Hari Kebebasan Pers Sedunia; AJI Catat UU ITE Ancam Kebebasan Pers

Di Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei 2021 hari ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat tentang kondisi pekerja media yang saat ini berada dalam bayang-bayang PHK, pemotongan upah, serta berbagai masalah ketenagakerjaan lain

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar aksi bertajuk Bike4PressFreedom di Dewan Pers hingga berkliling ke Monas, di Jakarta pada 2 Mei 2021 untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia hari ini.

AJI Jakarta mencatat, sudah lebih dari setahun kondisi dan iklim kerja industri media berubah dratis. Sebagian pekerja media harus bekerja dari rumah, tapi masih banyak juga yang tetap melakukan reportase ke lapangan.

Dampak nyata dari pandemi yakni tumbangnya satu per satu perusahaan media akibat akibat resesi ekonomi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pun mencatat perusahaan media yang tutup karena pandemi yakni Indopos dan Suara Pembaharuan.

Saat ini, keselamatan dalam bekerja pada masa pandemi bagi jurnalis tidak lebih baik dari masalah ketenagakerjaan. Intimidasi fisik maupun serangan digital menjadi momok bagi jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan.

Dalam 2021 ini saja, AJI Jakarta mencatat beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis seperti penganiayaan yang dialami oleh Nurhadi di Surabaya. Kasus lainnya yakni perusakan mobil milik Victor Mambor, jurnalis Jubi di Papua. Kejadian terbaru yakni penangkapan Chaerul Anwar dan Suandira Azra Badrianan yang merupakan reporter Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Marhaen Universitas Bung Karno yang meliput aksi Mayday 1 Mei 2021 di Patung Kuda, Jakarta.

Dalam perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia 2021, Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani  mengingatkan bahwa kerja jurnalis merupakan amanat konstitusi, yang telah diakui dan dijamin dalam Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD) 1945. Walaupun tidak diatur secara eksplisit namun elemen–elemen kebebasan pers jelas–jelas diatur dalam UUD 1945 seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berkomunikasi dan hak atas informasi. Pengakuan atas kebebasan pers dalam konstitusi negara harusnya dijawantahkan dalam pembuatan peraturan perundang–undangan turunan UUD 1945.

Namun, hingga sekarang masih ada beberapa regulasi yang justru mengancam dan bahkan menggerus hak atas kebebasan pers, salah satunya UU ITE. Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim di Pengadilan.

Melalui Hari Kebebasan Pers Dunia yang diperingati setiap 3 Mei, AJI meminta pada semua pihak untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan usut tuntas semua kasus kekerasan terhadap jurnalis

“Lalu meminta perusahaan media menjamin hak para pekerja, khususnya di masa pandemi Covid-19 dan mendesak pemerintah merevisi UU ITE khususnya pasal-pasal karet yang memberangus kebebasan pers,” kata Asnil Bambani dalam orasinya

Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia

Sejarah Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia dimulai ketika pada tahun 1993, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh Internasional.

Sejak itu, 3 Mei diperingati demi memertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya.

3 Mei lalu menjadi hari untuk mendorong inisiatif publik untuk turut memerjuangkan kemerdekaan pers. Hari Kebebasan Pers Sedunia juga menjadi momentum untuk mengingatkan pemerintah untuk menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers.

Pada 3 Mei ini pula, komunitas pers di seluruh dunia akan mempromosikan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers dan untuk memberikan penghormatan kepada para wartawan yang gugur dalam tugas.

(Foto: Afwan Purwanto/ AJI Jakarta)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!