Aktivis Perempuan Kecam Pernyataan Atta Halilintar Soal “Suara Suami dari Tuhan”

Pernyataan Youtuber dengan 27 juta followers, Atta Halilintar mendapatkan protes keras dari para aktivis perempuan. Statemen soal “Suara suami dari Tuhan, dan istri harus menurut apa kata suami” adalah slogan jadul dan keliru

Di setiap agama, ada tafsir yang adil untuk istri, tapi mengapa Atta Halilintar memilih tafsir yang tidak adil?

Pernyataan ini diungkapkan feminis muda, Dea Safira ketika ditanya www.konde.co tentang komentarnya soal pernyataan Atta Halilintar

“Suara suami adalah dari Tuhan, jadi kalau aku gak ini, ini, ini kamu harus nurut gak kayak sebelumnya.”

“Kalau udah berkeluarga, aku udah kepala keluarga bukan pas waktu tunangan. Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Kalau aku nggak izin ini, kamu harus nurut, nggak bisa kayak sebelumnya,” kata Atta

Ini diungkapkan Atta Halilintar dalam Podcast The Hermansyah ketika Atta diwawancara Ashanty, ibu Aurel Hermansyah, Februari 2021. Pernyataan Atta ini membuat ramai media sosial dan mengundang reaksi protes dari banyak aktivis perempuan

Dea Safira, aktivis Indonesia Feminist dihubungi Konde.co pada 8 April 2021 mengungkapkan, ucapan Atta ini menunjukkan bahwa budaya di lingkungan dimana Atta Halilintar tinggal masih melestarikan subordinasi perempuan. Terlebih pandangan-pandangannya ini diperkuat dengan adanya media sosial dan pengaruh yang besar terhadap publik.

“Ini berpotensi besar memelihara budaya patriarki yang dapat berujung pada kekerasan terhadap perempuan.”

Dan sayangnya tafsir yang dianut Atta Halilintar tidak menunjukkan adanya keadilan karena ia lebih memilih untuk bersikap tidak adil.

“Padahal sudah ada tafsir yang adil terhadap perempuan. Bahkan lelaki sendiri pun dikatakan dapat berbuat jahat kepada perempuan. Lantas kenapa ia tidak berkaca diri?.”

Pernyataan Atta ini juga mendapat kritik dari feminis muda lain. Dalam akun event feminis, tertulis pernyataan “Seorang suami tidak boleh memperlakukan istrinya sebagai hamba atau bawahan. Istri juga tidak boleh menghamba pada selain Tuhan, apalagi menuhankan laki-laki.”

Aliansi Perempuan Bangkit, networking para aktivis perempuan juga melakukan kampanye protes soal pernyataan Atta Halilintar ini melalui media sosial.

Salah satu aktivisnya, Damairia Pakpahan dalam poster protes Aliansi Perempuan Bangkit yang beredar menyatakan bahwa pernyataan yang mengatakan suami adalah wakil Tuhan itu ada di agama monoteisme Ibrahim dan agama timur dan tidak relevan lagi dilakukan di masa sekarang

“Namun karena kita sudah hidup di abad ke 21 sebagai warga bangsa negara dengan konstitusi dan UU Perkawinan sekaligus warga dunia dengan Konvensi PBB anti Diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW, maka pernyataan ini merupakan kemunduran peradaban keadilan yang menjustifikasi patriarki.”

Aktivis keberagaman dan penulis ensiklopedia Muslimah Reformis, Musdah Mulia dalam kampanye Aliansi Perempuan Bangkit juga mengatakan bahwa suami sebagai kepala keluarga bukan berarti bisa semena-mena terhadap istri, karena istri bukanlah seorang bawahan apalagi budak, tapi istri merupakan mitra sejajar.

“Karena Islam mengajarkan prinsip kasih sayang dan musawa atau keadilan dan kesetaraan. Suami istri hendaknya saling berkomunikasi dengan cinta kasih dan saling melengkapi.”

Konsep relasi seharusnya equal partner

Suci Wulandari, aktivis Yayasan Pendidikan Pangsor, Gunung Rinjani, Lombok dalam tulisannya di Konde.co pernah menuliskan bahwa budaya yang menyebut bahwa suami adalah atasan istri di rumah, adalah jargon atau slogan yang sudah sangat jadul dan keliru.

Jargon seperti ini biasanya dibuat tanpa bertanya dulu pada istri atau perempuan: nyamankah dengan relasi ini? Apakah sudah ada kesepakatan diantara keduanya dalam relasi ini?

Jargon-jarogon keliru ini biasanya terjadi karena budaya patriarki yang membuat pemikiran perempuan kemudian diabaikan. Padahal menjalin kehidupan rumah tangga bukanlah menjalin relasi yang sifatnya hierarkis, yang bersifat atasan-bawahan, akan tetapi sebuah relasi yang bersifat partnership, atau biasa disebut equal partner.

Suci Wulandari kemudian mengambil relasi suami istri yang biasa terjadi dari teori Scanzoni, ada empat pola hubungan suami istri dalam rumah tangga, diambilnya teori ini agar memudahkan untuk melihat bagaimana relasi suami dan istri dalam dunia patriarki:

1.Pola owner property.

Dalam pola ini kedudukan istri diibaratkan sebagai barang berharga milik suami. Istri berkewajiban untuk membahagiakan dan memenuhi keinginan suami dalam segala hal. Kebahagiaan istri menjadi tidak penting jika bertentangan dengan keinginan suami. Sebagai contoh, istri menginginkan suaminya lebih sering di rumah menemani keluarga, tapi suami lebih suka keluar rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya. Maka dalam hal ini, istri harus menekan keinginannya karena tidak sesuai dengan keinginan suami.

2.Pola head complement.

Dalam pola hubungan ini, istri berkedudukan sebagai pelengkap suami. Istri mempunyai hak berpendapat walaupun pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan suami.

3.Pola senior-junior partner.

Dalam pola ini, selain berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan-sepanjang tidak bertentangan dengan kebutuhan suami, istri juga bebas berkarir dan melanjutkan pendidikan yang tinggi, namun status sosialnya tetap ditentukan oleh suami.

4.Pola equal partner

Pola ini mendudukkan suami dan istri pada posisi yang setara, tidak ada yang lebih rendah maupun tinggi. Tidak ada yang berposisi atas maupun bawah. Dalam pola terakhir ini, baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban di ranah publik dan domestik/ rumah tangga. Jadi tidak masalah jika suami lebih banyak mengerjakan urusan domestik dan istri bekerja di luar selama itu adalah kesepakatan bersama antara dua belah pihak.

Hubungan yang equal adalah hubungan nomer 4 pola equal partner yang bisa dipertukarkan fungsinya antara suami dan istri dan dengan kesepakatan

Jargon dan tafsir yang keliru

Jika kita melihat pernyataan Atta Halilintar, terlihat bahwa istri atau pasangan adalah orang yang harus menurut apa kata suami. Padahal menjalin kehidupan rumah tangga bukanlah menjalin relasi yang sifatnya hierarkis, yang bersifat atasan-bawahan, akan tetapi sebuah relasi yang bersifat partnership, atau biasa disebut equal partner.

Jadi, pernyataan bahwa suara suami dari Tuhan ini jelas merupakan keyakinan jadul dan keliru.

(Foto: pikiran-rakyat.com)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!