Korban Kekerasan Seksual Harus Menikah Dengan Pelaku? Ini Malapetaka Bagi Korban

Korban perkosaan yang diminta menikah dengan pelaku adalah malapetaka bagi korban. Ini dialami korban perkosaan yang pelakunya adalah anak DPRD di Bekasi. Padahal seharusnya pelaku dihukum dan dijauhkan dari korban.

Belakangan ini, saya harus banyak-banyak menarik napas panjang. Melihat peristiwa yang muncul bertubi-tubi yang dialami perempuan.

Saat melihat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak anggota DPRD Kota Bekasi pada Mei 2021, lalu melihat bagaimana “gaya santai” aparat kepolisian saat menangkap pemerkosa, hingga keluarga pelaku yang berencana menikahkan pelaku dengan korban. 

Saya lantas bercerita kepada teman saya, Nurul Azizah, seorang jurnalis. Rupanya Ia memiliki kegundahan yang sama. Peristiwa yang membuat saya dan Nurul sedih yakni ketika melihat respons dari keluarga pelaku kekerasan seksual di Bekasi yang justru menawarkan cara untuk menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual. Selain berpotensi memicu perkawinan anak, menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual merupakan solusi yang buruk. 

Kekerasan seksual selalu menimbulkan trauma bagi korban. Menikahkan pelaku kekerasan seksual dengan korban justru akan menghadirkan trauma yang lebih dalam bagi korban. Apalagi melihat proses hukum dari aparat yang lamban dan justru terlihat santai ketika menangkap pelaku. Di mana keadilan yang sebenarnya?

Saya sendiri salut dengan pilihan ayah korban yang menolak tawaran untuk menikahkan anaknya dengan pelaku, meski keluarga korban kerap diintimidasi oleh orang tidak dikenal. Alasan ayah korban valid, sang Anak memiliki masa depan yang masih panjang, Ia pun takut jika anaknya akan menjadi korban kekerasan lagi di lain waktu.

“Melihat kejadian di Bekasi ini sangat menyedihkan. Ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual ini merupakan masalah struktural. Dari aparat yang terlihat tidak serius, hingga respons keluarga pelaku yang tidak memiliki perspektif dalam melihat kasus kekerasan seksual,” tutur Nurul.

Tak berbeda dengan respons saya dan Nurul, Gloria Fransisca Katharina, kawan saya lainnya mengatakan, sebagai perempuan Ia marah melihat kasus kekerasan seksual yang terus terjadi. Gloria bekerja sebagai jurnalis, peristiwa kekerasan seksual tak hanya Ia baca dalam berita di media, tapi Ia juga meliputnya.

“Aku marah. Gimana ya, aku berefleksi, kapan aku bisa berhenti membaca, mendengar atau bahkan memberitakan kasus-kasus seperti ini? Perasaan marah ini bagiku adalah bentuk akumulasi dari kesedihan dan kekecewaan yang laten karena bertubi-tubi dialami seseorang, dan mungkin juga dialami oleh perempuan lain di Indonesia,” ungkap Gloria.

Mitos-mitos seputar korban kekerasan seksual yang harus menikah dengan pelaku juga semarak beredar, seperti korban mestinya bersedia menikahi pelaku karena pelaku mau mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara menikahi korban. Padahal bagi korban, menikah dengan pelaku adalah sebuah malapetaka, karena korban seharusnya diselamatkan dari pelaku.

Dalam edaran di Instagram-nya, Instagram perEMPUan menuliskan selama ini memang banyak mitos yang beredar di sekitar korban soal ini, seperti menikah dengan pelaku akan menyelamatkan korban. Padahal menikahkan korban dengan pelaku tidak akan menjamin bahwa pelaku akan bertanggung jawab menafkahi keluarga. Dan yang harus dipikirkan yaitu, apakah korban tidak akan mengalami trauma seumur hidupnya dengan kejadian ini? dan sekarang malah harus menikah dengan pelaku. Karena selama itu pula korban dan anaknya akan terus menderita dan mengalami trauma seumur hidup.

Menikah dengan pelaku juga tidak akan menyelesaikan masalah utama kekerasan seksual. Tinggal dengan pelaku kekerasan juga akan meningkatkan peluang bagi korban dan anaknya untuk mengalami kekerasan yang mengganggu perkembangan anak dan beresiko meningkatkan kekerasan pada anak

Direktur Kalyanamitra, Listyowati yang dihubungi Konde.co mengatakan bahwa korban kekerasan seksual akan mengalami trauma psikologis yang kompleks dan panjang. Jadi menikahkan korban dengan pelaku justru akan memperburuk kondisi korban.

“Di beberapa kasus kekerasan seksual ketika korban bertemu dengan pelaku di persidangan saja, itu tidak pernah mudah bagi korban. Ada yang membuat korban teringat kembali kejadian kekerasan yang dialaminya. Jadi bayangkan kalau sampai harus menikah dengan pelaku,” kata Listyowati

Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazuma ketika dihubungi Konde.co pada 1 Juni 2021 juga menyatakan bahwa korban kekerasan seksual yang dinikahkan dengan pelaku akan menambah panjang penderitaan bagi korban, apalagi korban di usia anak yang jelas memiliki kerentanan ganda dan  relasi kuasa dengan pelaku dan keluarganya, ini pasti akan menambah trauma korban. Selain itu akan banyak hak korban yang terlanggar dengan perkawinan ini.

“Contohnya hak atas pendidikan, pemulihan, keadilan hingga jaminan ketidakberulangan atas kekerasan yang dia alami, dengan menikah, peluang dia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akan tinggi.”

Siti Mazuma menegaskan, seharusnya negara tidak boleh kalah dengan pelaku kekerasan seksual yang sudah jelas-jelas telah melanggar UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak

Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menambahkan, menikahkan korban dengan pelaku merupakan pelanggaran atas hak korban untuk mendapatkan keadilan, karena menikahkan korban dengan pelaku merupakan tindakan yang tidak berpihak pada korban dan pembiaran terjadap pelaku.

“Pelaku perkosaan seharusnya diberikan hukuman penjara karena telah melakukan  pemerkosaan perbuatan yang melanggar hukum, bukan menikahkan dengan korban. Sementara korban seharusnya mendapatkan dukungan dari negara seperti dukungan kesehatan, dukungan hukum, dan dukungan finansial dan perlindungan atas keselamatannya.”

Setuju dengan Vivi Widyawati, Listyowati mengatakan bahwa yang dibutuhkan korban adalah keadilan dan pemulihan, karena menikahkan dengan pelaku bukan cara untuk menghukum pelaku, tetapi justru memenjarakan korban.

Sebagai seorang perempuan yang lahir di Indonesia, Gloria merasa bahwa kejadian perkosaan ini memperlihatkan bahwa negara ini tidak bisa memberikan ruang aman.

Korban kekerasan seksual di Indonesia pun tidak memiliki jaminan Undang-Undang yang baik. Hingga kini, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang seharusnya menjadi payung hukum bagi korban belum juga disahkan. Alih-alih menyuarakan kasusnya di publik, para korban kekerasan seksual pun rentan diserang kembali oleh UU ITE jika bersuara di media sosial, dan kasus pelaporan balik kepada korban menggunakan UU ITE pun sudah pernah terjadi di Indonesia.

Kepada saya, Nurul mengatakan bahwa Ia sangat berharap UU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.

“Aku sendiri yang punya privilege support system dan informasi yang bagus saja merasa tidak aman, bagaimana dengan perempuan yang jauh dari semuanya? Kalau Indonesia tidak segera mengesahkan RUU P-KS, para predator seksual ini akan terus berkeliaran dengan bebas,” ungkap Nurul.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!