Ancaman Kekerasan Seksual Mengintai Jurnalis Perempuan

Catatan kebebasan pers Aliansi Jurnalis Independen/ AJI di tahun 2021 soroti ancaman kekerasan seksual yang mengintai para jurnalis perempuan

Ancaman kekerasan seksual pada jurnalis perempuan dan media perempuan menjadi catatan penting Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam peluncuran Catatan atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia di tahun 2021. Catatan ini membuktikan bahwa jurnalis dan media perempuan rentan terhadap pelaku kekerasan seksual

Ketua Bidang Advokasi Pengurus Nasional AJI, Erick Tanjung mengatakan bahwa saat ini ditandai dengan maraknya terjadinya serangan digital.

Berdasarkan data yang dihimpun AJI sejak Mei 2020 hingga Mei 2021, ada 14 kasus penyerangan digital terkait aktivitas jurnalistik. Dalam catatan tersebut, 10 kasus menimpa jurnalis dan 4 kasus menimpa media online, beberapa diantaranya media perempuan seperti Konde.co dan Magdalene.co

“Pada Mei 2020, terdapat serangan yang terjadi pada Konde.co dan Magdalene, kedua media tersebut gencar menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas,” ujar Erick Tanjung, Senin (3/5/2021) dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2021

Selain Konde.co dan Magdalene, serangan digital juga kena pada dua media arus utama yakni Tirto.id dan Tempo.co pada Agustus 2020. 

Ancaman yang terjadi pada jurnalis tak hanya itu. Dalam catatan tahunan tersebut, AJI juga memaparkan hasil Survei Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta pada tahun 2020 lalu. Dalam survei tersebut, dari 34 jurnalis yang menjadi responden, 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Mayoritas dari korban kekerasan seksual tersebut adalah jurnalis perempuan.

“Pelakunya beragam, tapi mayoritas narasumber pejabat publik, diikuti dengan narasumber non pejabat publik, dan rekan kerja,” tutur Erick.

Kasus kekerasan seksual yang menimpa jurnalis ini mengancam kebebasan pers dan mayoritas korbannya merupakan reporter perempuan. Di ruang redaksi, reporter perempuan memiliki kuasa yang paling kecil.

Ada bermacam-macam lokasi kekerasan seksual yang mengancam jurnalis yakni kantor pemerintahan, di rumah narasumber, gedung Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR atau DPR daerah, pelabuhan, kantor, kampus, kantor partai, transportasi publik, ikut GIAT aparat, pers room, hingga kekerasan seksual berbasis siber oleh narasumber.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada jurnalis tak mengenal waktu. AJI Jakarta mengiris 24 jam dalam 4 rentang waktu, dan hasilnya 0 responden mengalami kekerasan seksual di pagi hari (04.00-10.00), 15 responden di siang hari (10.00-15.00), 14 responden di sore hari (15.00-19.00), dan 11 responden di malam hari (19.00-04.00).

Pejabat publik menjadi pelaku terbanyak yang dilaporkan oleh responden kami, ada 13 responden yang menceritakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan seksual dari kelompok pelaku ini.

Pelaku lain yang mengancam jurnalis yakni narasumber non-pejabat publik (8 responden), atasan di kantor (9 responden), teman sekantor (10 responden), sesama jurnalis beda kantor (11 responden), massa aksi (2 responden), aparat (1 responden), dosen (1 responden), lainnya (6 responden).

Bentuk kekerasan seksual yang dialami jurnalis ada bermacam-macam, seperti catcalling, perkosaan, disentuh/dipegang, dikirimi pesan bernuansa seksual seperti kekerasan seksual berbasis siber, diajak ngobrol bernuansa seksual, menjadi bahan bercandaan bernuansa seksual, gratifikasi benda/barang dengan berharap mau melakukan tindakan seksual/relasi romantis, dikuntit, eksploitasi seksual, dan tatapan ke arah dada.

Sayangnya, meski laporan Survei AJI Jakarta tersebut sudah dipublikasikan sejak Januari 2021, hingga kini, belum ada media yang memiliki SOP Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual.

Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim mengatakan bahwa tahun ini, rangking kebebasan pers di Indonesia mengalami peningkatan, tapi kasus kekerasan dan teror yang terjadi pada jurnalis di Indonesia juga mengalami peningkatan.

Dalam rentang waktu setahun, Divisi Advokasi AJI mencatat ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah ini merupakan angka terbanyak dalam 10 tahun terakhir pada periode yang sama. Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis yakni sensor/pelarangan peliputan (2), perusakan alat dan atau hasil liputan (22), pengusiran/pelarangan liputan (3), pemidanaan/kriminalisasi (6), kekerasan fisik (19), intimidasi lisan (28), gugatan perdata (1), dan ancaman kekerasan atau teror (9).

Sayangnya, aparat penegak hukum yang semestinya menjadi pelindung masyarakat dan jurnalis, justru menjadi pelaku kekerasan tertinggi yakni 58 kasus, disusul orang tidak dikenal 10 kasus, warga 7 kasus, TNI 5 kasus, dan pejabat pemerintah/eksekutif 4 kasus.

Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers dalam diskusi ini menyoroti lemahnya jaminan kerja jurnalis. Ade mengatakan, jurnalis di Indonesia belum memiliki jaminan kerja yang aman dan nyaman. Rendahnya jaminan kerja ini tentu saja berpengaruh terhadap karya jurnalistik, tapi masih diabaikan oleh perusahaan pers, organisasi media, dan Dewan Pers.

Dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis misalnya, aparat kepolisian seringkali tidak mengindahkan Dewan Pers sebagai lembaga yang dimandatkan oleh Undang-Undang Pers untuk mengusut sengketa pers.

“Kita memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dari kasus masa lalu, pembunuhan yang terjadi di masa lalu, hingga kasus terkini,” ujar Ade.

Selain masalah kekerasan terhadap jurnalis, Ade juga menyebut lemahnya jaminan kerja jurnalis. Di masa pandemi Covid-19 ini, Ade menyebut, terjadi peningkatan pelanggaran hak normatif.

“Ada peningkatan dua kali lipat pelanggaran hak normatif selama pandemi ini. Efeknya pada karya jurnalistik seorang jurnalis. Bagaimana kita bisa mengharapkan karya jurnalis yang berkualitas ketika jaminan kerja tidak baik,” kata Ade.

Di masa pandemi ini, Ade menyebut terjadi gig economy yang terjadi akibat adanya Omnibus Law UU Cipta Kerja sehingga saat ini semakin banyak jurnalis yang berstatus freelance.

Ade pun memberikan meminta kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan kajian secara menyeluruh terhadap kebijakan yang berpotensi menghambat kebebasan pers. Selain itu, Ia juga merekomendasikan kepada aparat kepolisian untuk serius dalam mengusut dan menindak tegas anggota yang melakukan kekerasan terhadap pers.

“Pemangku kepentingan pers perlu duduk bersama mendiskusikan tantangan kesejahteraan media dan jurnalis,” tandasnya.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!