Polisi Virtual di Indonesia; Bukan Ciptakan Ketertiban, Malah Ancam Kebebasan Berekspresi

Kehadiran polisi virtual justru menambah masalah baru. Alih-alih menciptakan ketertiban, mereka justru mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara.

Sejak mulai aktif pada Februari, satuan tugas digital kepolisian Indonesia – kerap disebut polisi virtual – telah mengirim peringatan terhadap 200 konten media sosial yang diduga mengandung ujaran kebencian.

Kepolisian menyakini polisi virtual dapat mengatasi penyebaran konten yang mengandung hoaks dan kebencian, agar dunia maya negeri ini bersih dan bebas dari konten yang melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Menurut kami penggunaan polisi virtual tidak menjawab masalah karena masalah sebenarnya ada di UU ITE yang perlu direvisi.

Kehadiran polisi virtual justru menambah masalah baru. Alih-alih menciptakan ketertiban, mereka justru mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara.

Akar masalah

Munculnya polisi virtual berawal dari pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik dan lalu melontarkan wacana revisi UU ITE yang akhirnya tidak direalisasikan juga.

Jokowi juga meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi laporan warga terkait UU ITE dan dalam menerjemahkan UU itu. Pihak kepolisian kemudian menindaklanjuti dengan pembentukan polisi virtual yang tidak menjawab akar masalah UU ITE.

UU ITE memang kerap menjerat warga dalam kasus pidana.

Data Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet mencatat sampai dengan Oktober 2020, ada 324 kasus pidana terkait pelanggaran UU ITE.

Kasus saling melapor antar warga karena perilaku di dunia digital memang lumrah terjadi. Hanya saja, selama ini jerat UU ITE justru erat dengan relasi kuasa dalam masyarakat.

Permasalahannya terletak pada formulasi karet UU ITE; formulasi yang pada praktiknya dapat digunakan pihak yang lebih kuat menekan yang lebih lemah.

Jeffrey Winters, ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern, Amerika Serikat, dalam orasi ilmiah tentang oligarki, demokrasi, dan supremasi hukum di Indonesia menyebut bahwa negara yang memiliki masalah supremasi hukum bukan berarti tidak ada hukum di tengah masyarakat.

Hukum berlaku bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, tapi utamanya mereka yang lemah, tidak bisa membuat mereka yang kuat untuk tunduk.

Sistem hukum tidak berdaya atau dirusak oleh orang yang berkuasa karena mereka punya kapasitas, sumber daya, atau koneksi untuk mempengaruhi penegakan hukum.

Situasi inilah yang terjadi dalam jerat UU ITE ke warga.


Baca juga: Mendorong polisi virtual melakukan edukasi, bukan pengawasan yang represif


Masalah baru polisi virtual

Dari segi hukum, pembentukan polisi virtual sudah bermasalah.

Polisi virtual mulai aktif berdasarkan Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Namun, SE itu tidak secara jelas dapat menjadi dasar hukum pendirian polisi virtual.

Secara singkat, SE tersebut menggambarkan kondisi sosiologis Indonesia saat ini, dan bahwa penerapan UU ITE terkait pencemaran nama baik dan penghinaan tidak sejalan dengan hak kebebasan berpendapat di ruang digital.

Kepolisian, menurut surat itu, hendak menyediakan penegakan hukum yang adil bagi masyarakat.

Namun, dalam pelaksanaan kerjanya, polisi virtual ini bisa memunculkan dampak sebaliknya, yaitu keengganan atau ketakutan yang mengancam kebebasan berekspresi.

Tugas polisi virtual meliputi pemantauan unggahan-unggahan media sosial. Jika mereka menemukan unggahan yang mengandung unsur fitnah; suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); atau hoaks; ujaran kebencian, mereka akan melakukan kajian.

Jika unggahan tersebut diputuskan sebagai sebuah pelanggaran, maka polisi akan menghubungi pelaku dan memberi peringatan untuk menurunkan unggahan. Jika pelaku tidak mematuhi, polisi akan melakukan pemanggilan.

Salah satu kasus yang mencuat melibatkan seorang warga Slawi, Jawa Tengah, yang diduga menyebarkan hoaks dalam komentar di media sosial tentang Gibran Rakabuming – Walikota Surakarta, Jawa Tengah, dan putra pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Kewenangan ini sangat membingungkan.

Setelah kepolisian memutuskan suatu unggahan melanggar hukum, tidak ada mekanisme pembelaan diri untuk orang yang diduga mengunggah konten.

Pemilik akun tidak memiliki mekanisme untuk menguji keputusan tersebut.

Di titik inilah, organisasi masyarakat sipil khawatir polisi virtual justru dapat membuka ruang kesewenang-wenangan.


Baca juga: Apakah semua ujaran kebencian perlu dipidana? Catatan untuk revisi UU ITE


Salah solusi

Polisi virtual tidak menyelesaikan masalah UU ITE.

Kritik terhadap UU ITE yang sudah terjadi bertahun-tahun, maka jalan keluar sesungguhnya adalah upaya secara perundang-undangan – baik lewat revisi atau upaya lain terhadap UU ini.

Mencoba menghilangkan asap tanpa memadamkan api adalah usaha yang sia-sia.

Polisi virtual yang terlanjur aktif sekarang perlu dievaluasi. Sangat penting untuk memastikan pemilik akun yang diduga melanggar UU ITE memiliki kesempatan membela diri.

Dalam memverifikasi suatu konten, kepolisian perlu melibatkan perwakilan masyarakat sipil.

Tak kalah penting, kepolisian juga perlu memastikan polisi virtual diawasi dengan baik secara internal dan membuka ruang eksternal bagi masyarakat untuk terlibat.

George Orwell dalam novel klasiknya “1984” yang terbit pada 1949 sudah lama mengingatkan betapa berbahayanya ketika orang merasa terus-menerus diawasi tidak hanya dalam tingkah lakunya tetapi juga bahkan dari sejak dalam pikiran.

Dari sinilah kita lalu mengenal istilah Orwellian, kondisi saat kebebasan justru dirusak oleh kekuasaan dan regulasi yang berlebihan dan kejam dengan menggunakan pengawasan masif dan disinformasi.

Efeknya, orang akan semakin takut bersuara bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya wajar di negara demokratis. Ketakutan yang paling sering muncul adalah adanya upaya sensor diri dalam warga karena merasa terus-menerus diawasi oleh polisi.

Demokrasi mempersyaratkan terjadinya pertukaran opini dan argumen secara sehat dan rasional. Namun ketika prasyarat utama itu tidak terjadi, demokrasi bisa hanya tinggal nama.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Laras Susanti, Lecturer at Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada dan Wisnu Prasetya Utomo, Lecturer at Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Laras Susanti

Lecturer at Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!