhkan loyalitas terhadap ideologi ekstrem.

Sebagai unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini.

Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga.

Akibatnya anak-anak rentan terhadap radikalisasi, baik yang dilakukan oleh organisasi atau radikalisasi diri sendiri.

Individu semacam ini disebut sebagai ‘individu yang mudah dipetik’.

Mereka tidak hanya rentan terpapar ideologi radikal, tetapi juga rentan bergabung dengan organisasi teroris.

Akses internet dan kemampuan menggunakannya menjadi alat sekaligus kesempatan untuk terhubung dengan nilai-nilai dari luar.

Kenapa terorisme menjadi pilihan mereka yang sedang mencari jati diri?

Penelitian di Prancis menemukan bahwa terorisme adalah bentuk pemberontakan anak muda dan bukan semata-mata karena mereka radikal.

Beberapa aksi teror di Prancis antara 2014 dan 2016 dilakukan oleh anak muda Muslim dari generasi kedua. Generasi ini mengklaim diri sebagai generasi yang kembali pada identitas keislaman otentik yang selama ini ditinggalkan orang tua mereka.

Ideologi ekstremisme menyediakan ajaran Islam yang mudah dipahami, jawaban pasti atau hitam-putih terhadap masalah, dan penebusan dosa yang instan.

Hal ini memberikan dampak langsung terhadap pencarian jati diri mereka. Mereka merasa telah menjadi seorang Muslim yang lebih baik dibandingkan orang lain di sekitarnya, bahkan orang tua mereka.


Mengoptimalkan kebijakan

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024.

Di antara fokus-fokus kerja dalam RAN PE tersebut, ada dua fokus yang sangat terkait dengan keterlibatan perempuan dan generasi muda: penguatan daya tahan kelompok rentan, dan pencegahan radikalisme dan terorisme di kelompok anak.

Sayangnya, strategi dan aksi pencegahan dalam RAN PE belum secara efektif menyasar perempuan dan kelompok rentan, yaitu anak-anak dan pemuda.

Pemerintah perlu mempertimbangkan sejumlah hal untuk mengoptimalkan pelaksanaan RAN PE.

Pertama, pemerintah perlu melibatkan keluarga ke dalam strategi pencegahan terorisme dan radikalisme di kelompok anak.

Keluarga memiliki peran penting dalam mentransmisi nilai-nilai inklusif dan toleran kepada anak.

Pemerintah juga perlu memberikan pemahaman komprehensif mengenai ancaman ekstremisme kepada keluarga atau orang tua. Orang tua perlu memahami apa dampak dan bagaimana mengidentifikasi tanda-tanda radikalisasi telah terjadi pada anak-anak mereka.

Sebuah studi pada remaja Belgia dan Belanda yang bergabung dengan ISIS di Suriah antara 2012-2015 menemukan bahwa banyak dari orang tua para remaja ini justru tidak peduli dan menyangkal bahwa anak-anak mereka telah terpapar radikalisasi.

Kedua, pemerintah perlu mengoptimalkan peran remaja yang sebelumnya telah terhasut ideologi ekstremisme dalam kampanye pencegahan.

Sosok seperti Nurshadrina Khaira Dhania dan Nada Fedulla – dua remaja perempuan yang pernah menganut ideologi ekstrem dan pernah hidup di bawah naungan ISIS – dapat menjadi pintu masuk.

Sejak kepulangannya dari Suriah pada 2017, Nurshadrina mulai membagikan pengalaman pahitnya hidup sebagai kampanye anti-ISIS. Nada masih tertahan di kamp pengungsian di Suriah; ia menyesal dan ingin kembali ke Indonesia.

Melalui forum-forum berbagi pengalaman diharapkan dapat tercipta solidaritas antar remaja, khususnya perempuan untuk sama-sama menutup pintu masuknya ideologi ekstrem di kalangan mereka.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Haula Noor

PhD Candidate at Coral Bell School of Asia Pacific Affairs , Australian National Universit
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!