Riset Membuktikan Publik dan Pemangku Kepentingan Dukung Pencegahan Kekerasan Seksual

Dua penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa secara umum, para pemangku kepentingan mendukung perlunya undang-undang yang mengatur pencegahan kekerasan seksual.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun ini.

RUU ini – pertama kali diusulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2012 – sempat masuk Prolegnas Prioritas 2020, tapi kemudian dikeluarkan dengan alasan pembahasan yang “agak sulit”.

Hingga kini pun, berbagai kelompok masyarakat sipil masih mempertanyakan keseriusan dan komitmen DPR terhadap pencegahan kekerasan seksual.

Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2020 terdapat 2.945 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah publik dan pribadi.

Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pelaporan kasus menurun karena pada 2020 karena tidak semua lembaga mengembalikan kuesioner kepada mereka, walau selama pandemi Komnas mengirim kuesioner secara daring.

Sebelumnya, komnas mencatat 4.898 kasus serupa terjadi pada 2019, dan 5.509 kasus pada 2018.

Mayoritas perkara kekerasan seksual tidak memperoleh penyelesaian, antara lain karena di Indonesia belum mengenali ragam bentuk kekerasan seksual – misalnya kekerasan seksual di internet.

Dua penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa secara umum, para pemangku kepentingan mendukung perlunya undang-undang yang mengatur pencegahan kekerasan seksual.

Masyarakat luas juga mendukung perlunya aturan itu, namun sebagian besar mereka tidak tahu adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dibahas.

Padahal, RUU ini mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Maka penting bagi pemerintah, DPR, dan semua pihak untuk memperbaiki strategi komunikasi, kampanye, dan advokasi.

Dukungan pemangku kepentingan

Kami meneliti sikap dan pandangan pemangku kepentingan terkait RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dan Undang-undang tentang Perkawinan (UUP) pada 2019 yang menetapkan usia minimal perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun.

Kami melakukan diskusi kelompok dan wawancara pada pada 106 narasumber yang mewakili beragam kementerian, lembaga, organisasi masyarakat sipil, profesi, dan usia pada Februari – Mei 2020.

Diskusi kelompok terfokus dilakukan bersama 38 pemangku kepentingan yang mewakili lembaga penyedia layanan publik, kelompok muda, organisasi keagamaan dan penghayat kepercayaan, lembaga swadaya masyarakat, wartawan, serta kepolisian.

Wawancara kami lakukan pada 69 narasumber di Aceh, Sumatera Barat, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Ada tiga kelompok berbeda pandangan di antara para pemangku kepentingan yang kami temukan.

Pertama, mereka yang melihat bahwa RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dan revisi UUP berdampak langsung pada kesetaraan gender; kedua, mereka yang melihat kedua aturan itu berdampak tidak langsung; dan ketiga, mereka yang berpandangan bahwa kedua aturan itu tidak serta-merta berkontribusi mewujudkan kesetaraan gender.

Secara umum, berbagai lembaga penyedia layanan publik, kelompok muda, dan kelompok penyintas dan keluarganya, memberikan dukungan tinggi dan ingin terlibat dalam RUU ini. Terlibat di sini, misalnya, dengan ikut memberi masukan membangun terhadap materi RUU, atau terlibat dalam membagikan informasi dan sosialisasi.

Dukungan dari berbagai lembaga penyedia layanan publik, misalnya, berkaitan erat dengan pandangan mereka bahwa ada kebutuhan segera untuk melakukan perubahan sistem hukum untuk mengatasi beragam hambatan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Hambatan itu antara lain belum terbangun keterpaduan penanganan, minimnya sinergi antar layanan hukum, dan rapuhnya aturan hukum kekerasan seksual.

Sebagian narasumber dari organisasi keagamaan dan penghayat kepercayaan, tokoh-tokoh agama, serta organisasi masyarakat sipil mengungkapkan persetujuan bahwa penanganan permasalahan kekerasan seksual yang lebih baik perlu dilakukan lewat penyempurnaan sistem hukum.

Bagi narasumber dari organisasi keagamaan dan penghayat kepercayaan, misalnya, dukungan terhadap RUU Pencegahan Kekerasan Seksual didasarkan pada prinsip universal bahwa kekerasan seksual adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dalam prinsip agama dan kepercayaan manapun.

Pemahaman masyarakat

Untuk mencari tahu respons dan sikap masyarakat, kami melakukan survei lewat telepon pada 2.210 responden secara merata di 34 provinsi pada Mei – Juli 2020.

Beberapa temuan utama kami menunjukkan bahwa, mayoritas responden (70,5%) mendukung adanya pengaturan terkait perlindungan dari kekerasan seksual. Namun, sebagian besar mereka yang mendukung mengatakan tidak pernah mendengar soal RUU Pencegahan Kekerasan Seksual.

Kami juga menemukan bahwa sebagian besar responden (71.8%) pernah mengalami kekerasan seksual, baik pada diri sendiri, pada anggota keluarga ataupun pada orang lain yang dikenalnya. Mereka juga menyatakan bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.

Temuan lain dari survei ini, mayoritas responden yang pernah mengalami kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya dengan alasan takut (33.3%), malu (29.0%), tidak tahu melapor ke mana (23.5%), dan bahkan merasa bersalah (18.5%).

Temuan survei juga menunjukkan bahwa ada anggapan di masyarakat bahwa kekerasan seksual terjadi karena kesalahan korban – misalnya karena mengenakan pakaian terbuka (69,7%) – dan bahwa kekerasan atau pelecehan seksual lebih wajar dialami perempuan ketimbang laki-laki (62,8%).

Pengaturan lebih baik

Berbagai sikap dan pandangan para pemangku kepentingan dan masyarakat umum penting menjadi masukan karena mereka mengharapkan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dapat menanggapi permasalahan dan memberikan pengaturan yang belum ada.

Dalam masalah budaya hukum, misalnya, RUU ini dapat mengatur respons sistem hukum dalam pelaporan kasus kekerasan seksual, isu consent (persetujuan) perempuan dalam kasus kekerasan seksual, dan penggunaan riwayat seksual.

Terkait substansi hukum, undang-undang (UU) baru diharapkan dapat mengisi kelemahan dan kekosongan hukum dalam pengaturan kekerasan seksual, adanya aturan hukum yang merugikan korban, dan kelemahan hukum yang ada untuk melindungi korban.

UU Pencegahan Kekerasan Seksual juga nantinya dapat mengatur koordinasi dan sinergi lebih baik antar layanan, keterbukaan informasi perkembangan perkara di instansi penegak hukum, penyediaan dukungan pemulihan korban, dan kebutuhan dukungan anggaran untuk bantuan hukum dan pemulihan korban.

Yang perlu dilakukan

Berdasarkan temuan-temuan kami, ada hal-hal penting untuk segera dilakukan, berikut sebagian di antaranya.

Pertama, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual.

Penolakan dari sebagian masyarakat perlu dipahami sebagai akibat belum ada pemahaman atau informasi yang baik.

Kedua, terkait pemberian informasi, pemerintah harus mengambil peran aktif dan strategis.

Pemerintah perlu memastikan adanya mekanisme pencegahan kekerasan seksual dengan memberikan informasi yang benar terkait kekerasan seksual, terutama melalui jalur pendidikan dengan memanfaatkan media massa dan media sosial.

Ketiga, lembaga bantuan hukum, lembaga penyedia layanan dan lembaga pendampingan lain perlu memperluas sosialisasi layanannya.

Ini agar masyarakat mampu bertindak lebih cepat ketika terjadi kekerasan seksual, dan dapat memeroleh penanganan dan pendampingan yang lebih baik.

Keeempat, aparat penegak hukum khususnya kepolisian, perlu meningkatkan layanan kepolisian yang humanis dalam menerima laporan.

Misalnya, dengan menggunakan ruang pelayanan khusus yang lebih baik, menyediakan petugas atau penyidik yang memahami keadilan gender, tidak menyalahkan korban, tidak menanyakan riwayat seksual korban, merujuk korban untuk mendapatkan visum dan pendampingan, dan memberikan perlindungan atas keamanan korban.

Dalam kekerasan seksual, siapa pun dapat menjadi korban. Hadirnya undang-undang yang mengatur kekerasan seksual secara lebih menyeluruh akan memberi manfaat bagi semua orang, laki-laki atau perempuan.

World Economic Forum (WEF) melaporkan kesenjangan gender di Indonesia cenderung memburuk. Penghapusan atau pengurangan kekerasan seksual akan berkontribusi besar terhadap upaya pencapaian kesetaraan gender di Indonesia.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)


Berikan dukungan Anda pada Rancangan UU Pencegahan Kekerasan Seksual dengan menandatangani petisi ini.

Artikel ini terbit berkat kerja sama The Conversation Indonesia dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Tatat, Program Manager, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Intan Kusumaning Tiyas, Program Assistant Inequality, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), dan Megawati, Program Officer, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tatat

Program Manager, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!