Pertanyaan Lebaran Yang Memojokkan Perempuan: Kapan Kawin?

Pertanyaan khas lebaran: kapan kawin atau sudah punya calon belum? selalu menjadi momok bagi perempuan dan siapapun yang lajang. Seolah-olah menikah adalah tujuan akhir setiap perempuan

Kamu pernah dengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini?. Pertanyaan seperti ini selalu membuat banyak teman perempuan saya enggan untuk pulang atau ketemu keluarga saat lebaran atau saat hari raya:

“Kapan kawin?.”

“Sudah punya calon belum?.”

Pertanyaan seperti ini selalu membuat galau. Bahkan pertanyaan: “sudah punya calon belum?,” ini seolah menjadi password setiap perjumpaan dengan saudara.

Belum lagi sindiran-sindiran halus seperti:

“Teman SMA mu si Ani itu sudah hamil lho sekarang! Atau “si Ratna kemarin menikah, kamu diundang nggak?.”

Ini adalah percakapan teman-teman saya, para perempuan muda yang bertemu sebelum hari raya:

“Siapa sih yang nggak pengen nikah?. Tapi kalau belum ada yang cocok masak harus sembarangan cowok diajak menikah?,” keluh Novi menghadapi tuntutan orang tuanya untuk segera menikah ketika lebaran tahun lalu.

“Itu sebabnya aku kadang agak malas kalau pulang lebaran,” katanya dengan lesu.

“Aku paling males kalau terus dikenalkan dengan anak kenalan bokap!,” sahut Tina

“Kalau aku masih ingin berkarir dan tidak ingin menikah cepat-cepat! Aku ingin punya suami yang sejalan dan sepikiran sama aku!,”jawab Indah.

“Tapi mana mengerti orangtuaku. Aku terlalu banyak baca buku, terlalu serius katanya aku ini,” lanjut Indah dengan perasaan kesal.

“Kenapa sih, kita harus menikah cepat-cepat?,” sahut Novi

“Kenapa kita tidak dibiarkan menjadi diri kita, ngelakuin apa yang kita inginkan?,” kata Tina

“Iya, ketika aku bilang mau kuliah S2, Ayahku malah bilang, anak perempuan nggak usah sekolah tinggi-tinggi nanti laki-laki takut melamar. Sebel khan, kalo laki nggak bernyali ya pasti nggak aku pilih lah,” kata Indah.

Ada banyak orang yang ingin berkarir, ada yang tak mau menikah dan mengadopsi anak saja cukup, ada yang ingin tetap sekolah setinggi mungkin dan ada yang ingin menghabiskan hidupnya dengan menjadi macam-macam, jadi traveller, mengajar di sebuah universitas di luar negeri, menjadi pekerja dan aktivis di daerah konflik, dan tentu masih banyak lagi.

Teman-teman lain juga banyak yang menjadikan pernikahan bukan sebagai titik akhir perjalanan hidup. Kalaupun ada yang memutuskan menikahpun, mereka juga tak repot jika tidak mempunyai anak. Karena sumber kebahagiannpun tidak hanya itu. Ada banyak hal yang membuat saya bahagia. Ada banyak hal yang membuat adik saya bahagia.

Itulah sekelumit curhatan perempuan-perempuan yang merasakan momok ketika menghadapi lebaran dan mudik. Momok atau ketakutan ini hampir dialami banyak perempuan, yang bila sudah berusia 25 tahun ke atas pasti akan ada dorongan untuk segera menikah oleh keluarga. Menikah seakan-akan kewajiban dan keharusan yang harus dipenuhi bila tidak ingin dikatakan menentang keinginan orang tua.

Lebaran atau hari raya jadi sesuatu yang sulit untuk perempuan yang masih lajang, belum menikah atau bahkan menjanda. Ada teman buruh migran yang sudah menjanda ketika pulang lebaran diminta menikah atau dinikahkan oleh keluarganya dengan seorang laki-laki. Katanya tidak baik menjanda tanpa suami. Namun setelah libur lebaran, diapun kembali keluar negeri dan harus menafkahi suaminya ini.

Berlomba memperkenalkan laki-Laki

Semua keluarga lalu seperti berlomba mengenalkan perempuan dengan para laki-laki yang siap dinikahi, atau dengan sopan dan halus menyindir atau membandingkan dengan perempuan muda lain yang sudah berkeluarga.

Setiap tahun sindiran, dorongan, dan desakan akan semakin kuat intensitasnya. Apalagi bila usia sudah 30 tahun maka desakan itu akan semakin kuat dan keras, bahkan akan semakin lugas dan terang-terangan.

Mereka tidak pernah bertanya: apakah anaknya ingin menikah atau tidak? apakah anaknya bahagia atau tidak? mereka tidak pernah bertanya apa keinginan anaknya.  Menikah dan memiliki anak seperti tujuan akhir perjalanan hidup perempuan. Semua pencapaian perempuan seperti diukur dari bagaimana rumah tangganya, apakah dia bisa membahagiakan suaminya, bisa beranak dan merawat anaknya.

Tidak peduli setinggi apa prestasinya atau karir perempuan selama dia belum menikah maka bisa dikatakan dia belum sepenuhnya berhasil sebagai perempuan dan tidak bisa dibanggakan ketika lebaran.

Sekarang kembali pulang dengan kegalauan sambil memikirkan jawaban apa lagi yang akan diberikan ketika pulang:

“Kapan kawin?.”

“Sudah punya calon belum?.”

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!