Testimoni Perempuan Peserta Tes KPK; Harus Menjawab Pertanyaan Yang Melecehkan

Jurnalis Konde.co, Tika Adriana mewawancarai perempuan peserta tes karyawan di Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK yang mendapatkan pertanyaan sangat personal saat tes seperti: sudah punya pacar? jika pacaran ngapain aja? sampai pertanyaan: sudah menikah kog gak punya anak?. Pertanyaan ini sangat melecehkan dan merendahkan perempuan

Ashley, bukan nama sebenarnya, adalah seorang pegawai perempuan di Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK yang mulanya berpikir bahwa Tes Wawasan Kebangsaan untuk peralihan status pegawai KPK seperti tes Computer Assisted Test/ CAT yaitu tes untuk merekrut CPNS sama seperti tes yang biasa dilakukan dalam proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil/ CPNS. 

Namun dia tidak pernah mendapatkan jawaban tentang mekanisme tes yang akan dilakukan

“Kami pernah tanya kepada pimpinan KPK tentang mekanisme tes seleksi ini, tapi tidak pernah ada respons. Kita sebagai pegawai benar-benar buta. Bahkan ketika tanya apakah ada mekanisme lulus dan tidak lulus dan kalau tidak lulus bagaimana, pimpinan cuma jawab, ‘kalian tinggal di Indonesia, kalian harus meyakini kalau kalian akan lulus’. Padahal yang kami pertanyakan soal kejelasan tes yang akan dilalui,” ujar Ashley saat diwawancara www.Konde.co, Jumat (7/5/2021).

Selain tak ada kejelasan tentang proses seleksi tersebut, Ashley dan para pegawai KPK juga merasakan tidak adanya koordinasi antara bagian SDM KPK (Sumber Daya Manusia) dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

“Beberapa hari setelah kami bertanya, ada email dari BKN, lalu tidak lama kemudian ada email dari bagian SDM untuk jangan isi form terlebih dahulu. Kami menangkan bahwa sepertinya tidak ada koordinasi. Baru selanjutnya ada informasi lagi dan kami suruh mengisi seperti apa,” tambahnya.

Ashley menceritakan hal ini ketika dihubungi Tika Adriana dari www.Konde.co. Sejak 18 Maret 2021 hingga 9 April 2021, 1.349 pegawai KPK mengikuti tes peralihan status menjadi ASN. Tes peralihan status pegawai KPK tersebut dilakukan setelah disahkannya Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta munculnya PP No. 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN serta Peraturan KPK No. 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.

Kontroversi ternyata tak hanya terjadi saat pengesahan revisi UU KPK, tapi juga proses pelaksanaan peralihan status Pegawai KPK. 

Ada dua jenis tes yang harus dilalui oleh para pegawai KPK yakni tes tertulis dan wawancara. 

Dalam tes tertulis, ada dua sesi yakni sesi pilihan ganda dan esai. Ada 200 pertanyaan yang harus dijawab dalam tes tertulis, tapi Ashley mengatakan bahwa tak sedikit muncul pertanyaan yang dilematis dan tidak ada parameter nilai yang jelas. Pertanyaan yang muncul dalam tes pilihan ganda tersebut antara lain: “Apakah Anda setuju kelompok homoseksual mendapat hukuman atau tidak dipenuhi hak-haknya?” 

“Adakah kebijakan pemerintah yang tidak disetujui?”.

Setelah tes pilihan ganda, mereka melanjutkan dengan sesi tes esai berjumlah 10 pertanyaan. Namun, sama dengan pilihan ganda, beberapa pertanyaan dalam tes tersebut tidak memiliki parameter jelas seperti: 

“Bagaimana pandangan Anda tentang Tapol 65?”

“Bagaimana pandangan Anda tentang dibubarkannya FPI?” 

“Kelompok separatis itu seperti apa?”

“Kelompok LGBT di Indonesia itu seperti apa?”.

Kejanggalan bentuk tes KPK semakin dirasakan oleh para pegawai ketika tes wawancara, tapi jumlah asesor tiap peserta seleksi berbeda. Background asesor pun beragam.

“Kemudian saya ditanya, background dan apa saja yang saya lakukan selama bekerja di KPK, kemudian masuk ke hal sensitif seperti pandangan tentang tapol 65, lalu ditanya:

“Kalau tidak diterima apa yang akan dilakukan?” 

Tapi saya menolak untuk menjawab karena sudah pernah bertanya kepada pimpinan, tapi tidak dijawab sehingga saya berkeyakinan ini akan lanjut. 

Saya kemudian bertanya kepada asesor itu, “apakah pertanyaan ini akan berpengaruh, tapi dia bilang kalau dia hanya mau bertanya saja tentang hal yang akan dilakukan kalau tidak diterima, kemudian saya bilang bahwa saya akan memikirkan kalau saya sudah ada informasi,” tutur Ashley.

Nah, kemudian pertanyaan masuk ke ranah privat, ada pertanyaan seperti: 

“Sudah menikah belum?”, lalu saya jawab kalau saya belum menikah. 

Nah, asesor ini tanya, “tapi punya pacar kan?”

Saya pun menyampaikan kalau saya punya pacar. Ia pun melanjutkan. 

“O, kalau mbak sendiri pacaran berapa kali sih?’ Ia bertanya dengan nada kepo. Ya saya enggak ingat. 

“Kalau pacar sekarang akan berujung pernikahan?’ Ya saya jawablah kalau belum tau, kan masih proses mengenal,” ungkap Ashley.

Semakin lama, Asesor tersebut semakin bertanya jauh tentang kehidupan personal Ashley, seperti:

“Apakah pacarmu sudah dikenalkan ke orangtua?”

“Apakah pacar yang sekarang yang paling cocok?”

Sampai pada pertanyaan “Kalau pacaran sudah ngapain saja?” 

Karena tak nyaman, Ashley pun menjawab dengan kesal, tapi respons dari asesor tersebut bukan seperti asesor profesional.

“Tiba-tiba pewawancara ini duduk tegak, tangannya dikibas kemeja, bukan menggebrak, tapi ini kayak menaruh posisi tegak, dia bilang:

“Mbak, saya itu belum selesai bertanya, mbak dengerin saya dulu baru jawab pertanyaan saya.”

Di situ saya berpikir, ini berarti pertanyaan serius? Saya lalu bingung mau bereaksi seperti apa, kok nadanya kepo, setelah nada saya naik kok jadi formal. Lalu saya jawab kalau pacaran biasa aja karena lagi pandemi. Lalu asesor ini menimpali dengan:

“Ya udah tinggal jawab gitu aja kok susah,” tutur Ashley.

Peserta lain mendapatkan tes yang sama

Ashley pun harus menghabiskan waktu satu jam wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang tak berkaitan dengan posisinya di KPK. Setelah selesai wawancara, Ashley bercerita kepada koleganya tentang proses seleksi yang Ia lalui, ternyata kejanggalan pertanyaan wawancara tak hanya dialami Ashley.

“Akhirnya kita kan saling cerita dengan sesama, ternyata banyak teman yang ditanya ranah privat, bahkan ada yang lebih parah daripada saya. Jadi ada teman saya yang sudah menikah tapi belum punya anak sampai sekarang, lalu dia ditanya alasan belum punya anak. Pertanyaan seperti ini sudah bikin mental down. Lalu ada juga kolega saya, kebetulan perempuan dan bercerai, alasan perceraiannya traumatis, kemudian dia ditanya alasan kenapa bercerai, dan itu menimbulkan trauma hingga dia menangis. Ketika dia selesai menangis, asesornya bertanya lagi kenapa bercerai, itu dia jadi nangis lagi,” ujar Ashley.

“Ada yang ditanya, alasan belum menikah, karena adiknya sudah menikah duluan. Ia pun menjawab kalau Ia tidak pernah tahu bertemu jodoh di mana, tanggal berapa, dan melalui apa.”

Asesornya langsung dibilang, “Mbaknya move on dong, jangan trauma dengan laki-laki.”

Teman saya pun shock dan bilang kalau Ia belum punya pacar bukan karena trauma dengan laki-laki dan tidak kesal dengan laki-laki. Asesornya lalu bertanya:

“Tapi kenapa tidak punya pacar? Teman laki-lakinya banyak kan? Coba temannya disebutin yang paling spesial’. Karena merasa bahwa temannya tidak ada yang paling spesial dia sampaikan. Lalu teman saya diminta untuk menyebutkan satu-satu nama teman laki-lakinya. Si asesor pun menjawab, ‘Ya itu banyak, kenapa ga sama ini, ini, ini,” tambahnya.

Pertanyaan yang muncul dari proses wawancara ini membuat Ashley dan para pegawai KPK semakin bingung, sebab tes wawasan kebangsaan yang mereka jalani terlampau masuk ke ranah privat. Tak ada indikator penilaian yang jelas: Apakah jika tidak menikah lantas tidak pantas jadi Aparatur Sipil Negara atau ASN? Apakah jika tidak memiliki anak atau memutuskan untuk memiliki anak lantas tidak pantas menjadi ASN?

Proses seleksi ini, kata Ashey, jauh berbeda dengan proses seleksi Indonesia Memanggil, rekrutmen resmi pegawai KPK yang Ia lakukan beberapa tahun silam. 

Dalam rekrutmen tersebut, Ashley harus melalui serangkaian acara tes administrasi, psikotes dua kali, Bahasa Inggris, asesmen kompetensi, wawancara awal dengan asesor pihak ketiga, Leader Group Disscussion (LGD), dan wawancara dengan atasan di unit tempat Ashley bekerja sekarang. Proses seleksi yang Ia ikuti dulu memiliki parameter penilaian yang jelas dan transparan, termasuk proses tahapan selanjutnya.

Badan Kepegawaian Daerah (BKN), melalui Siaran Pers yang ditandatangani oleh Plt. Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama, Paryono, berdalih bahwa persyaratan pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN yakni:

1.Setia dan Taat pada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah;

2.Tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan; dan

3.Memiliki integritas dan moralitas yang baik.

Dalam tes tersebut, BKN bekerja sama dengan beberapa lembaga seperti BAIS, BNPT, Pusat Intelijen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD, dan BIN untuk mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan dan observer pada tahapan proses asesmen.

Menuai Kecaman Publik

Proses seleksi pegawai KPK yang melecehkan peserta, bias SARA, serta diskriminatif ini menuai kecaman dari berbagai pihak, di antaranya Gerak Perempuan dan KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual), hingga organisasi profesi jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Sasmito Madrim, Ketua Umum AJI mengatakan dalam pernyataan sikap yang diterima www.Konde.co, bahwa pertanyaan dari proses seleksi tersebut tidak layak, mengganggu privasi, dan tidak ada keterkaitannya dengan tugas yang diemban oleh pegawai KPK.

“Munculnya tes wawasan kebangsaan tersebut adalah rentetan bentuk pelemahan terhadap KPK yang terjadi sejak Novel Baswedan disiram air keras, propaganda tak berdasar yang disebar buzzer ada “Taliban di KPK”, pengesahan revisi UU KPK, terpilihnya Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, hingga Mahkamah Konstitusi menolak uji formil revisi UU KPK,” ujar Sasmito dalam siaran pers yang diterima Konde.co, Minggu (9/5/2021).

Sasmito menambahkan bahwa AJI, sebagai organisasi pers yang memiliki misi untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi, mendesak Presiden Joko Widodo agar mengevaluasi proses asesmen pegawai KPK yang telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), serta tidak menjadikan hasil tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK.

“Kami juga mendesak Presiden dan DPR untuk mengevaluasi UU KPK hasil revisi yang semakin melemahkan KPK. AJI menilai sejak revisi UU KPK disahkan, terjadi kemunduran pemberantasan korupsi sepanjang 2020. Salah satunya ditunjukkan dengan data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dan Transparency International bahwa peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102 pada tahun 2020. Skor CPI Indonesia juga turun dari 40 pada tahun 2019 menjadi hanya 37 pada 2020,” kata Sasmito.

Dalam pemberitaan tentang proses seleksi KPK ini, AJI meminta kepada jurnalis dan perusahaan pers agar tetap kritis terhadap proses seleksi peralihan pegawai maupun bentuk pelemahan KPK lainnya. Sebab dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, salah satu fungsi pers yakni sebagai media kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!