NA, seorang pendamping korban kekerasan seksual mengalami penganiayaan karena kasus kekerasan seksual yang ia dampingi di sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur
Atas kejadian ini Komnas Perempuan mendorong aparat kepolisian untuk memastikan perlindungan bagi perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM), termasuk pada pendamping korban kekerasan seksual seperti NA, seorang perempuan pendamping korban dari Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS).
Sebelumnya, Organisasi perempuan Jombang Women Crisis Center (WCC) melapor ke Komnas Perempuan tentang kasus yang menimpa NA yang mengalami tindak penganiayaan, dan ancaman kekerasan pada 9 Mei 2021 terkait dengan kasus kekerasan seksual di pesantren yang ia dampingi.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini menyatakan, peristiwa penganiayaan terhadap NA ini menunjukkan rentannya para pendamping korban atas keselamatan diri dan keluarganya yang seharusnya memperoleh jaminan perlindungan dari negara.
“Peristiwa ini juga menunjukkan karena penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual akibat ketidakpastian hukum, impunitas pelaku kekerasan seksual, dan risiko pelanggaran hukum jadi berkelanjutan.”
Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan pada sejumlah kasus kekerasan seksual dengan pelaku pengurus organisasi keagamaan maupun pemimpin/tokoh agama, kondisi hambatan dalam mengakses keadilan kerap terjadi. Pertama, karena kultur patriarkis yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat apalagi korban masih berusia anak, santriwati atau mahasiswi dan pelaku mengancam korban.
Kedua, rape culture dalam masyarakat cenderung menyalahkan perempuan korban (reviktimisasi) sebagai penyebab kekerasan.
Ketiga, posisi pelaku sebagai pengurus, guru, kyai, pendeta atau memiliki relasi kekerabatan dengan tokoh/pemilik lembaga pendidikan keagamaan oleh masyarakat dipandang terhormat, menjadi panutan dan berpengaruh.
Theresia Iswarini menyatakan bahwa pendamping korban kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan perempuan pembela HAM yang bekerja untuk membela hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan, termasuk dengan melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan. Kerja-kerja PPHAM berkesesuaian dengan hak konstitusional warga, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C Ayat 2 UUD NKRI 1945, untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
“Maka perlindungan pada hak-hak asasi manusia yang dijamin di dalam konstitusi merupakan tanggung jawab negara. Karena itu, kekerasan dan diskriminasi pada PPHAM merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga dan tanggung jawab konstitusional negara sebab dilakukan terhadap PPHAM yang menggunakan haknya untuk memperjuangkan hak perempuan, dalam kasus ini hak korban kekerasan seksual,” kata Theresia Iswarini
Perlindungan Perempuan Pembela HAM juga dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu: UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pentingnya perlindungan terhadap Pembela HAM telah pula menjadi agenda internasional dengan disahkannya sejumlah kesepakatan internasional
Berdasarkan pertimbangan tersebut Komnas Perempuan merekomendasikan Kepolisian Polsek Ploso, Jombang untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan dan ancaman terhadap PPHAM dan memastikan korban dan keluarganya mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan ancaman kekerasan lanjutan dan mencegah kriminalisasi pada PPHAM
Pada Polda Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk segera berkoordinasi untuk menuntaskan penyidikan kasus kekerasan seksual agar kepastian hukum dan perlindungan terhadap korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan terpenuhi
Komnas Perempuan juga merekomendasikan Kementerian Agama dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk mengembangkan program untuk memastikan lingkungan Pendidikan pesantren aman dari kekerasan seksual;
“Pemimpin dan pemuka agama dan masyarakat di Provinsi Jawa Timur agar mendorong penggunaan mekanisme hukum dan mencegah tindakan-tindakan kekerasan atau main hakim sendiri, dan mempercayakan kedua kasus tersebut diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Dan pada DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang di dalamnya menjamin hak-hak korban dan pendamping korban kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi,” kata Theresia Iswarini
Untuk Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi Korban dan ORI serta pihak-pihak relevan lainnya untuk memperkuat upaya memberikan dukungan dan perlindungan atas kerja-kerja PPHAM, termasuk pendamping korban kekerasan seksual.
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)