Hamil dan Tak Bisa Sekolah; Nasib Anak Perempuan Dalam Perkawinan Anak

Hamil di usia sekolah. Apakah anak perempuan mendapatkan haknya untuk ke sekolah seperti halnya anak laki-laki?

Saya paling suka tulisan Mahatma Gandhi tentang pendidikan. Gandhi pernah menulis begini: “pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia”

Dari tulisan ini saya membayangkan jika pendidikan di Indonesia akan menampakkan wajah humanisnya. Namun sayang, wajahnya masih samar karena pendidikan di Indonesia diwarnai wajah perkawinan anak yang mengorbankan nasib anak-anak perempuan. Padahal pencegahan perkawinan anak merupakan bentuk perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap hak anak untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal.

Kita sudah sering sering mendengar ada anak perempuan yang karena hamil jadi tak bisa sekolah, entah sekolahnya yang tak memperbolehkannya, atau ia yang harus serius mengurus kehamilan dan akhirnya ia tak lagi punya kesempatan ke sekolah

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, praktik perkawinan anak di Indonesia memang telah mengalami penurunan sebanyak 3,5%. Namun, penurunan ini masih tergolong lambat dan diperlukan upaya yang sistemik dan terpadu untuk mencapai target 8,74% pada 2024 dan 6,94% pada 2030.

Pencanangan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak yang telah diluncurkan pada Februari 2020 sebenarnya bisa menjadi acuan seluruh pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah untuk bekerja bersama dalam menyelesaikan isu kompleks perkawinan anak. Kebijakan dan strategi pembangunan, telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Di dalam RPJMN 2020-2024, perkawinan anak menjadi salah satu indikator di dalam Prioritas Nasional 3 meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing, pada Program Prioritas peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda.

Perkawinan Anak Problem Multidimensi

Perkawinan anak sejatinya merupakan persoalan multidimensi. Kemiskinan, kondisi geografi, kurangnya akses terhadap pendidikan dan putus sekolah, ketidaksetaraan gender, konflik sosial dan bencana, ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi komprehensif, norma sosial yang menguatkan stereotipe gender tertentu, misalnya perempuan seharusnya menikah muda, dan budaya atau intepretasi agama dan tradisi lokal adalah faktor yang ditengarai berkontribusi terhadap masih tingginya prevalensi perkawinan anak di Indonesia.

Hal ini termuat dalam Laporan Pencegahan Perkawinan Anak yang disusun Badan Pusat Statistik bersama dengan UNICEF dan PUSKAPA UI memperbaharui data terkait perkawinan anak dan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan pekerjaan.

Menurut SUSENAS 2017, di antara perempuan 20-24 tahun yang sudah menikah, alasan utama mengapa mereka tidak bersekolah lagi adalah menikah (47,9% untuk yang menikah di bawah 18 tahun dan 42,1% untuk menikah di atas 18 tahun).

Alasan terbesar selanjutnya adalah mengurus rumah tangga dan tidak ada biaya sekolah. Sedangkan di antara perempuan 20-24 tahun yang belum menikah, terdapat 34,94% mengaku masih bersekolah dan jika tidak bersekolah lagi, alasan terbesarnya adalah karena bekerja (30.54%), dilanjutkan dengan tidak ada biaya sekolah dan merasa pendidikannya sudah cukup. Untuk laki-laki yang berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum umur 18 tahun, alasan utama berhenti sekolah adalah menikah (41,78%).

Selanjutnya dengan alasan terbesar kedua yakni bekerja (28,90%). Sementara itu, untuk yang menikah setelah 18 tahun alasan bekerja atau mencari nafkah adalah yang paling banyak disebutkan (34,83%) dan alasan menikah adalah alasan terbesar yang kedua.

Wajah Pendidikan Indonesia dengan Perkawinan Anak

Situasi terkini mengenai wajah pendidikan di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat terdapat 157 ribu siswa SD hingga SMA putus sekolah pada tahun ajaran 2019/ 2020.

Siswa yang putus sekolah paling banyak berada di jenjang sekolah dasar (SD) sebanyak 59,4 ribu siswa. Padahal di beberapa tahun sebelumnya, jumlah anak yang putus sekolah di jenjang pendidikan dasar berkurang signifikan, dari 60.066 di 2015/2016 menjadi 32.127 pada 2017/2018. Selanjutnya di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 38,5 ribu siswa.

Di tingkat sekolah menengah atas (SMA) ada 26,9 ribu siswa dan 32,4 ribu siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) yang berhenti sekolah. Jika kita mencermati jumlah siswa yang putus sekolah pada tingkat SMA/SMK maka jumlahnya mencapai 59,3 ribu siswa. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi kedua dari angka putus sekolah jenjang SD.

Meskipun data yang tersedia tidak berkorelasi langsung antara angka putus sekolah dengan perkawinan anak, namun mencermati angka putus sekolah tahun ajaran 2019/2020 yang makin meningkat khususnya dua tahun terakhir maka keterhubungan dari putus sekolah menjadi penyebab perkawinan dan sebaliknya perkawinan menjadi penyebab putus sekolah, sejalan dengan berbagai penelitian dan temuan lapangan oleh DPPPA kabupaten/kota ketika melakukan pendampingan bagi anak yang terlibat dalam perkawinan dalam proses persidangan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan.

Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab siswa putus sekolah. Organisasi tersebut memperkirakan terdapat sekitar 1% siswa yang berhenti sekolah akibat pandemi. Penyebab mendasarnya akibat PHK dan kehilangan sumber penghasilan orang tua yang berujung pada kemiskinan.

Pada sisi yang lain, berdasarkan data yang publikasikan Seknas FITRA yang dirangkum dari APBN 2015-2020, menunjukkan peningkatan anggaran pendidikan yang signifikan setiap tahunnya. Secara berurutan dalam Trilliun: 370,4 (2016), 419,8 (2017), 444,1 (2018), 492,5 (2019) dan 505,8 (2020).  Bahkan pada tahun 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran 549,5 Triliun untuk pendidikan. Anggaran pendidikan tahun 2021 sebesar Rp549,5 triliun atau 20 % dari APBN akan difokuskan untuk meningkatkan kualitas SDM.

Tersajinya data angka putus sekolah yang paling tinggi pada dua tahun terakhir selain dapat berkorelasi pada meningkatnya perkawinan anak. Juga sangat berpengaruh pada tingkat kemiskinan yang peluang kerja lebih dominan ke sector informal. Juga akan mempengaruhi angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) sebagai salah satu indikator pencapaian pembangunan nasional.

Sehingga peningkatan anggaran pendidikan khususnya tahun 2021, diharapkan dapat mengatasi penyebab siswa putus sekolah akibat pandemi melalui berbagai program agar proses belajar mengajar dapat berjalan lebih efektif, salah satunya adalah Program Indonesia Pintar. Program Indonesia Pintar (PIP) adalah bantuan berupa uang tunai yang diberikan oleh Pemerintah kepada peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu yang mengalami kesulitan untuk membayar biaya pendidikan.

Sebagaimana diatur dalam Permendikbud 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar, dana PIP digunakan oleh peserta didik untuk memenuhi segala kebutuhan pendidikan seperti membeli perlengkapan sekolah, biaya transportasi, uang saku hingga untuk uji kompetensi. Tujuan dari PIP untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu agar dapat menyelesaikan pendidikannya, baik melalui jalur formal seperti SD hingga SMA/SMK, maupun jalur non formal yaitu Paket A, Paket C dan pendidikan khusus. Melalui program PIP tersebut, Pemerintah berupaya mencegah peserta didik putus sekolah. Juga berharap dapat membuat peserta didik yang putus sekolah untuk dapat melanjutkan kembali pendidikannya.

Intervensi melalui sektor pendidikan ini diharapkan dapat menjadi jalan untuk keluar dari Labirin kerumitan dan berbelit-belitnya faktor-faktor penyebab perkawinan anak seperti kemiskinan, pemahaman orang tua karena faktor pendidikan (ketika kelak mereka menikah), serta berbagai faktor yang ditengarai berkontribusi terhadap masih tingginya prevalensi perkawinan anak di Indonesia.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Lusia Palulungan

Aktivis Perempuan, Advokat dan Konsultan Kebijakan Publik
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!