Nasib Pasien BPJS; Terima Layanan Kesehatan Tak Berperspektif Perempuan

Nasib menjadi pasien BPJS: untuk ketemu dokter saja harus antre seharian. Kalau tetap memutuskan untuk nunggu di rumah sakit mungkin bisa sambil makan dan ngopi sampai perut kembung saking lamanya

Menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan itu sudah tak mudah sejak dia disebut sebagai perempuan. Kenapa demikian, karena setelah harus berjuang sebagai perempuan di dalam keluarga, perempuan juga harus berjuang supaya kebijakan pemerintah di semua bidang tak terkecuali bidang kesehatan, ramah terhadap perempuan dan anak

Saya masih ingat bagaimana suatu kali ada seorang teman yang sedikit bicara agak berteriak karena kesal terhadap layanan BPJS, “untuk apa bergabung menjadi peserta BPJS. Bukannya sembuh berobat pakai BPJS malah akan bikin sakitmu bertambah parah?.”

“Lha kok bisa?” tanyaku penasaran.

“Karena, mau kamu ambil BPJS kelas satu pun image BPJS itu kamu tetap kelas bawah, yang pelayanannyapun harus kamu yang memperjuangankan, perjuangannya sampai berdarah-darah’ sendirian,” ujar teman saya itu

Saya bergeming. Saya terbiasa berupaya untuk berpikir positif meskipun hasilnya kadang tak sesuai dengan yang saya pikirkan dan harapkan hingga perkataan teman saya tadi perlu saya percayai.

Saya kira dengan menjadi peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) untuk berobat atau konsultasi kesehatan bisa semudah seperti kami membayar BPJS melalui e-banking atau transfer melalui ATM atau tinggal sebut nomer di tempat perbelanjaan supermarket. Tetapi nyatanya tidak sama sekali. 

Sejak menjadi peserta BPJS, kami sekeluarga menggunakan fasilitas layanan dokter yang ditunjuk BPJS. Lokasinya tak jauh dari rumah dan tak perlu mengantre panjang.

Namun, untuk rumah sakit rujukan BPJS, saya menganggap pelayanannya tidak sensitif terhadap pasien, khususnya pasien perempuan dan anak.

Lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi juga tidak terlalu dekat. Sekitar lima kilometer dari rumah. Ada juga yang jaraknya delapan kilometer atau lima belas kilometer tergantung rumah sakit mana yang bekerjasama dengan BPJS yang kita pilih atau yang paling mudah kita jangkau. Jadi ukuran jauhnya ini akan beragam.

Memutuskan berangkat ke Rumah Sakit/ RS setelah mendapatkan surat rujukan dari dokter sendiri sebenarnya bukan perkara mudah. Saya harus meredam pergulatan batin memastikan diri sendiri bahwa apa pun hasilnya nanti apakah akan pulang dengan tangan kosong ataukah ada hasilnya, semua harus saya terima dengan hati lapang. Hingga akhirnya saya putuskan berangkat setelah berpikir selama hampir tiga minggu.

Karena zaman sudah canggih, maka sebelum berangkat saya menghubungi pihak RS terlebih dahulu. Karena saya pasien yang baru pertama kali menggunakan layanan rujukan dan menggunakan BPJS.

“Jadi harus datang langsung (ke RS) bu,” ujar suara pegawai bagian pendafataran RS di ujung telepon. Lalu berangkatlah saya dengan mengendarai sepeda motor beserta dua anak yang ada di jok belakang.

Ujian kesabaran dimulai dari sini. Dengan kesimpulan sementara bahwa sistem RS yang saya tuju tidak memiliki empati terhadap pasien apalagi saya sebagai seorang perempuan dengan dua anak yang tidak mempekerjakan pengasuh atau pekerja.

Ternyata RS yang kami tuju menganggap kami pasien BPJS, seolah punya banyak energi, waktu, dan tenaga untuk berjuang sekuat tenaga untuk bisa bertemu sang dokter.

Saat saya datang ke RS yang letaknya sekitar 5 kilometer dari rumah, yang saya menjangkaunya mau tak mau harus membawa dua anak karena kami di rumah hanya bertiga, kami yang berangkat dengan perjuangan dan harapan besar untuk bisa bertemu dokter, harus menelan rasa kesal karena kami pasien ber-BPJS. 

Menurut petugas RS bagian pendaftaran BPJS, jika ingin konsultasi dengan dokter spesialis yang akan saya tuju saya terlebih dahulu harus datang untuk mengambil antrean pukul 06.00 pagi. Alasannya supaya saya bisa mendapatkan antrean. Karena pasien dibatasi hanya 20 orang, yang prakteknya hanya hari Senin dan Rabu, maka saya harus ambil nomer antrian pagi sekali. Menurut petugas proses ini berlaku tidak hanya saat pandemi. Karena sistem pendaftaran ini sudah berjalan sebelum adanya covid-19.

Setelah mendapatkan nomer antrian, kata pegawai RS saya harus datang lagi ke RS pukuk 10.00 WIB untuk mendaftar. Dan jika sudah mendaftar mungkin saya bisa pulang dulu atau mungkin bisa nonkrong minum kopi sampai perut kembung karena dokter akan baru praktek pukul 4. Tetapi saran pegawai RS itu:

“Ibu pulang dulu saja, nanti pukul 4 sore datang karena dokternya ada pukul 4”.

Saya ternganga tak percaya tapi saya berusaha mendengarnya. Akhirnya saya tanyakan dan perjelas, apakah maksudnya untuk bertemu dokter spesialis ini saya harus datang tiga kali ke RS dalam waktu sehari?

“Memang begitu sistemnya bu, apalagi ibu baru pertama kali berobat,” kata petugas menjelaskan dengan intonasi suara naik seperti sedang mendaki gunung karena kesal dengan penekanan pertanyaan saya.

Saya akhirnya menyerah. Bagaimana mungkin, belum berobat saja saya sudah mau disiksa, merasa karena berobat menggunakan BPJS, meskipun kelas satu, harus mondar-mandir ke-RS laiknya orang sakit minum obat, 3 kali dalam sehari. Apalagi saya membawa dua anak belum lagi imbauan pemerintah dan tenaga medis untuk memutus rantai penyebaran Covid 19. Lha, kalau sistem RS dibuat supaya kami mondar-mandir di RS hanya untuk hal teknis dan sepele apakah himbauan dan anjuran seperti itu tepat?

Saya sudah sering mendengar ada banyak pasien yang mengeluhkan hal ini: pelayanan RS untuk menggunakan kartu BPJS yang sangat lama, harus antri sangat panjang, daftar dulu beberapa hari sebelumnya, bahkan ada yang berobat di RS ini dan hasil tes nya harus diambil di RS yang lain. Bagaimana jika ini menimpa orangtua yang sudah sakit dan harus ditangani secara cepat dan serius?

Sejujurnya saya kecewa, jika kami mematuhi aturan pemerintah untuk bergotong- royong mewujudkan masyarakat yang sehat berkeadilan sosial sebagaimana tujuan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bahwa dengan BPJS kita bisa membantu pasien lain dengan azas kemanusian dan berkeadilan, lantas bagaimana azas memberikan pelayanan kepada pasien yang ber-BPJS?. Orang yang tidak sibuk kerja saja mungkin belum tentu bersedia mondar-mandir ke RS sampai tiga kali hanya untuk mengambil kartu antrian, lalu daftar, dan datang lagi menunggu giliran bertemu dokter. 

Saya tidak bisa membayangkan jika pasien yang sakit ini adalah penderita penyakit kronis yang tidak bisa menawar-nawar waktu.

Pemerintah seharusnya berempati terhadap pasien dengan mengevaluasi layanan RS yang ber-BPJS. Pemerintah harus melindungi warga negaranya dengan memperbaiki sistem layanan BPJS supaya pasien tidak terus menerus ‘mengalah’ karena tidak bisa berkutik dengan sistem RS yang dibuat ‘seenaknya’ sendiri.

Selain bukan saja karena kami telah membayar BPJS setiap bulan untuk kesehatan kami, tetapi juga karena kami warga negara memiliki negara yang seharusnya melindungi warga negaranya. Bukan membuat warga negaranya merana sepanjang hayat karena layanan kesehatan RS yang semena-mena.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Kustiah

Mantan jurnalis detik.com, saat ini menjadi kontributor konde.co dan sedang menempuh studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!