Riset KPI Soal Praktik Perkawinan Anak; Anak Dijodohkan Untuk Bayar Hutang

Hasil riset Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dan Plan Indonesia tentang praktik perkawinan anak di 7 kota menyebut, orang tua berkontribusi dalam praktik perkawinan anak, yaitu dengan cara memalsukan identitas anak, melakukan perjodohan dan menjadikan anak untuk ganti rugi bayar hutang

Secara statistik angka perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat ke-4 tertinggi di Asia dan peringkat pertama di ASEAN. Hal ini dipaparkan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama Plan Indonesia dalam acara launching hasil studi tentang Praktik Perkawinan Anak sebagai hasil observasi situasi dan kondisi di beberapa daerah paska amandemen umur perkawinan anak menjadi 19 tahun dalam Undang-Undang Perkawinan Anak, 4 Mei 2021

Hasil studi Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dan Plan Indonesia menyebutkan, inisiatif perkawinan anak ternyata banyak yang berasal dari orangtua dan juga anak.

Di tingkat anak misalnya, banyak ditemukan bahwa inisiatif awal praktik perkawinan karena terdorong oleh keinginan mereka untuk mengikuti jejak temannya yang telah menikah terlebih dahulu. Anak kemudian meyakini bahwa temannya yang telah melangsungkan pernikahan memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Labelin kawin usia anak itu oke, kawin usia dewasa itu tidak baik, ini kemudian menjadi kampanye efektif mengajak anak menikah cepat, padahal perkawinan anak sangat beresiko

Gaya berpacaran anak yang beresiko terhadap kesehatan reproduksinya juga berpotensi mendorong kehamilan remaja perempuan dan berujung pada perkawinan anak.

Ini menunjukkan bahwa faktor sosial berkontribusi banyak dalam terjadinya kasus perkawinan anak, seperti adanya pengaruh pergaulan, pengaruh lingkungan, menjalani pergaulan beresiko, kenakalan remaja, korban kekerasan seksual, adanya tipu daya, keinginan orang tua untuk mendapatkan cucu atau menantu, adanya desakan masyarakat sekitar, mengikuti teman yang sudah menikah, hubungan tidak mendapatkan restu orang tua, atau keinginan kuat dari anak sendiri untuk menikah atas dasar hubungan percintaan.

Beberapa modus perkawinan anak yang kerap dilakukan oleh para orang tua, antaralain memalsukan identitas anak, khususnya umur, melakukan perjodohan, pemaksaan dari orang tua karena keputusan orang tua yang merasa khawatir atau harus menuruti norma setempat, dan kemudian mengawinkan anak sebagai ganti hutang keluarga dan memaksa menikah karena keluarga setuju dengan nilai maharnya.

Alasan lain karena kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), alasan ekonomi yang dibuat-buat sebagai alasan agar dispensasinya dikabulkan oleh hakim, misalnya meyakinkan ke hakim jika keluarga mempelai mampu secara finansial sehingga bisa menjamin perkawinan dan dinikahkan secara agama terlebih dahulu (nikah Siri), baru kemudian mengajukan permohonan nikah ke KUA pada saat usia telah mencukupi.

Peningkatan penggunaan internet dan media sosial (medsos) yang semakin pesat, terutama di kalangan anak dan remaja, telah menyebabkan perubahan gaya komunikasi dan interaksi sosial di antara anak dan remaja. Paparan berbagai jenis informasi dari internet terutama medsos dapat secara cepat dan mudah diakses oleh anak/remaja baik di perkotaan maupun perdesaan. Paparan konten pada anak dapat termasuk konten negatif yang beresiko terhadap hidupnya, seperti pornografi, promosi perilaku pacaran beresiko pada remaja, informasi yang salah tentang seksualitas dan reproduksi, promosi perkawinan anak

Studi ini mengidentifikasi trend perkawinan anak yang terjadi pasca perubahan umur perkawinan dalam Undang Undang Perkawinan. Sebelumnya amandemen ini telah membawa perubahan signifikan yang mengatur batas minimum usia perkawinan untuk laki -laki dan perempuan yaitu 19 tahun serta aturan tentang pemberian dispensasi perkawinan.

Hasil studi yang dilakukan para peneliti antaralain Mike Verawati, Dian Kartikasari, Nazla Mariza, Bambang Wicaksono, Novita Anggraini, Ria Yulianti dan tim peneliti menemukan belum terjadinya perubahan secara signifikan jumlah perkawinan anak di 7 daerah di Indonesia yaitu kabupaten/kota yaitu Sukabumi (Jabar), Rembang (Jateng), Lombok Barat (NTB), Lembata (NTT), Palu, Sigi, dan Donggala (Sulteng).

Studi juga menemukan setidaknya terdapat 9 (sembilan) faktor yang menurut para informan menjadi pendorong praktik perkawinan anak di daerah yaitu sosial (28,5%), kesehatan (16,5%), pola asuh keluarga (14,5%), ekonomi (11,9%), teknologi informasi (11,1%), budaya (10,1%), pendidikan (5,6%), agama (1,4%), dan hukum (0,4%).  Hal ini diungkapkan peneliti KPI, Dian Kartikasari dalam diseminasi hasil studi perkawinan anak ini pada 4 Mei 2021 secara daring

Perkawinan anak belum menurun secara signifikan

Pasca pengesahan dan pemberlakukan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai revisi UU Perkawinan, penurunan angka perkawinan anak ternyata belum terlihat secara signifikan.

Hasil penelitian menyebutkan ini disebabkan karena kemudahan dispensasi perkawinan menjadi celah dan berpotensi melemahkan upaya implementasi kebijakan pencegahan perkawinan anak.

“Adanya perspektif hukum yang beragam sehingga pada banyak kasus permohonan dispensasi, hakim cenderung kurang/tidak melakukan pendalaman informasi dari sudut kepentingan anak selama proses peradilan dan pengambilan keputusannya. Pemberian dispensasi di Pengadilan Agama cenderung tanpa mempertimbangkan kedaruratan suatu perkara. Proses menghadirkan saksi ahli hanya berasal dari kesaksian calon mempelai dan keluarganya,” kata Dian Kartikasari

Tingkat kesadaran masyarakat juga sangat mempengaruhi praktik perkawinan anak. Pada kasus tertentu apabila dispensasi tidak dapat ditempuh maka masyarakat akan memilih cara lain yakni dengan melakukan perkawinan secara siri atau menikah di bawah tangan.

“Dalam situasi sosial seperti ini, perlu intervensi hingga ke akar rumput. Intervensi kebijakan saja tidak cukup untuk mengubah norma sosial dan perspektif masyarakat. Perlu diimbangi kampanye perubahan perilaku secara masif di akar rumput agar meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menurunkan kasus perkawinan anak di berbagai daerah,” ujar Dian Kartikasari

Regulasi Cegah Perkawinan Anak Hadapi Tantangan Besar

Beberapa pemerintah daerah telah merancang regulasi dan program pencegahan perkawinan anak ke dalam legislasi daerah, seperti RPJMD, Perda, Perbup/Perwali, RAD, dan RPJMDes, namun hal tersebut masih membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat terkait penyediaan panduan kebijakan teknis di lapangan agar secara efektif mampu mengimplementasikan kebijakan secara efektif untuk menurunkan angka perkawinan anak.

Selain tu, perlu sosialisasi kepada pemerintah daerah lainnya yang belum memahami dan memiliki regulasi pencegahan perkawinan anak agar turut bergerak karena pencegahan perkawinan anak telah menjadi agenda pembangunan nasional.

Efektivitas implementasi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, khususnya terkait penerapan ketentuan batas minimal usia perkawinan masih menemui banyak tantangan besar. Sinergitas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan turunan UU Perkawinan masih belum optimal dalam menekan angka perkawinan anak di daerah. Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa telah menyusun banyak regulasi dan program pencegahan perkawinan anak, baik dalam bentuk Stranas PPA, Peraturan Mahkamah Agung, Program Pusaka Sakinah, Perda, Surat Edaran Gubernur/Bupati/Walikota, Perdes, dan sebagainya. Namun, faktanya jumlah perkara/permohonan dispensasi perkawinan anak masih tetap terus bertambah sepanjang waktu.

Karakteristik praktik perkawinan anak selama masa COVID-19

Dalam masa Covid-19, penelitian juga menemukan bahwa banyak kasus perkawinan anak dilakukan secara agama atau tidak dicatatkan di KUA.

Kebijakan PSBB yang mengharuskan para staf pemerintah daerah bekerja di rumah (Work From Home/WFH), termasuk di kantor pencatatan sipil, KUA, dan pengadilan agama.

“Dari informasi beberapa responden diperoleh informasi bahwa perkawinan anak menjadi sulit dipantau karena proses perkawinan anak dapat dengan mudah dilakukan secara adat tanpa harus ke KUA terlebih dahulu. Dikarenakan situasi pandemi COVID-19, beberapa orang tua melakukan praktik perkawinan anak dengan menggunakan modus ‘kawin siri’ terlebih dahulu tanpa melajukan pencatatan secara hukum di KUA sehingga tidak perlu menjalani prosedur perkawinan yang kompleks.”

Potensi perkawinan anak karena motif ekonomi cenderung mengalami peningkatan. Kondisi ekonomi yang semakin memburuk selama pandemi, berdampak pada merosotnya kemampuan ekonomi keluarga untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Responden di Rembang, Sukabumi, dan Donggala memberikan informasi terkait dampak ekonomi keluarga di masa pandemi COVID-19 ini telah meningkatkan angka kemiskinan yang memaksa beberapa orang tua untuk meminta anak berhenti sekolah akibat keterbatasan/ketiadaan biaya pendidikan. Kemudian, atas pertimbangan ekonomi agar anak tidak menjadi beban finansial bagi keluarga maka orang tua kemudian menikahkan anaknya. Dalam perspektif orang tua, dengan menikahkan anaknya (anak perempuan) maka otomatis segala kebutuhan hidup anak tersebut akan menjadi kewajiban atau tanggungan suaminya.

Efektivitas implementasi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, khususnya terkait penerapan ketentuan batas minimal usia perkawinan masih menemui banyak tantangan besar.

Sinergitas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan turunan UU Perkawinan masih belum optimal dalam menekan angka perkawinan anak di daerah. Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa telah menyusun banyak regulasi dan program pencegahan perkawinan anak, baik dalam bentuk Stranas PPA, Peraturan Mahkamah Agung, Program Pusaka Sakinah, Perda, Surat Edaran Gubernur/Bupati/Walikota, Perdes, dan sebagainya. Namun, faktanya jumlah perkara/permohonan dispensasi perkawinan anak masih tetap terus bertambah sepanjang waktu.

Anak Muda Lakukan Kampanye pencegahan perkawinan anak

Sejumlah anak muda kemudian melakukan kampanye stop perkawinan anak. Salsa  dari kelompok perlindungan anak desa (KPAD) Rembang kemudian kampanye tentang pacaran sehat dan kesehatan reproduksi dan mengajak perempuan bicara

Sedangkan Rama Sayudhia KPAD  Lombok Barat mengakui bahwa internet bisa digunakan untuk sosialisasi atau menggerakkan, tetapi bisa juga berpengaruh negatif.

Maka yang dilakukan adalah menggerakkan forum desa yang melibatkan anak muda dan orangtua yang belum tahu soal isu kessehatan reproduksi anak muda dan bagaimana menjalin relasi anak muda

“Ada posyandu remaja untuk di dusun juga, bimbingan konseling agar anak laki-laki tidak hanya main game dan perempuan di rumah saja, jadi kami membuat kegiatan bersama,” kata Rama Sayudhia

Dari laporan ini diharapkan dapat digunakan sebagai basis advokasi oleh berbagai pihak untuk terus mendorong upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia sesuai mandat dalam perubahan Undang-undang Perkawinan dan melibatkan banyak pihak

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!